Saturday 3 May 2014

PRODUK PERADILAN AGAMA



PRODUK PERADILAN  AGAMA     


Pada masa penjajahan Belanda hingga menjelang akhir tahun 1989, Pengadilan Agama di Indonesia exis tanpa Undang-Undang tersendiri dan terkesan hanya sebagai lembaga hukum pelengkap yang bertugas menceraikan dan merujukkan saja. Setiap kasus waris yang timbul di masyarakat, hanya diberikan “fatwa waris” bukan penetapan apalagi putusan dari Pengadilan  Agama berwenang. Pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan diundangkan UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang tersebut merupakan rangkaian dari undang-undang yang mengatur kedudukan dan kekuasaan Peradilan di negara RI. Selain itu, UU tersebut melengkapi UU  Agung No. 14 Tahun 1985, UU Peadilan Umum No. 2 Tahun 1986 dan UU Peradilan Tata Usaha Negara No. 5 Tahun 1986.Memang agak terlambat lahirnya UU No. 7 tersebut dibandingkan dengan landasan lain bagi Peradilan Umum, PTUN dan lainnya. Namun demikian, dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, kedudukan dan kekuasaan Pengadilan Agamasetara dengan Lembaga Pengadilan lainnya. Materi Hukum Acara Peradilan Agama, disampaikan pada tanggal 7 Agustus 2008 pada PKPA terselenggara atas kerjasama antara PBHI-PERADI. Yang patut disayangkan, UU No. 7 tersebut mengandung beberapa kelemahan. Diantaranya, terdapat hak opsi dalam penyelesaian perkara waris bagi orang-orang yang beragama Islam di Pengadilan Agama atau di Pengadilan Negeri; Pengadilan Agama tidak berwenang menangani sengketa hak milik dsb. Dengan adanya desakan dari praktisi hokum maupun masyarakat yang beragama Islam, maka lahirlah UU No. 3 Tahun 2006 yang merevisi dan melengkapi UU No. 7 tentang Peradilan Agama di Indonesia.

A. Pengertian putusan

Putusan disebut vonnis (Belanda) atau al-qada’u (Arab), yaitu produk Pengadilan Agama karena adanya  dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu “penggugat” dan “tergugat”. Produk Pengadilan semacam ini biasa diistilahkan dengan “produk peradilan yang sesungguhnya” atau jurisdiction cententiosa.

Putusan Peradilan Perdata ( Peradilan Agama adalah Peradilan Perdata ) selalu memuat perintah dari pengadilan kepada pihak yang kalah utuk melakukan sesuatu, atau untuk berbuat sesuatu, atau untuk melepaskan sesuatu, atau menghukum sesuatu. Jadi dictum vonis selalu bersifat condemnatoir artinya menghukum, atau bersifat constitutoir artinya menciptakan.

Perintah dari Pengadilan ini, jika tidak dituruti dengan suka rela, dapat diperintahkan untuk dilaksanakan secara paksa yang disebut di eksekusi.

Bentuk dan Isi Putusan

Bila diperhatikan secara keseluruhan suatu putusan, mulai dari halaman pertama sampai halaman terakhir, bentuk dan isi putusan Pengadilan Agama secara singkat adalah sebagai berikut:

a.       Bagian kepala putusan.

b.      Nama Pengadilan Agama yang memutus dan jenis perkara.

c.       Identitas pihak-pihak.

d.      Duduk perkaranya (bagian posita).

e.      Tentang pertimbangan hokum.

f.        Dasar Hukum.

g.       Diktum atau amar putusan.

h.      Bagian kaki putusan.

i.         Tanda tangan hakim dan panitera serta perincian biaya.


a.       Bagian ini memuat kata PUTUSAN atau kalau salinan, adalah SALINAN PUTUSAN. Baris di bawah  dari kata itu adalah Nomor Putusan, yaitu menurut nomor urut pendaftaran perkara, diikuti  garis miring dan tahun pendaftaran perkara , misalnya Nomor 79/1983, artinya perkara urutan ke-79  dalam tahun 1983, walaupun tanggal diputusnya perkara mungkin saja tahun 1984. Nomor  urut pendaftaran gugatan maupun permohonan mempergunakan satu buku yang disebut Buku Pendaftaran Perkara.

Baris selanjutnya adalah tulisan huruf besar semua yang berbunyi BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM, untuk memenuhi perintah Pasal  57 ayat (2) UU Nomor 7 tahun 1989. Menurut pasal tersebut, ditulis dengan huruf besar semua tanpa disertai kode bacaan harakat panjang atau pendek sebagai ayat dari Alquran.

Baris di bawah lagi adalah tulisan yang berbunyi DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA sebagai memenuhi Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 14 tahun 1970 dan Pasal 57 ayat (2) UU Nomor  7 tahun 1989.

b.   Nama Pengadilan Agama yang Memutus dan Jenis Perkara

Sesudah yang tersebut di butir a, maka dicantumkan pada baris selanjutnya nama Pengadilan Agama yang memutus yang sekaligus disertai menyebutkan jenis perkara, misalnya “Pengadilan Agama Palembang, yang telah memeriksa dan mengadili dalam tingkat pertama, perkara gugatan cerai.”

Penyebutan perkara yang bersifat gugatan kumulatif cukup menyebutkan saja induk perkaranya. Misalnya perkara gugatan cerai yang disertai nafkah istri, nafkah anak, nafkah iddah, harta bersama, dapat disebut saja “perkara gugatan cerai”.

c.    Identitas Pihak-pihak

Penyebutan identitas pihak, dimulai dari identitas penggugat, lalu identitas tergugat. Pemisah keduanya itu ialah dengan tulisan dalam baris tersendiri yang berbunyi “Berlawanan dengan.”

Identitas pihak ini meliputi nama, bin/binti siapa (nama dan bin/binti ditulis dengan huruf besar semua), alias atau julukan (kalau ada), umur, agama, pekerjaan, tempat tinggal terakhir, sebagai penggugat atau tergugat. Jika kumulasi penggugat atau kumulasi tergugat, sebutkan sebagai penggugat atau ter gugat ke berapa, misalnya Penggugat I, Penggugat II, Tergugat I, Tergugat II dan sebagainya. Jika memakai kuasa, sebutkan identitas Pemegang kuasa itu, barangkali berikut nomor dan tanggal surat kuasanya.

Kalau dalam proses conventie dan reconventie atau intervensi atau vrijwaring, status pihak tersebut harus disebutkan pula, misalnya “yang dulu sebagai penggugat dalam conventie, kini sebagai tergugat dalam reconventie.”

d.   Duduk Perkaranya (Bagian Posita)

Pada bagian ini dikutip dari gugatan penggugat, jawaban tergugat, keterangan saksi danhasil dari Berita Acara siding selengkapnya tetapi singkat, jelas dan tepat serta kronologis. Juga dicantumkan alat-alat bukti lainnya yang diajukan oleh pihak-pihak.

Ingat, pengadilan di bagian ini belum memberikan penilaian atas alat-alat bukti melainkan hanya mencantumkan hubungan atau atau peristiwa hukum serta dalil-dalil atau alat-alat bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak.

Sekalipun perkara reconventie atau intervensi atau vrijwaring misalnya, tentang duduk perkaranya tidak perlu dipisah-pisah-kan tersendiri, jadi tidak perlu “duduk perkaranya dalam conventie” dan  “duduk perkaranya dalam reconventie” dibuat sendiri-sendiri. Begitu pula dalam intervensi atau vrijwaring. Tegasnya gabung saja dalam satu duduk perkaranya yang mencakup keseluruhan, yang memuat hal-hal yang disebutkan di atas tadi.

e.   Tentang Pertimbangan Hukum dan Dasar Hukum

Bagian ini terdiri dari alasan memutus (pertimbangan) yang biasanya dimulai dengan kata “menimbang” dan dari dasar memutus yang biasanya dimulai dengan kata “mengingat”.

Pada alasan memutus maka apa yang diutarakan dalam bagian “duduk perkaranya” terdahulu, yaitu keterangan pihak-pihak berikut dalil-dalilnya, alat-alat bukti yang diajukannya harus ditimbang semua secara seksama satu persatu, tidak boleh ada yang luput dari ditimbang, diterima atau ditolak. Pertimbangan terakhir adalah pihak yang mana yang akan dinyatakan sebagai pihak yang akan dibebankan untuk memikul biaya perkara karena kalah.

Pada dasar memutus, dasar hukumnya ada dua, yaitu peraturan perundang-undangan Negara disusun menurut urutan derajatnya, misalnya Undang-Undang didahulukan dari Peraturan Pemerintah, lalu urutan tahun terbinya , misalnya UU Nomor 14 tahun 1970 didahulukan dari UU Nomor  I tahun 1974. Sebut title peraturan perundang-undangan tersebut tentang apa, tahun dan nomor Lembaran Negaranya.

Dasar hukum syara’ usahakan mencarinya dari Alquran, Hadis, Qaul Fuqaha, yang diterjemahkan juga menurut bahasa hokum. Mengutip Alquran harus menyebut nomor surat, nama surat, nomor ayat. Mengutip Hadis harus menyebut siapa sanad-nya, bunyi matannya, siapa pentakhrijnya dan disebutkan pula dikutip dari kitab apa. Kitab ini harus disebut siapa pengarang, nama kitab, penerbit, kota tempat diterbitkan, tahun terbit, jilid dan halamannya. Mengutip qaul fuqaha’ juga harus menyebut kitabnya selengkapnya seperti di atas, apalagi bukan tidak ada kitab yang sama judulnya tetapi lain pengarangnya.

Alasan memutus dan dasar memutus yang wajib menunjuk kepada peraturan perundang-undangan Negara atau sumber hukum lainnya dimaksudkan (c/q. dalil syar’y bagi Peradilan Agama) memang diperintahkan oleh Pasal 23 ayat (I) UU Nomor 14 tahun 1970.

f.     Diktum atau Amar  Putusan

Bagian ini didahului oleh kata “mengadili” yang diletakkan di tengah-tengah, dalam baris tersendiri, semua dengan huruf besar.

Isi diktum atau amar putusan bias terdiri dari beberapa point, tergantung kepada petita (tuntutan) penggugat dulunya. Jika perkara reconventie atau intervensi atau vrijwaring maka diktum ini harus dipecah dalam dua bagian, yaitu diktum dalam conventie dan dictum dalam reconventie, atau diktum dalam gugatan asal dan diktum dalam interventie,atau diktum dalam gugatan asal dan diktum dalam vrijwaring, kecuali kalau putusan pengadilan memang dijadikan dua putusan (sekalipun diselesaikan bersama-sama dalam satu proses).

Walaupun intinya putusan bersifat condemnatoir tetapi biasa juga ada unsur declaratoir atau constitutoir, hal itu tergantung dari petita penggugat. Misalnya, menerima gugatan penggugat (declaratoir), menyatakan sah ta’liq talaq sudah terwujud atau sudah terlanggar (declaratoir), menceraikan penggugat dan tergugat (constitutoir), menghukum tergugat untuk membayar nafkah idah (condemnatoir), menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara (condemnatoir).

Harus diingat, amar putusan untuk diktum pertama  dan terakhir selalu sama. Diktum pertama ialah tentang formal perkara apakah diterima oleh pengadilan atau tidak yaitu dilihat dari segi syarat-syarat formal pengajuan perkara. Diktum terakhir selalu tentang menghukum pihak yang kalah untuk membayar biaya perkara, kecuali untuk perkara di bidang perkawinan selalu dibebankan kepada penggugat atau pemohon. Diktum di tengah-tengah, di antara diktum pertama dak diktum terakhir, itulah putusan tentang pokok perkara.

Banyaknya Diktum pada amar putusan, boleh dikatakan sama dengan banyaknya petita penggugat, sebab pengadilan tidak boleh mengurangi atau menambahnya gugatan dan tiap butir petita mesti diadili.

Amar putusan dalam reconventie atau dalam intervensi atau dalam vrijwaring, sesuaikan saja dengan petita penggugat dalam reconventie, dalam intervensi dan dalam vrijwaring.

g.    Bagian Kaki Putusan

Bagian kaki putusan yang dimaksudkan ialah dimulai dari kata-kata “Demikianlah putusan Pengadilan Agama….”

Yang perlu diingatkan di sini ialah dalam hal tanggal diputus perkara dalam permusyawaratan majelis hakim berlainan dengan tanggal putusan diucapkan, sebab hal itu membawa perubahan kepada “bagian kaki” putusan, apalagi jika berlainan hakim yang memutus dalam musyawarah majelis hakim dengan yang mengucapkan keputusan di samping berlainan tanggal musyawarah dan tanggal pengucapan putusan.

h.   Tanda Tangan Hakim dan Panitera dan Perincian Biaya

Pada asli putusan, semua hakim dan dan panitera siding harus bertanda tangan tetapi pada Salinan Putusan, hakim dan panitera hanya “ttd” (tertanda) atau “dto” (ditandatangani oleh), lalu dibawahnya dilegalisir (ditandatangani oleh pejabat yang berwenang pada pengadilan itu dan dibubuhi stempel).

Salinan putusan akan diberikan kepada pihak-pihak atau akan dikirim ke tingkat banding (kalau terjadi banding dan untuk laporan) atau akan dikirim ke Mahkamah Agung (kalau terjadi kasasi atau peninjauan kembali). Asli Putusan tetap disimpan pada Pengadilan Agama, disatukan dalam berkas perkara yang sudah diminitur.

Patut diingatkan kembali, jika terjadi kelainan hakim yang memutus dalam permusyawaratan majelis hakim dengan hakim yang mengucapkan keputusan maka yang menandatangani pada asli Putusan adalah hakim-hakim dan panitera siding pada waktu pengucapan keputusan.

Yang dimaksud dengan perincian biaya di sini ialah perincian biaya yang tercantum di bagian kiri bawah dari keputusan, bukan yang tercantum dalam diktum, Yang tercantum dalam diktum adalah biaya total sedangkan yang disebut terdahulu itu adalah rinciannya.

Menurut Pasal  90 ayat (1) UU No.7 tahun 1989, rincian biaya tersebut meliputi:

a.    Biaya kepaniteraan dan materai;

b.   Biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan pengambil sumpah;

c.    Biaya untuk pemeriksaan setempat dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan;

d.   Biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah pengadilan.

Dulu sebelum berlakunya UU No.7 tahun 1989, Peradilan Agama masih ragu-ragu dalam mengartikan “biaya perkara” sehingga pencantumannya pada diktum keputusan berikut rinciannya tidak sesuai dengan biaya yang nyatanya dipungut/diperlukan.

Perincian biaya ini perlu agar umum mengetahui  jelas biaya perkara yang dimaksudkan, sekaligus sebagai bahan control.

3.    Putusan Sela

Apa yang  telah diuraikan di butir 2. Di muka, adalah tentang putusan akbir atau eind-vonnis, tetapi sebelum sampai kepada putusan akhir kadang-kadang majelis harus mengambil putusan sela terlebih dahulu, karena ada hal-hal yang mengharuskan demikian. Putusan sela ini adayang menyebutnya interlocutoir dan ada pula yang menyebutnya tussen vonnis.

Perlunya putusan sela ini misalnya:

a.       Adanya eksepsi dari tergugat;

b.      Pihak mengajukan hak ingkarnya;

c.       Adanya permintaan dari pihak agar pihak ketiga diikutsertakan ke dalam proses yang sedang berjalan (vrijwaring) atau ada pihak ketiga yang mau campur ke dalam proses yang sedang berjalan (intervensi);

d.      Adanya permohonan sita (beslag);

e.      Adanya gugatan/permohonan provisional, seperti istri dalam gugatan cerai minta ditetapkan nafkah anak atau berpisah rumah dari suaminya selama perkara sedang berlangsung;

f.        Dan lain-lain.

Jika tergugat mengajukan eksepsi relative pada siding pertama maka hakim wajib memutusnya terlebih dahulu sebelum melanjutkan pemeriksaan atas pokok perkara dan putusan di sini disebut putusan sela. Akan tetapi, jika majelis hakim mengabul-kan eksepsi tergugat, hal mana berarti pemeriksaan terhadap pokok perkara akan stop (tidak jadi) berarti putusan sela di situ akan menjadi putusan akhir, karenanya penggugat boleh naik banding atas

Jika pihak mengajukan keberatan perkaranya diperiksa oleh hakim atau panitera yang sedang menyidangkan perkaranya karena hakim atau panitera ada di antaranya  yang terhalang oleh peraturan perundang-undangan untuk menyidangkan perkara itu maka hakim harus mengambil putusan sela.

Jika permohonan sita  diajukan setelah siding berjalan maka hakim harus mengambil keputusan sela apakah permohonan sita tersebut dikabulkan atau ditolak.”

Jika perkara sedang berlangsung antara dua pihak, salah satu pihak meminta kepada hakim agar pihak ketiga diikutsertakan ke dalam proses maka hakim harus mengambil keputusan apakah permohonan itu dikabulkan atau tidak. Begitu juga kalau ada pihak ketiga yang mengajukan permohonan untuk turut ke dalam proses yang sedang berjalan (vrijwaring).

Jika seorang istri sedang menggugat suaminya untuk cerai misalnya tetapi selama sidang sedang berjalan istri memohon ke Pengadilan Agama agar diizinkan Suami_istri tidak tinggal serumah dengan pertimbangan kemungkinan bahaya yang akan ditimbulkan maka majelis hakim harus mengambil keputusan sela apakah permohonan tersebut dikabulkan atau ditolak.

Putusan sela wajib diucapkan dalam sidang  terbuka untuk umum sebagaimana mengucapkan keputusan akhir sekalipun tidak mesti putusan sela dibuatkan tersendiri melainkan cukup dalam Berita Acara Sidang.

Terhadap putusan sela tidak dapat dimohonkan banding kecuali bersama-sama dengan putusan akhir (pokok perkara).

4.    Kekuatan Putusan

Putusan pengadilan mempunyai 3 kekuatan, yaitu: (1) kekuatan mengikat (bindende kracht), (2) kekuatan bukti (bewijzende kracht), dan (3) kekuatan eksekusi (executoriale kracht).

Suatu putusan mempunyai kekuatan mengikat dan mempunyai kekuatan bukti ialah setelah putusan tersebut memperoleh kekuatan hokum yang tetap (in kracht). Suatu putusan dikatakan in kracht ialah apabila upaya hokum seperti verzet, banding, kasasi tidak dipergunakan dan tenggang waktu untuk itu sudah habis, atau telah mempergunakan upaya hukum tersebut dan sudah selesai. Upaya hukum terhadap putusan yang telah in kracht tidak ada lagi, kecuali permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung tetapi hanya dengan alasan-alasan  sangat tertentu sekali.

Putusan yang sudah in kracht, sekalipun ada dimohonkan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, tidak terhalang untuk dieksekusi, itulah yang dikatakan mempunyai kekuatan eksekusi.

Suatu putusan dikatakan mempunyai kekuatan bukti misalnya putusan cerai. Ia merupakan bukti otentik terjadinya cerai.

.    B. Pengertian Penetapan

Penetapan disebut al-isbat (Arab) atau beschiking (Belanda), yaitu produk pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya, yang diistilahkan jurisdiction voluntaria. Dikatakan bukan peradilan yang sesungguhnya karena di sana hanya ada pemohon, yang memohon untuk ditetapkan tentang sesuatu, sedangkan ia tidak perkara dengan lawan.

Karena penetapan itu muncul sebagai produk pengadilan atas permohonan pemohon yang  tidak berlawanan maka diktum penetapan tidak akan pernah berbunyi menghukum melainkan hanya bersifat menyatakan (declaratoire) atau menciptakan (constitutoire).

2.    Bentuk dan Isi  Penetapan

Bentuk dan isi penetapan hampir sama saja dengan bentuk dan isi putusan walaupun ada juga sedikit perbedaannya sebagai berikut:

a.    Identitas pihak-pihak pada permohonan dan pada penetapan hanya memuat identitas pemohon. Kalaupun di situ dimuat identitas termohon, tapi termohon disitu bukanlah pihak.

b.   Tidak akan ditemui kata-kata”berlawanan  dengan” seperti pada putusan.

c.    Tidak akan ditemui kata-kata “Tentang duduk perkaranya” seperti pada putusan,melainkan langsung diuraikan apa permohonan pemohon.

d.   Amar penetapan paling-paling bersifat declaratoire atau constitutoire.

e.   Kalau pada putusan didahului kata-kata “memutuskan” maka pada penetapan dengan kata “menetapkan”.

f.     Biaya perkara selalu dipikul oleh pemohon,sedangkan pada putusan dibebankan kepada salah satu dari pihak yang kalah atau ditanggung bersama-sama oleh pihak penggugat dan tergugat tetapi dalam perkara perkawinan tetap selalu kepada penggugat atau pemohon.

g.    Dalam penetapan tidak mungkin ada reconventie atau interventie atau vrijwaring.

Ketika membuat penetapan, tentu saja prinsip-prinsip perbedaan ini disesuaikan saja.

3.    Kekuatan Penetapan

Putusan mempunyai 3 kekuatan dan berlaku untuk pihak-pihak maupun untuk dunia luar (pihak ketiga) tetapi penetapan hanya berlaku untuk pemohon sendiri, untuk ahli warisnya dan untuk orang yang memperoleh hak daripadanya.

Contoh penetapan seperti pengesahan nikah bagi keperluan pension Pegawai Negeri Sipil dari suami-isteri yang tidak ada sengketa antara keduanya, tetapi dulu-dulunya mereka kawin belum begitu tertib pencatatan nikah sehingga tidak mempunyai akta nikah.

4.    Suatu Catatan

Apa yang terurai pada butir B. 1, 2, dan 3 diatas adalah penetapan dalam bentuk murni voluntaria. Di lingkungan Peradilan Agama ada beberapa jenis perkara di bidang perkawinan yang produk Pengadilan Agama berupa Penetapan, ada pemohon dan termohon, tetapi ternyata bukan penetapan dalam bentuk voluntaria murni, sehingga penetapan di situ harus dianggap putusan, pemohon dan termohon harus dianggap sebagai penggugat dan tergugat. Dalam hal ini, teori umum penetapan terurai di B. 1, 2, dan 3 tidak berlaku melainkan diberlakukan teori umum yang tersebut di A. 1, 2, 3, dan 4 sebelumnya.

C. Produk Khusus

Sebelum berlakunya UU Nomor  7 tahun 1989, di samping produk Putusan dan Penetapan, ada produk Pengadilan Agama yang disebut SKT3 (Surat Keterangan Tentang Terjadinya Talak) sebagai realisasi dari bunyi Pasal 17 PP Nomor  9 tahun 1975. Pasal ini telah dicabut/digantikan oleh Pasal 71 ayat (2) UU Nomor  7 tahun 1989, sehingga SKT3 sudah bertukar dengan penetapan yang tidak berlaku banding seperti disebutkan pada Pasal 71 ayat (2) tersebut.

KESIMPULAN:

Setelah Pengadilan Agama memeriksa perkara maka ia harus mengadilinya atau memberikan putusan dan mengeluarkan produknya. Produk Pengadilan Agama sejak berlakunya UU Nomor 7 tahun 1989 hanya 2 macam, yaitu: (1) putusan dan (2) penetapan. Sebelumnya ada produk ke (3) yaitu surat Keterangan Tentang Terjadinya Talak (SKT3) , yang kini tidak ada lagi.

DAFTAR PUSTAKA

  Dr. H. Roihan A. Rasyid,S.H., M.A.2010, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta; PT RajaGrafindo Persada.

Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama