Saturday 10 May 2014

Makalah Hukum Laut Internasional


BAB 1
LATAR BELAKANG

Dalam mempelajari hukum laut internasional diharapkan mahasiswa dapat menguraikan secara singkat perkembangan konfrensi 1958, 1960, 1982.
Mahasiswa juga  dapat menguraikan Pembagian Laut secara vertikal  dan horizontal dan kompilasi atas keduanya.
Dalam hukum laut internasional sering ditemukan kasus-kasus yang diselesaikan oleh mahkamah internasional, seperti kasus yang akan diuraikan yaitu kasus selat corfu.
Kasus Selat Corfu (Inggris-Albania), angkatan laut inggris membersihkan selat corfu utara bulan oktober 1944, ditemukan ranjau. Bulan 12 1945 diperiksa kembali. Pada tanggal 22 oktober 1946 beberapa kapal seperti kapal perang inggris.di laut teluk, saranda saumerez menabrak ranjau dan kapal rusak berat, volege pun mengalami kerusakan akan tetapi berhasil menarik saumerez kembali ke corfu. 3 minggu kemudian, tanggal 13 November 1946 selat dibersihkan kembali 22 ranjau.
Pertanyaan :
1. Apakah inggris berhak menuntut ganti rugi dan kepada siapa tuntutan diajukan?
2. Atas dasar apa inggris menuntut ganti rugi?
3. Apakah tindakan inggris dalam kasus tersebut dapat dibenarkan dalam hukum laut internasional?
4. Dalam pasal berapa kasus tersebut dapat diselesaikan berdasarkan konvensi 1982?


BAB 2
PEMBAHASAN

1.   PERKEMBANGAN SECARA SINGKAT KONFRENSI 1958, 1960, 1982
Konferensi Hukum Laut PBB I
(1958) dan PBB II (1960)
• Resolusi Majelis Umum PBB tgl 21 Feb 1957 menyetujui untuk mengadakan konferensi Internasional tentang hukum laut pada bulan Maret 1958.
• Konferensi ini akhirnya diadakan pada tgl 24 Feb – 27 April 1958 yang dihadiri oleh 700 delegasi dari 86 negara, yang dikenal dengan
UNCLOS I (United Nations Convention on The Law of The Sea) atau konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hukum laut.
4 buah konvensi dari UNCLOS I
1. Konvensi tentang laut teritorial dan jalur tambahan (convention on the territorial sea and contiguous zone) 􀃆 belum ada kesepakatan dan diusulkan dilanjutkan di UNCLOS II
2. Konvensi tentang laut lepas (convention on the high seas)
a. Kebebasan pelayaran
b. Kebebasan menangkap ikan
c. Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa
d. Kebebasan terbang di atas laut lepas
Konvensi ini telah disetujui.
3. Konvensi tentang perikanan dan perlindungan sumber-sumber hayati di laut lepas (convention on fishing and conservation of the living resources of the high seas)
4. Konvensi tentang landas kontinen (convention on continental shelf)
• Pada 17 Maret – 26 April 1960 􀃆 UNCLOS II, membicarakan tentang lebar laut teritorial dan zona tambahan perikanan, namun masih mengalami kegagalan untuk mencapai kesepakatan, sehingga perlu diadakan konferensi lagi.
Konferensi Hukum Laut PBB III
• Konvensi hukum laut 1982 merupakan puncak karya dari PBB tentang hukum laut, yang disetujui di Montego Bay, Jamaica (10 Des 1982), ditandatangani oleh 119 negara.
• Ada 15 negara yang memiliki ZEE besar: Amerika Serikat, Australia, Indonesia, New Zealand, Kanada, Uni Soviet, Jepang, Brazil, Mexico, Chili, Norwegia, India, Filipina, Portugal, dan Republik Malagasi.
Dalam dekade abad ke-20 telah 4 kali diadakan usaha untuk memperoleh suatu himpunan tentang hukum laut, diantaranya adalah:
1. Konferensi kodifikasi Den Haag (1930), di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa
2. Konferensi PBB tentang hukum laut I (1958) 􀃆 UNCLOS I
3. Konferensi PBB tentang hukum laut II (1960) 􀃆 UNCLOS II
4. Konferensi PBB tentang hukum laut III (1982) 􀃆 UNCLOS III
Kepentingan dunia atas hukum laut telah mencapai puncaknya pada abad ke-20. Faktor-faktor yang mempengaruhi negara negara di dunia membutuhkan pengaturan tatanan hukum laut yang lebih sempurna adalah:
• Modernisasi dalam segala bidang kehidupan
• Tersedianya kapal-kapal yang lebih cepat
• Bertambah pesatnya perdagangan dunia
• Bertambah canggihnya komunikasi internasional
• Pertambahan penduduk dunia yang membawa konsekuensi bertambahnya perhatian pada usaha penangkapan ikan
Definisi Penting
• Laut teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia
• Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.
• Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan
berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah dibawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200 mil laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia.
• Laut lepas adalah bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEEI, laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia, dan perairan pedalaman Indonesia.
• Landas kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya, di luar perairan wilayah Republik Indonesia sampai kedalaman 200 meter atau lebih, dimana masih mungkin diselenggarakan eksploitasi kekayaan alam.


2.  PEMBAGIAN LAUT SECARA VERTIKAL  DAN HORIZONTAL
Menurut Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS 1982), laut dibagi secara horizontal dan vertical.
2.1  Laut secara horizontal
Dapat dibagi sebagai berikut:
a. Perairan pedalaman, yakni perairan yang berada di sisi dalam garis pangkal; ada 3 garis pangkal yaitu garis (garis pangkal normal,garis pangkal lurus,dan garis pangkal kepulauan atau archipilago).
b. Laut teritorial yakni jalur laut yang ada di sisi luar atau di sisi laut garis pangkal selebar tidak lebih dari 12 mil laut;
c. Zone tambahan yaitu jalur laut yang merupakan kelanjutan dari laut teritorial yang lebarnya tidak melebihi jarak 24 mil laut dari garis pangkal yang bersangkutan;
d. Zone ekonomi eksklusif yaitu jalur laut yang terletak di luar dan berdekatan dengan laut teritorial selebar 200 mil laut dari garis pangkal laut teritorial;
e. Laut lepas yaitu bagian laut yang tidak termasuk dalam zone ekonomi Eksklusif, laut teritorial atau perairan pedalaman.
2.2  Laut secara vertikal
Dapat dibagi sebagai berikut:
a. Ruang udara yang ada di atas laut;
b. Kolom air laut (water coloumn);
 c. Dasar laut (sea bed), Tanah di bawah dasar laut (subsoil) Dasar laut dan tanah dibawahnya dibagi lagi secara horizontal menjadi:
1. Dasar laut dan tanah dibawahnya dari bagian laut secara horizontal; 2. Landas Kontinen, yakni dasar laut dan tanah di bawahnya sampai kejauhan batas landas kontinennya (continental margin) atau sejauh 200 mil laut atau 350 mil laut dari garis pangkal laut teritorial; 3. Area kawasan yakni laut dan dasar samudera dalam tanah dibawahnya yang ada di luar batas juridiksi nasional.
2.3  Kompilasi antara keduanya:
       Pembagian laut secara horizontal dan vertikal tersebut di atas memberikan hak-hak yang berbeda beda kepada pemilik kedaulatan laut tersebut dan hubungannya dengan negara lain.

3.   KASUS SELAT CORFU
Kasus ini berawal ketika pada tanggal 15 Mei 1946, dua kapal perang Inggris jenis penjelajah, HMS Orion dan HMS Superb, saat melakukan navigasi rutin ke arah selatan melalui bagian utara Selat ditembaki oleh artileri pantai Albania. Pemerintah Inggris kemudian melalui saluran-saluran diplomatik yang dimilikinya mengajukan keberatan atas tindakan yang dilakukan oleh Albania tersebut, serta menyatakan bahwa hak lintas damai melalui selat internasional adalah merupakan hak yang dikenal dalam hukum internasional. Membantah pernyataan pemerintah Inggris tersebut, pemerintah Albania kemudian menolak dengan tegas anggapan Selat Corfu adalah merupakan selat intrnasional dan menyatakan bahwa setiap kapal asing baik itu kapal perang maupun kapal dagang tidak berhak untuk melaluinya karena Selat Corfu merupakan wilayah perairan laut teritorial Albania sehingga setiap kapal yang akan melaluinya harus melakukan pemberitahuan terlebih dahulu dan atau izin dari pemerintah Albania. Mendapatkan pernyataan tersebut pemerintah Inggris kemudian tetap pada pandangan sebelumnya yaitu bahwa Selat Corfu adalah merupakan selat internasional karena menghubungkan dua bagian laut bebas. Selain itu pemerintah Inggris  juga mengingatkan pemerintah Albania bahwa apabila artileri pantai pada waktu yang akan datang kembali menembaki kapal-kapal perang Inggris yang melalui Selat Corfu, kapal-kapal Inggris akan diperintahkan untuk membalasnya. Pada tanggal 22 Oktober 1946 pemerintah Inggris kembali mengirim kapal-kapal perangnya melalui Selat Corfu. Dua kapal perang jenis penjelajah, yaitu HMS Mauritius dan HMS Leander serta dua kapal perang jenis perusak, yaitu HMS Saumarez dan HMS Volage. Pada saat keempat kapal perang tersebut melaksanakan lintas pelayarannya, salah satu dari kapal perangnya kemudian, yaitu HMS Saumarez terkena ranjau yang mengakibatkan rusaknya kapal perang tersebut serta menewaskan beberapa awak kapal. Setelah terjadinya peristiwa tersebut pihak Inggris kemudian pada tanggal 12 dan 13 November 1946 memberitahukan pemerintah Albania bahwa mereka akan melakukan operasi pembersihan terhadap ranjau-ranjau yang terdapat di Selat Corfu. Pihak albania menjawab pemeritahuan tersebut dengan menyatakan bahwa pemerintah Albania tidak akan memberikan persetujuannya terhadap operasi pembersihan ranjau tersebut, kecuali terhadap operasi pembersihan yang dilakukan di luar wilayah perairan Albania. Berkaitan atas terjadinya peristiwa ledakan ranjau yang merusak kapal perang dan awaknya tersebut, pemerintah Inggris kemudian mengajukan gugatan pertanggung jawaban terhadap pemerintah Albania atas terjadinya peristiwa tersebut ke Mahkamah Internasional. Pada saat persidangan kemudian, dalam pembelaannya pemerintah Albania menolak bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan kapal perang Inggris tersebut. Argumentasi utama yang diajukan adalah bahwa pemerintah Albania sama sekali tidak mengetahui adanya, ranjau di perairan Selat Corfu. Selain itu menurut pihak albania pada saat terjadinya peristiwa tersebut telah terjadi pelanggaran terhadap kedaulatan Albania, karena lintas pelayaran yang dilakuan kapal perang Inggris adalah merupakan lintas tidak damai. Alasan-alasan yang diajukan untuk mendukung hal tersebut meliputi :
1. Lintas kapal perang Inggris adalah tidak merupakan lintas biasa, akan tetapi lebih tepat merupakan sebuah misi politik;
2. Kapal-kapal tersebut pada saat berlayar melalui Selat Corfu melakukan manuver dalam formasi perang;
3. Posisi senjata-senjata yang ada diatas kapal perang pada saat itu tidak konsisten dengan prinsip hak lintas damai;.
4. Kapal-kapal perang Inggris tersebut pada saat melakukan lintasnya menempatkan awaknya dalam posisi siap untuk beraksi;
5. Apabila dilihat dari jumlah kapal dan persenjataan yang dimiliki yang melebihi jumlah seharusnya, dan menunjukan keinginan untuk melakukan intimidasi dan bukan semata-mata hanya untuk melintas;
6. Kapal-kapal perang Inggris tersebut telah menerima perintah untuk mengamati dan melaporkan keadaan pertahanan di pantai dan perintah tersebut dilaksanakan pada saat kapal perang tersebut melintas. Sementara itu sebaliknya pihak Inggris dalam persidangan menerangkan bahwa apa yang dilakukan oleh pihaknya dengan mengirim kapal-kapal perang melalui Selat Corfu adalah semata-mata dalam rangka menegaskan haknya untuk melaksanakan lintas melalui Selat Corfu yang adalah merupakan selat internasional yang secara tidak adil telah diingkari oleh pemerintah Albania. Bahwa pihak Inggris tidak terikat untuk tidak menggunakan hak lintasnya, dimana pemerintah Albania telah secara ilegal mengingkarinya. Selanjutnya mengenai saat terjadinya peristiwa, dimana disebutkan oleh
pihak albania bahwa kapal-kapal perang Inggris telah melaksanakan lintas tidak damai adalah tidak benar. Semua senjata dimiliki kapal-kapal perang Inggris selama melaksanakan lintas dalam posisi tidak untuk digunakan dan tidak berisi serta tidak diarahkan ke pantai. Meskipun demikian pemerintah Inggris mengakui berkaitan dengan pelaksanaan operasi pembersihan ranjau setelah peristiwa ledakan ranjau, pemerintah Inggris tidak pernah meminta persetujuan pihak Albania dan tidak pula melakukan pemberitahuan kepada organisasi intelrnasional yang berkaitan dengan pembersihan ranjau. Akan tetapi hal trsebut terpaksa dilakukan karena mengingat keadaan yang mendesak. Setelah mendengarkan penjelasan dari kedua belah pihak. Mahkamah Internasional kemudian memberikan putusan mengenai “Kasus Selat Corfu”,
sebagai berikut:
1.Menyatakan Republik Rakyat Albania bertanggung jawab berdasarkan hukum internasional atas terjadinya peritiwa ledakan ranjau yang terjadi pada tanggal 22 Oktober 1946 di perairan Albania dan terhadap kerugian serta hilangnya jiwa yang mengakibatkan oleh peristiwa tersebut;
2. Menyatakan Kerajaan Inggris tidak melakukan pelanggaran terhadap kedaulatan Republik Rakyat albania atas dasar tindakan-tindakan Angkatan Laut Kerajaan Inggris di perairan Albania pada tanggal 22 Oktober 1946.
3. Menyatakan atas dasar tindakan-tindakan yang dilakukan oleh angkatan laut Inggris di perairan laut Albania dalam suatu operasi yang dilaksanakan pada tanggal 12 dan 13 November 1946, bahwa kerajaan Inggris telah melanggar kedaulatan Republik Rakyat Albania. Beberapa point penting yang dapat diambil dari kasus Selat Corfu, khususnya yang berkaitan dengan masalah pengaturan lintas pelayaran kapal perang pada masa damai antara lain :
1. Bahwa kasus Selat Corfu telah melahirkan suatu prinsip, sesungguhnya dalam hukum kebiasaan internasional, kapal perang pada masa damai memiliki hak lintas damai melalui selat internasional, dan bahwa tidak boleh ada penangguhan lintas damai melalui selat demikian.
2. Selain itu kasus Selat Corfu menghasilkan precedent baru mengenai kriteria lintas damai, dimana kriteria lintas damai tidak semata-mata didasarkan atas kriteria subyektif dari negara pantai, akan tetapi terdapat suatu penilaian yang obyektif, yaitu bahwa suatu lintas dapat dianggap lintas damai selam dilakukan dengan cara-cara yang tidak menimbulkan ancaman terhadap negara pantai. Bahwa tidak sepenuhnya benar jika kapal perang melalui wilayah perairan negara lain, maka ia berarti melakukan lintas tidak damai, demikian pula sebaliknya.
3. Bahwa yang dilakukan oleh pemerintah Inggris dengan mengirim sejumlah kapal perang ke Selat corfu, merupakan salah satu bentuk penggunaan kapal perang pada masa damai yang berkaitan dengan fungsi diplomasi kapal perang. Ketika Albania melakukan tindakan yang dianggap merugikan pihak Inggris. 

BAB 3
KESIMPULAN

Bahwa pertanyaan-pertanyaan yang muncul mengenai  kasus selat Corfu dapat terjawab yaitu :

1.      Bahwa Inggris berhak menuntut ganti rugi kepada Albania berdasarkan hukum internasional.
2.      Inggris menuntut ganti rugi Atas dasar terjadinya peritiwa ledakan ranjau yang terjadi pada tanggal 22 Oktober 1946 di perairan Albania dan terhadap kerugian serta hilangnya jiwa yang mengakibatkan oleh peristiwa tersebut;
3.      Bahwa tindakan inggris dalam kasus :
-       Menuntut ganti rugi atas terjadinya peritiwa ledakan ranjau yang terjadi pada tanggal 22 Oktober 1946 di perairan Albania dan terhadap kerugian serta hilangnya jiwa yang mengakibatkan oleh peristiwa tersebut adalah dibenarkan dalam hukum laut internasional.
-       Tindakan-tindakan Angkatan Laut Kerajaan Inggris di perairan Albania pada tanggal 22 Oktober 1946 adalah dibenarkan dalam hukum laut internasional. (Menyatakan Kerajaan Inggris tidak melakukan pelanggaran terhadap kedaulatan Republik Rakyat albania)
-       Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh angkatan laut Inggris di perairan laut Albania dalam suatu operasi yang dilaksanakan pada tanggal 12 dan 13 November 1946, tidak dibenarkan dalam hukum laut internasional karena kerajaan Inggris telah melanggar kedaulatan Republik Rakyat Albania.
4.   Kasus tersebut dapat selesaikan berdasarkan konvensi 1982 Pada pasal sebagai berikut:
-     Pasal 19 ayat 1 : Lintas adalah damai sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan Negara pantai. Lintas tersebut harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Konvensi ini dan peratruan hukum internasional lainnya.
Ayat 2 : Lintas suatu kapal asing harus dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban atau Keamanan Negara pantai, apabila kapal tersebut di laut teritorial melakukan salah satu kegiatan sebagai berikut :
a.   setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;
b.   setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun;
c.   setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan Negara pantai;
d.   setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan atau keamanan Negara pantai;
j.   kegiatan riset atau survey;
l.    setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan lintas.
-     Pasal 24 Ayat :
1.    Negara pantai tidak boleh menghalangi lintas damai kapal asing melalui laut teritorial kecuali sesuai dengan ketentuan Konvensi ini. Dalam penerapan Konvensi ini atau setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat sesuai Konvensi ini, Negara pantai khususnya tidak akan :
a.      menetapkan persyaratan atas kapal asing yang secara praktis berakibat penolakan atau pengurangan hak litas damai; atau
b.      mengadakan diskriminasi formal atau diskriminasi nyata terhadap kapal Negara manapun atau terhadap kapal yang mengangkut muatan ke, dari atau atas nama Negara manapun.
2.    Negara pantai harus mengumumkan secara tepat bahaya apapun bagi navigasi dalam laut teritorialnya yang diketahuinya.
-     Pasal 25 Ayat:
1.   Negara pantai dapat mengambil langkah yang diperlukan dalam laut teritorialnya untuk mencegah lintas yang tidak damai.
2.   Dalam hal kapal menuju perairan pedalaman atau singgah di suatu fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman, Negara pantai juga mempunyai hak untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran apapun terhadap persyaratan yang ditentukan bagi masuknya kapal tersebut ke perairan pedalaman atau persinggahan demikian.
3.   Negara pantai, tanpa diskriminasi formil atau diskriminasi nyata di antara kapal asing, dapat menangguhkan sementara dalam daerah tertentu laut teritorialnya lintas damai kapal asing apabila penangguhan demikian sangat diperlukan untuk perlindungan keamanannya, termasuk keperluan latihan senjata. Penangguhan demikian berlaku hanya setelah diumumkan sebagaimana mestinya.
-     Pasal 29 : Untuk maksud Konvensi ini “kapal perang” berarti suatu kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu Negara yang memakai tanda luar yang menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut, di bawah komando seorang perwira yang diangkat untuk itu oleh Pemerintah Negaranya dan yang namanya terdapat di dalam daftar dinas militer yang tepat atau daftar serupa, dan yang diawaki oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata reguler.

-     Pasal 30 : Negara pantai oleh kapal perang asing Apabila sesuatu kapal perang tidak mentaati peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Negara pantai mengenai lintas melalui laut teritorial dan tidak mengindahkan permintaan untuk mentaati peraturan perundang-undangan tersebut yang disampaikan kepadanya, maka Negara pantai dapat menuntut kapal perang itu segera meninggalkan laut teritorialnya.

-     Pasal 52 ayat :
1.   Dengan tunduk pada ketentuan pasal 53 dan tanpa mengurangi arti ketentuan pasal 50, kapal semua Negara menikmati hak lintas damai melalui perairan kepulauan sesuai dengan ketentuan dalam Bab II, bagian 3.
2.   Negara Kepulauan dapat, tanpa mengadakan diskriminasi formal maupun diskriminasi nyata diantara kapal asing, menangguhkan sementara lintas damai kapal asing di daerah tertentu perairan kepulauannya, apabila penangguhan demikian sangat perlu untuk melindungi keamanannya. Penangguhan demikian akan berlaku hanya setelah diumumkan sebagaimana mestinya.


DAFTAR ISI

BUKU:
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman – Penerbit Binacipta, 1986.
Melda Kamil Ariadno, Hukum Internasional Hukum yang Hidup, Penerbit Diadit Media, Jakarta, 2007.