Monday 25 January 2016

Isi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya.
2. Lalu Lintas adalah gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan.
3. Angkutan adalah perpindahan orang dan/ atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan.
4. Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah serangkaian Simpul dan/ atau ruang kegiatan yang saling terhubungkan untuk penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 
5. Simpul adalah tempat yang diperuntukkan bagi pergantian antarmoda dan intermoda yang berupa Terminal, stasiun kereta api, pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan danau, dan/ atau bandar udara.
6. Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah Ruang Lalu Lintas, Terminal, dan Perlengkapan Jalan yang meliputi marka, rambu, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan, alat pengawasan dan pengamanan Jalan, serta fasilitas pendukung.
7. Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.
8. Kendaraan Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel.
9. Kendaraan Tidak Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/ atau hewan.
10. Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/ atau orang dengan dipungut bayaran.
11 . Ruang Lalu Lintas Jalan adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah Kendaraan, orang, dan/ atau barang yang berupa Jalan dan fasilitas pendukung. 12. Jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/ atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel.
13. Terminal adalah pangkalan Kendaraan Bermotor Umum yang digunakan untuk mengatur kedatangan dan keberangkatan, menaikkan dan menurunkan orang dan/ atau barang, serta perpindahan moda angkutan.
14. Halte adalah tempat pemberhentian Kendaraan Bermotor Umum untuk menaikkan dan menurunkan penumpang.
15. Parkir adalah keadaan Kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya.
16. Berhenti adalah keadaan Kendaraan tidak bergerak untuk sementara dan tidak ditinggalkan pengemudinya.
17. Rambu Lalu Lintas adalah bagian perlengkapan Jalan yang berupa lambang, huruf, angka, kalimat, dan/ atau perpaduan yang berfungsi sebagai peringatan, larangan, perintah, atau petunjuk bagi Pengguna Jalan.
18. Marka Jalan adalah suatu tanda yang berada di permukaan Jalan atau di atas permukaan Jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang membentuk garis membujur, garis melintang, garis serong, serta lambang yang berfungsi untuk mengarahkan arus Lalu Lintas dan membatasi daerah kepentingan Lalu Lintas.
19. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas adalah perangkat elektronik yang menggunakan isyarat lampu yang dapat dilengkapi dengan isyarat bunyi untuk mengatur Lalu Lintas orang dan /atau Kendaraan di persimpangan atau pada ruas Jalan.
20. Sepeda Motor adalah Kendaraan Bermotor beroda dua dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau Kendaraan Bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah.
21 . Perusahaan Angkutan Umum adalah badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/ atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum.
22. Pengguna Jasa adalah perseorangan atau badan hukum yang menggunakan jasa Perusahaan Angkutan Umum. 23. Pengemudi adalah orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi. 24. Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/ atau kerugian harta benda.
25. Penumpang adalah orang yang berada di Kendaraan selain Pengemudi dan awak Kendaraan.
26. Pejalan Kaki adalah setiap orang yang berjalan di Ruang Lalu Lintas Jalan.
27. Pengguna Jalan adalah orang yang menggunakan Jalan untuk berlalu lintas.
28. Dana Preservasi Jalan adalah dana yang khusus digunakan untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan secara berkelanjutan sesuai dengan standar yang ditetapkan.
29. Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas adalah serangkaian usaha dan kegiatan yang meliputi perencanaan, pengadaan, pemasangan, pengaturan, dan pemeliharaan fasilitas perlengkapan Jalan dalam rangka mewujudkan, mendukung dan memelihara keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran Lalu Lintas.
30. Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan terbebasnya setiap orang, barang, dan/ atau Kendaraan dari gangguan perbuatan melawan hukum, dan/ atau rasa takut dalam berlalu lintas.
31 . Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan terhindarnya setiap orang dari risiko kecelakaan selama berlalu lintas yang disebabkan oleh manusia, Kendaraan, Jalan, dan/ atau lingkungan.
32. Ketertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan berlalu lintas yang berlangsung secara teratur sesuai dengan hak dan kewajiban setiap Pengguna Jalan.
33. Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan berlalu lintas dan penggunaan angkutan yang bebas dari hambatan dan kemacetan di Jalan.
34. Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah sekumpulan subsistem yang saling berhubungan dengan melalui penggabungan, pemrosesan, penyimpanan, dan pendistribusian data yang terkait dengan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
35. Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
36. Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
37. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
38. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati/ walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
39. Menteri adalah pembantu Presiden yang memimpin kementerian negara dan bertanggung jawab atas urusan pemerintahan di bidang Jalan, bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bidang industri, bidang pengembangan teknologi, atau bidang pendidikan dan pelatihan.
40. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pemimpin Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penanggung jawab penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi bidang keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan memperhatikan:
a. asas transparan;
b. asas akuntabel;
c. asas berkelanjutan;
d. asas . . . - 7 - d. asas partisipatif; e. asas bermanfaat; f. asas efisien dan efektif; g. asas seimbang; h. asas terpadu; dan i. asas mandiri.

Pasal 3 Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan tujuan:
a. terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa;
b. terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan c. terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.

BAB III
RUANG LINGKUP KEBERLAKUAN UNDANG-UNDANG

Pasal 4
Undang-Undang ini berlaku untuk membina dan menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar melalui: a. kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/ atau barang di Jalan; b. kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan c. kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, pendidikan berlalu lintas, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta penegakan hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

BAB IV
PEMBINAAN

Pasal 5 (1) Negara bertanggung jawab atas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan pembinaannya dilaksanakan oleh Pemerintah. (2) Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. perencanaan; b. pengaturan; c. pengendalian; dan d. pengawasan. (3) Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh instansi pembina sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya yang meliputi: a. urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan; b. urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; c. urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang industri; d. urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan e. urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 6 - 9 - Pasal 6 (1) Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dilakukan oleh instansi pembina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) meliputi: a. penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nasional; b. penetapan norma, standar, pedoman, kriteria, dan prosedur penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berlaku secara nasional; c. penetapan kompetensi pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan secara nasional; d. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, pemberian izin, dan bantuan teknis kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota; dan e. pengawasan terhadap pelaksanaan norma, standar, pedoman, kriteria, dan prosedur yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. (2) Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusannya kepada pemerintah provinsi dan/ atau pemerintah kabupaten/ kota. (3) Urusan pemerintah provinsi dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi: a. penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dan kabupaten/ kota yang jaringannya melampaui batas wilayah kabupaten/ kota; b. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di provinsi; dan c. pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi. (4) Urusan pemerintah kabupaten/ kota dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi: a. penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/ kota yang jaringannya berada di wilayah kabupaten/ kota; b. pemberian . . . - 10 - pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di kabupaten/ kota; dan pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/ kota. BAB V PENYELENGGARAAN Pasal 7 (1) Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam kegiatan pelayanan langsung kepada masyarakat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan hukum, dan/ atau masyarakat. (2) Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi masing-masing meliputi: a. urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan; b. urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; c. urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang industri; d. urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan e. urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 8 - 11 - Pasal 8 Penyelenggaraan di bidang Jalan meliputi kegiatan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan prasarana Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a, yaitu: a. inventarisasi tingkat pelayanan Jalan dan permasalahannya; b. penyusunan rencana dan program pelaksanaannya serta penetapan tingkat pelayanan Jalan yang diinginkan; c. perencanaan, pembangunan, dan optimalisasi pemanfaatan ruas Jalan; d. perbaikan geometrik ruas Jalan dan /atau persimpangan Jalan; e. penetapan kelas Jalan pada setiap ruas Jalan; f. uji kelaikan fungsi Jalan sesuai dengan standar keamanan dan keselamatan berlalu lintas; dan g. pengembangan sistem informasi dan komunikasi di bidang prasarana Jalan. Pasal 9 Penyelenggaraan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b meliputi: a. penetapan rencana umum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; b. Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas; c. persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor; d. perizinan angkutan umum; e. pengembangan sistem informasi dan komunikasi di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; f. pembinaan sumber daya manusia penyelenggara sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan g. penyidikan terhadap pelanggaran perizinan angkutan umum, persyaratan teknis dan kelaikan Jalan Kendaraan Bermotor yang memerlukan keahlian dan/ atau peralatan khusus yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Pasal 10 - 12 - Pasal 10 Penyelenggaraan di bidang industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c meliputi: a. penyusunan rencana dan program pelaksanaan pengembangan industri Kendaraan Bermotor; b. pengembangan industri perlengkapan Kendaraan Bermotor yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan c. pengembangan industri perlengkapan Jalan yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 1 1 Penyelenggaraan di bidang pengembangan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d meliputi: a. penyusunan rencana dan program pelaksanaan pengembangan teknologi Kendaraan Bermotor; b. pengembangan teknologi perlengkapan Kendaraan Bermotor yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan c. pengembangan teknologi perlengkapan Jalan yang menjamin Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 12 Penyelenggaraan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e meliputi: a. pengujian dan penerbitan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor; b. pelaksanaan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor; c. pengumpulan, pemantauan, pengolahan, dan penyajian data Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; d. pengelolaan pusat pengendalian Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; e. pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli Lalu Lintas; f. penegakan . . . - 13 - f. penegakan hukum yang meliputi penindakan pelanggaran dan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas; g. pendidikan berlalu lintas; h. pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas; dan i. pelaksanaan manajemen operasional Lalu Lintas. Pasal 13 (1) Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi. (2) Koordinasi Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (3) Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertugas melakukan koordinasi antarinstansi penyelenggara yang memerlukan keterpaduan dalam merencanakan dan menyelesaikan masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (4) Keanggotaan forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas unsur pembina, penyelenggara, akademisi, dan masyarakat. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah. BAB VI JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN Bagian Kesatu Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 14 (1) Untuk mewujudkan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang terpadu dilakukan pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk menghubungkan semua wilayah di daratan. (2) Pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan kebutuhan. (3) Rencana . . . - 14 - (3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional; b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/ Kota. Pasal 15 (1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf a disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan transportasi dan ruang kegiatan berskala nasional. (2) Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. (3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional memuat: a. prakiraan perpindahan orang dan/ atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup nasional; b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nasional dalam keseluruhan moda transportasi; c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul nasional; dan d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas nasional. Pasal 16 (1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf b disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan ruang kegiatan berskala provinsi. (2) Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan: a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan c. Rencana . . . - 15 - c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional. (3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi memuat: a. prakiraan perpindahan orang dan/ atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup provinsi; b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dalam keseluruhan moda transportasi; c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul provinsi; dan d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas provinsi. Pasal 17 (1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/ Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf c disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta ruang kegiatan berskala kabupaten/ kota. (2) Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/ Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan: a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional; c. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; d. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan e. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/ Kota. (3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/ Kota memuat: a. prakiraan perpindahan orang dan/ atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup kabupaten/ kota; b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/ kota dalam keseluruhan moda transportasi; c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul kabupaten/ kota; dan d. rencana . . . - 16 - d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas kabupaten/ kota. Pasal 18 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah. Bagian Kedua Ruang Lalu Lintas Paragraf 1 Kelas Jalan Pasal 19 (1) Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan: a. fungsi dan intensitas Lalu Lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan Jalan dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan b. daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi Kendaraan Bermotor. (2) Pengelompokan Jalan menurut kelas Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 (sepuluh) ton; b. jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; c. jalan . . . - 17 - c. jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua ribu seratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; dan d. jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 (sepuluh) ton. (3) Dalam keadaan tertentu daya dukung jalan kelas III sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat ditetapkan muatan sumbu terberat kurang dari 8 (delapan) ton. (4) Kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Jalan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan kelas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 20 (1) Penetapan kelas jalan pada setiap ruas jalan dilakukan oleh: a. Pemerintah, untuk jalan nasional; b. pemerintah provinsi, untuk jalan provinsi; c. pemerintah kabupaten, untuk jalan kabupaten; atau d. pemerintah kota, untuk jalan kota. (2) Kelas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelompokan kelas jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan tata cara penetapan kelas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah. Paragraf 2 - 18 - Paragraf 2 Penggunaan dan Perlengkapan Jalan Pasal 2 1 (1) Setiap Jalan memiliki batas kecepatan paling tinggi yang ditetapkan secara nasional. (2) Batas kecepatan paling tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan kawasan permukiman, kawasan perkotaan, jalan antarkota, dan jalan bebas hambatan. (3) Atas pertimbangan keselamatan atau pertimbangan khusus lainnya, Pemerintah Daerah dapat menetapkan batas kecepatan paling tinggi setempat yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas. (4) Batas kecepatan paling rendah pada jalan bebas hambatan ditetapkan dengan batas absolut 60 (enam puluh) kilometer per jam dalam kondisi arus bebas. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas kecepatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 22 (1) Jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan laik fungsi Jalan secara teknis dan administratif. (2) Penyelenggara Jalan wajib melaksanakan uji kelaikan fungsi Jalan sebelum pengoperasian Jalan. (3) Penyelenggara Jalan wajib melakukan uji kelaikan fungsi Jalan pada Jalan yang sudah beroperasi secara berkala dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/ atau sesuai dengan kebutuhan. (4) Uji kelaikan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh tim uji laik fungsi Jalan yang dibentuk oleh penyelenggara Jalan. (5) Tim uji laik fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas unsur penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia. (6) Hasil . . . - 19 - (6) Hasil uji kelaikan fungsi Jalan wajib dipublikasikan dan ditindaklanjuti oleh penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan/ atau Kepolisian Negara Republik Indonesia. (7) Uji kelaikan fungsi Jalan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 23 (1) Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan preservasi Jalan dan/ atau peningkatan kapasitas Jalan wajib menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 24 (1) Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas. (2) Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan Jalan yang rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara Jalan wajib memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas. Pasal 25 (1) Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa: a. Rambu Lalu Lintas; b. Marka Jalan; c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas; d. alat penerangan Jalan; e. alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan; f. alat . . . - 20 - f. alat pengawasan dan pengamanan Jalan; g. fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat; dan h. fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berada di Jalan dan di luar badan Jalan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 26 (1) Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) diselenggarakan oleh: a. Pemerintah untuk jalan nasional; b. pemerintah provinsi untuk jalan provinsi; c. pemerintah kabupaten/ kota untuk jalan kabupaten/ kota dan jalan desa; atau d. badan usaha jalan tol untuk jalan tol. (2) Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 27 (1) Perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu disesuaikan dengan kapasitas, intensitas, dan volume Lalu Lintas. (2) Ketentuan mengenai pemasangan perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu diatur dengan peraturan daerah. Pasal 28 (1) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/ atau gangguan fungsi Jalan. (2) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1). Bagian Ketiga . . . - 21 - Bagian Ketiga Dana Preservasi Jalan Pasal 29 (1) Untuk mendukung pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar, kondisi Jalan harus dipertahankan. (2) Untuk mempertahankan kondisi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperlukan Dana Preservasi Jalan. (3) Dana Preservasi Jalan digunakan khusus untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan. (4) Dana Preservasi Jalan dapat bersumber dari Pengguna Jalan dan pengelolaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 30 Pengelolaan Dana Preservasi Jalan harus dilaksanakan berdasarkan prinsip berkelanjutan, akuntabilitas, transparansi, keseimbangan, dan kesesuaian. Pasal 3 1 Dana Preservasi Jalan dikelola oleh unit pengelola Dana Preservasi Jalan yang bertanggung jawab kepada Menteri di bidang Jalan. Pasal 32 Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja unit pengelola Dana Preservasi Jalan diatur dengan peraturan Presiden. Bagian Keempat Terminal Paragraf 1 Fungsi, Klasifikasi, dan Tipe Terminal Pasal 33 (1) Untuk menunjang kelancaran perpindahan orang dan/ atau barang serta keterpaduan intramoda dan antarmoda di tempat tertentu, dapat dibangun dan diselenggarakan Terminal. (2) Terminal . . . - 22 - (2) Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Terminal penumpang dan/ atau Terminal barang. Pasal 34 (1) Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menurut pelayanannya dikelompokkan dalam tipe A, tipe B, dan tipe C. (2) Setiap tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dalam beberapa kelas berdasarkan intensitas Kendaraan yang dilayani. Pasal 35 Untuk kepentingan sendiri, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan swasta dapat membangun Terminal barang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 36 Setiap Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib singgah di Terminal yang sudah ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam izin trayek. Paragraf 2 Penetapan Lokasi Terminal Pasal 37 (1) Penentuan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan rencana kebutuhan Terminal yang merupakan bagian dari Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Penetapan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan: a. tingkat aksesibilitas Pengguna Jasa angkutan; b. kesesuaian lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/ Kota; c. kesesuaian . . . - 23 - c. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/ atau kinerja jaringan Jalan, jaringan trayek, dan jaringan lintas; d. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/ atau pusat kegiatan; e. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain; f. permintaan angkutan; g. kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi; h. Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/ atau i. kelestarian lingkungan hidup. Paragraf 3 Fasilitas Terminal Pasal 38 (1) Setiap penyelenggara Terminal wajib menyediakan fasilitas Terminal yang memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan. (2) Fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas utama dan fasilitas penunjang. (3) Untuk menjaga kondisi fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggara Terminal wajib melakukan pemeliharaan. Paragraf 4 Lingkungan Kerja Terminal Pasal 39 (1) Lingkungan kerja Terminal merupakan daerah yang diperuntukkan bagi fasilitas Terminal. (2) Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh penyelenggara Terminal dan digunakan untuk pelaksanaan pembangunan, pengembangan, dan pengoperasian fasilitas Terminal. (3) Lingkungan . . . - 24- (3) Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/ kota, khusus Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi. Paragraf 5 Pembangunan dan Pengoperasian Terminal Pasal 40 (1) Pembangunan Terminal harus dilengkapi dengan: a. rancang bangun; b. buku kerja rancang bangun; c. rencana induk Terminal; d. analisis dampak Lalu Lintas; dan e. analisis mengenai dampak lingkungan. (2) Pengoperasian Terminal meliputi kegiatan: a. perencanaan; b. pelaksanaan; dan c. pengawasan operasional Terminal. Pasal 41 (1) Setiap penyelenggara Terminal wajib memberikan pelayanan jasa Terminal sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan. (2) Pelayanan jasa Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan retribusi yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 6 Pengaturan Lebih Lanjut Pasal 42 Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, klasifikasi, tipe, penetapan lokasi, fasilitas, lingkungan kerja, pembangunan, dan pengoperasian Terminal diatur dengan peraturan pemerintah. Bagian Kelima . . . - 25 - Bagian Kelima Fasilitas Parkir Pasal 43 (1) Penyediaan fasilitas Parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di luar Ruang Milik Jalan sesuai dengan izin yang diberikan. (2) Penyelenggaraan fasilitas Parkir di luar Ruang Milik Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia berupa: a. usaha khusus perparkiran; atau b. penunjang usaha pokok. (3) Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, dan/ atau Marka Jalan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengguna Jasa fasilitas Parkir, perizinan, persyaratan, dan tata cara penyelenggaraan fasilitas dan Parkir untuk umum diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 44 Penetapan lokasi dan pembangunan fasilitas Parkir untuk umum dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan : a. rencana umum tata ruang; b. analisis dampak lalu lintas; dan c. kemudahan bagi Pengguna Jasa. Bagian Keenam Fasilitas Pendukung Pasal 45 (1) Fasilitas pendukung penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi: a. trotoar; b. lajur . . . - 26 - b. lajur sepeda; c. tempat penyeberangan Pejalan Kaki; d. Halte; dan/ atau e. fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut. (2) Penyediaan fasilitas pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh: a. Pemerintah untuk jalan nasional; b. pemerintah provinsi untuk jalan provinsi; c. pemerintah kabupaten untuk jalan kabupaten dan jalan desa; d. pemerintah kota untuk jalan kota; dan e. badan usaha jalan tol untuk jalan tol. Pasal 46 (1) Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan, pengelolaan, dan pemeliharaan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dapat bekerja sama dengan pihak swasta. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, serta spesifikasi teknis fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah. BAB VII KENDARAAN Bagian Kesatu Jenis dan Fungsi Kendaraan Pasal 47 (1) Kendaraan terdiri atas: a. Kendaraan Bermotor; dan b. Kendaraan Tidak Bermotor. (2) Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelompokkan berdasarkan jenis: a. sepeda motor; b. mobil . . . - 27 - b. mobil penumpang; c. mobil bus; d. mobil barang; dan e. kendaraan khusus. (3) Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d dikelompokkan berdasarkan fungsi: a. Kendaraan Bermotor perseorangan; dan b. Kendaraan Bermotor Umum. (4) Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikelompokkan dalam: a. Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga orang; dan b. Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga hewan. Bagian Kedua Persyaratan Teknis dan Laik Jalan Kendaraan Bermotor Pasal 48 (1) Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan harus memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan. (2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. susunan; b. perlengkapan; c. ukuran; d. karoseri; e. rancangan teknis kendaraan sesuai dengan peruntukannya; f. pemuatan; g. penggunaan; h. penggandengan Kendaraan Bermotor; dan/ atau i. penempelan Kendaraan Bermotor. (3) Persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh kinerja minimal Kendaraan Bermotor yang diukur sekurang-kurangnya terdiri atas: a. emisi gas buang; b. kebisingan . . . - 28 - b. kebisingan suara; c. efisiensi sistem rem utama; d. efisiensi sistem rem parkir; e. kincup roda depan; f. suara klakson; g. daya pancar dan arah sinar lampu utama; h. radius putar; i. akurasi alat penunjuk kecepatan; j. kesesuaian kinerja roda dan kondisi ban; dan k. kesesuaian daya mesin penggerak terhadap berat Kendaraan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah. Bagian Ketiga Pengujian Kendaraan Bermotor Pasal 49 (1) Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang diimpor, dibuat dan/ atau dirakit di dalam negeri yang akan dioperasikan di Jalan wajib dilakukan pengujian. (2) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. uji tipe; dan uji tipe; dan b. uji berkala. Pasal 50 (1) Uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a wajib dilakukan bagi setiap Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan, yang diimpor, dibuat dan/ atau dirakit di dalam negeri, serta modifikasi Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe. (2) Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. pengujian fisik untuk pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan yang dilakukan terhadap landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap; dan b. penelitian . . . - 29 - b. penelitian rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor yang dilakukan terhadap rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan, dan Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi tipenya. (3) Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh unit pelaksana uji tipe Pemerintah. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai uji tipe dan unit pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 5 1 (1) Landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap yang telah lulus uji tipe diberi sertifikat lulus uji tipe. (2) Rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan, dan modifikasi tipe Kendaraan Bermotor yang telah lulus uji tipe diterbitkan surat keputusan pengesahan rancang bangun dan rekayasa. (3) Penanggung jawab pembuatan, perakitan, pengimporan landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap, rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan dan kereta tempelan, serta Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi harus meregistrasikan tipe produksinya. (4) Sebagai bukti telah dilakukan registrasi tipe produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diberikan tanda bukti sertifikat registrasi uji tipe. (5) Sebagai jaminan kesesuaian spesifikasi teknik seri produksinya terhadap sertifikat uji tipe, dilakukan uji sampel oleh unit pelaksana uji tipe Pemerintah. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai modifikasi dan uji tipe diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 52 - 30 - Pasal 52 (1) Modifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dapat berupa modifikasi dimensi, mesin, dan kemampuan daya angkut. (2) Modifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh membahayakan keselamatan berlalu lintas, mengganggu arus lalu lintas, serta merusak lapis perkerasan /daya dukung jalan yang dilalui. (3) Setiap Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi sehingga mengubah persyaratan konstruksi dan material wajib dilakukan uji tipe ulang. (4) Bagi Kendaraan Bermotor yang telah diuji tipe ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus dilakukan registrasi dan identifikasi ulang. Pasal 53 (1) Uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b diwajibkan untuk mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang dioperasikan di Jalan. (2) Pengujian berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan: a. pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan Bermotor; dan b. pengesahan hasil uji. (3) Kegiatan pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan oleh: a. unit pelaksana pengujian pemerintah kabupaten/ kota; b. unit pelaksana agen tunggal pemegang merek yang mendapat izin dari Pemerintah; atau c. unit pelaksana pengujian swasta yang mendapatkan izin dari Pemerintah. Pasal 54 - 31 - Pasal 54 (1) Pemeriksaan dan pengujian fisik mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kendaraan khusus, kereta gandengan, dan kereta tempelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a meliputi pengujian terhadap persyaratan teknis dan laik jalan. (2) Pengujian terhadap persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. susunan; b. perlengkapan; c. ukuran; d. karoseri; dan e. rancangan teknis Kendaraan Bermotor sesuai dengan peruntukannya. (3) Pengujian terhadap persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi: a. emisi gas buang Kendaraan Bermotor; b. tingkat kebisingan; c. kemampuan rem utama; d. kemampuan rem parkir; e. kincup roda depan; f. kemampuan pancar dan arah sinar lampu utama; g. akurasi alat penunjuk kecepatan; dan h. kedalaman alur ban. (4) Pengujian terhadap persyaratan laik jalan kereta gandengan dan kereta tempelan meliputi uji kemampuan rem, kedalaman alur ban, dan uji sistem lampu. (5) Bukti lulus uji berkala hasil pemeriksaan dan pengujian fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemberian kartu uji dan tanda uji. (6) Kartu uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat keterangan tentang identifikasi Kendaraan Bermotor dan identitas pemilik, spesifikasi teknis, hasil uji, dan masa berlaku hasil uji. (7) Tanda uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat keterangan tentang identifikasi Kendaraan Bermotor dan masa berlaku hasil uji. Pasal 55 . . . - 32 - Pasal 55 (1) Pengesahan hasil uji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b diberikan oleh: a. petugas yang memiliki kompetensi yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan atas usul gubernur untuk pengujian yang dilakukan oleh unit pelaksana pengujian pemerintah kabupaten/ kota; dan b. petugas swasta yang memiliki kompetensi yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk pengujian yang dilakukan oleh unit pelaksana pengujian agen tunggal pemegang merek dan unit pelaksana pengujian swasta. (2) Kompetensi petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat tanda lulus pendidikan dan pelatihan. Pasal 56 Ketentuan lebih lanjut mengenai uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55 diatur dengan peraturan pemerintah. Bagian Keempat Perlengkapan Kendaraan Bermotor Pasal 57 (1) Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi dengan perlengkapan Kendaraan Bermotor. (2) Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Sepeda Motor berupa helm standar nasional Indonesia. (3) Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih sekurang- kurangnya terdiri atas: a. sabuk keselamatan; b. ban cadangan; c. segitiga . . . - 33 - c. segitiga pengaman; d. dongkrak; e. pembuka roda; f. helm dan rompi pemantul cahaya bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang tidak memiliki rumah-rumah; dan g. peralatan pertolongan pertama pada Kecelakaan Lalu Lintas. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 58 Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan dilarang memasang perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas. Pasal 59 (1) Untuk kepentingan tertentu, Kendaraan Bermotor dapat dilengkapi dengan lampu isyarat dan/ atau sirene. (2) Lampu isyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas warna: a. merah; b. biru; dan c. kuning. (3) Lampu isyarat warna merah atau biru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b serta sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai tanda Kendaraan Bermotor yang memiliki hak utama. (4) Lampu isyarat warna kuning sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berfungsi sebagai tanda peringatan kepada Pengguna Jalan lain. (5) Penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sebagai berikut: a. lampu isyarat warna biru dan sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia; b. lampu . . . - 34- b. lampu isyarat warna merah dan sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor tahanan, pengawalan Tentara Nasional Indonesia, pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, rescue, dan jenazah; dan c. lampu isyarat warna kuning tanpa sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor patroli jalan tol, pengawasan sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perawatan dan pembersihan fasilitas umum, menderek Kendaraan, dan angkutan barang khusus. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, prosedur, dan tata cara pemasangan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bagian Kelima Bengkel Umum Kendaraan Bermotor Pasal 60 (1) Bengkel umum Kendaraan Bermotor berfungsi untuk memperbaiki dan merawat Kendaraan Bermotor, wajib memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan. (2) Bengkel umum yang mempunyai akreditasi dan kualitas tertentu dapat melakukan pengujian berkala Kendaraan Bermotor. (3) Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang industri. (4) Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan izin dari pemerintah kabupaten/ kota berdasarkan rekomendasi dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. (5) Pengawasan . . . - 35 - (5) Pengawasan terhadap bengkel umum Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/ kota. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum diatur dengan peraturan pemerintah. Bagian Keenam Kendaraan Tidak Bermotor Pasal 6 1 (1) Setiap Kendaraan Tidak Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib memenuhi persyaratan keselamatan, meliputi: a. persyaratan teknis; dan b. persyaratan tata cara memuat barang. (2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sekurang-kurangnya meliputi: a. konstruksi; b. sistem kemudi; c. sistem roda; d. sistem rem; e. lampu dan pemantul cahaya; dan f. alat peringatan dengan bunyi. (3) Persyaratan tata cara memuat barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sekurang-kurangnya meliputi dimensi dan berat. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 62 (1) Pemerintah harus memberikan kemudahan berlalu lintas bagi pesepeda. (2) Pesepeda - 36 - (2) Pesepeda berhak atas fasilitas pendukung keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran dalam berlalu lintas. Pasal 63 (1) Pemerintah Daerah dapat menentukan jenis dan penggunaan Kendaraan Tidak Bermotor di daerahnya sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan daerah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan penggunaan Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan daerah kabupaten/ kota. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan penggunaan Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersifat lintas kabupaten/ kota diatur dengan peraturan daerah provinsi. Bagian Ketujuh Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor Pasal 64 (1) Setiap Kendaraan Bermotor wajib diregistrasikan. (2) Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. registrasi Kendaraan Bermotor baru; b. registrasi perubahan identitas Kendaraan Bermotor dan pemilik; c. registrasi perpanjangan Kendaraan Bermotor; dan/ atau d. registrasi pengesahan Kendaraan Bermotor. (3) Registrasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: a. tertib administrasi; b. pengendalian dan pengawasan Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Indonesia; c. mempermudah penyidikan pelanggaran dan/ atau kejahatan; d. perencanaan . . . - 37 - d. perencanaan, operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan e. perencanaan pembangunan nasional. (4) Registrasi Kendaraan Bermotor dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui sistem manajemen registrasi Kendaraan Bermotor. (5) Data registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor merupakan bagian dari Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan digunakan untuk forensik kepolisian. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 65 (1) Registrasi Kendaraan Bermotor baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf a meliputi kegiatan: a. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan pemiliknya; b. penerbitan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor; dan c. penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor. (2) Sebagai bukti bahwa Kendaraan Bermotor telah diregistrasi, pemilik diberi Buku Pemilik Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor. Pasal 66 Registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor untuk pertama kali harus memenuhi persyaratan: a. memiliki sertifikat registrasi uji tipe; b. memiliki bukti kepemilikan Kendaraan Bermotor yang sah; dan c. memiliki hasil pemeriksaan cek fisik Kendaraan Bermotor.
Pasal 67

- 38 - Pasal 67 (1) Registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor, pembayaran pajak Kendaraan Bermotor, dan pembayaran Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan secara terintegrasi dan terkoordinasi dalam Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap. (2) Sarana dan prasarana penyelenggaraan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan oleh Pemerintah Daerah. (3) Mekanisme penyelenggaraan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap dikoordinasikan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan prosedur serta pelaksanaan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Presiden. Pasal 68 (1) Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor. (2) Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat data Kendaraan Bermotor, identitas pemilik, nomor registrasi Kendaraan Bermotor, dan masa berlaku. (3) Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kode wilayah, nomor registrasi, dan masa berlaku. (4) Tanda Nomor Kendaraan Bermotor harus memenuhi syarat bentuk, ukuran, bahan, warna, dan cara pemasangan. (5) Selain Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikeluarkan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor khusus dan/ atau Tanda Nomor Kendaraan Bermotor rahasia. (6) Ketentuan . . . - 39 - (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 69 (1) Setiap Kendaraan Bermotor yang belum diregistrasi dapat dioperasikan di Jalan untuk kepentingan tertentu dengan dilengkapi Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Nomor Kendaraan Bermotor. (2) Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia kepada badan usaha di bidang penjualan, pembuatan, perakitan, atau impor Kendaraan Bermotor. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemberian dan penggunaan Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Nomor Kendaraan Bermotor diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 70 (1) Buku Pemilik Kendaraan Bermotor berlaku selama kepemilikannya tidak dipindahtangankan. (2) Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor berlaku selama 5 (lima) tahun, yang harus dimintakan pengesahan setiap tahun. (3) Sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor wajib diajukan permohonan perpanjangan. Pasal 7 1 (1) Pemilik Kendaraan Bermotor wajib melaporkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia jika: a. bukti registrasi hilang atau rusak; b. spesifikasi teknis dan/ atau fungsi Kendaraan Bermotor diubah; c. kepemilikan . . . - 40 - c. kepemilikan Kendaraan Bermotor beralih; atau d. Kendaraan Bermotor digunakan secara terus- menerus lebih dari 3 (tiga) bulan di luar wilayah Kendaraan diregistrasi. (2) Pelaporan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c disampaikan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia di tempat Kendaraan Bermotor tersebut terakhir diregistrasi. (3) Pelaporan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disampaikan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia di tempat Kendaraan Bermotor tersebut dioperasikan. Pasal 72 (1) Registrasi Kendaraan Bermotor Tentara Nasional Indonesia diatur dengan peraturan Panglima Tentara Nasional Indonesia dan dilaporkan untuk pendataan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. (2) Registrasi Kendaraan Bermotor Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. (3) Registrasi Kendaraan Bermotor perwakilan negara asing dan lembaga internasional diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 73 (1) Kendaraan Bermotor Umum yang telah diregistrasi dapat dihapus dari daftar registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor Umum atas dasar: a. permintaan pemilik Kendaraan Bermotor Umum; atau b. usulan pejabat yang berwenang memberi izin angkutan umum. (2) Setiap Kendaraan Bermotor Umum yang tidak lagi digunakan sebagai angkutan umum wajib dihapuskan dari daftar registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor Umum. Pasal 74 - 41 - Pasal 74 (1) Kendaraan Bermotor yang telah diregistrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dapat dihapus dari daftar registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor atas dasar: a. permintaan pemilik Kendaraan Bermotor; atau b. pertimbangan pejabat yang berwenang melaksanakan registrasi Kendaraan Bermotor. (2) Penghapusan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan jika: a. Kendaraan Bermotor rusak berat sehingga tidak dapat dioperasikan; atau b. pemilik Kendaraan Bermotor tidak melakukan registrasi ulang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun setelah habis masa berlaku Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor. (3) Kendaraan Bermotor yang telah dihapus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diregistrasi kembali. Pasal 75 Ketentuan lebih lanjut mengenai Buku Pemilik Kendaraan Bermotor, penghapusan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bagian Kedelapan Sanksi Administratif Pasal 76 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 53 ayat (1), Pasal 54 ayat (2) atau ayat (3), atau Pasal 60 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembayaran denda; c. pembekuan izin; dan/ atau d. pencabutan izin. (2) Setiap . . . - 42 - (2) Setiap orang yang menyelenggarakan bengkel umum yang melanggar ketentuan Pasal 60 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembayaran denda; dan/ atau c. penutupan bengkel umum. (3) Setiap petugas pengesah swasta yang melanggar ketentuan Pasal 54 ayat (2) atau ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembayaran denda; c. pembekuan sertifikat pengesah; dan/ atau d. pencabutan sertifikat pengesah. (4) Setiap petugas penguji atau pengesah uji berkala yang melanggar ketentuan Pasal 54 ayat (2) atau ayat (3) dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah. BAB VIII PENGEMUDI Bagian Kesatu Surat Izin Mengemudi Paragraf 1 Persyaratan Pengemudi Pasal 77 (1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan. (2) Surat . . . - 43 - (2) Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 2 (dua) jenis: a. Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor perseorangan; dan b. Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum. (3) Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi, calon Pengemudi harus memiliki kompetensi mengemudi yang dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan atau belajar sendiri. (4) Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum, calon Pengemudi wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan Pengemudi angkutan umum. (5) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya diikuti oleh orang yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor perseorangan. Paragraf 2 Pendidikan dan Pelatihan Pengemudi Pasal 78 (1) Pendidikan dan pelatihan mengemudi diselenggarakan oleh lembaga yang mendapat izin dan terakreditasi dari Pemerintah. (2) Izin penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan mengemudi yang diberikan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. (3) Izin penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan mengemudi yang diberikan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. (4) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 79 . . . - 44 - Pasal 79 (1) Setiap calon Pengemudi pada saat belajar mengemudi atau mengikuti ujian praktik mengemudi di Jalan wajib didampingi instruktur atau penguji. (2) Instruktur atau penguji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas pelanggaran dan/ atau Kecelakaan Lalu Lintas yang terjadi saat calon Pengemudi belajar atau menjalani ujian. Paragraf 3 Bentuk dan Penggolongan Surat Izin Mengemudi Pasal 80 Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) huruf a digolongkan menjadi: a. Surat Izin Mengemudi A berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; b. Surat Izin Mengemudi B I berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; c. Surat Izin Mengemudi B II berlaku untuk mengemudikan Kendaraan alat berat, Kendaraan penarik, atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan perseorangan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 (seribu) kilogram; d. Surat Izin Mengemudi C berlaku untuk mengemudikan Sepeda Motor; dan e. Surat Izin Mengemudi D berlaku untuk mengemudikan kendaraan khusus bagi penyandang cacat. Pasal 8 1 (1) Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, setiap orang harus memenuhi persyaratan usia, administratif, kesehatan, dan lulus ujian. (2) Syarat . . . - 45 - (2) Syarat usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut: a. usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D; b. usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I; dan c. usia 2 1 (dua puluh satu) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II. (3) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. identitas diri berupa Kartu Tanda Penduduk; b. pengisian formulir permohonan; dan c. rumusan sidik jari. (4) Syarat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. sehat jasmani dengan surat keterangan dari dokter; dan b. sehat rohani dengan surat lulus tes psikologis. (5) Syarat lulus ujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. ujian teori; b. ujian praktik; dan/ atau c. ujian keterampilan melalui simulator. (6) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor yang akan mengajukan permohonan: a. Surat Izin Mengemudi B I harus memiliki Surat Izin Mengemudi A sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan; dan b. Surat Izin Mengemudi B II harus memiliki Surat Izin Mengemudi B I sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan. Pasal 82 - 46 - Pasal 82 Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) huruf b digolongkan menjadi: a. Surat Izin Mengemudi A Umum berlaku untuk mengemudikan kendaraan bermotor umum dan barang dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; b. Surat Izin Mengemudi B I Umum berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang umum dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; dan c. Surat Izin Mengemudi B II Umum berlaku untuk mengemudikan Kendaraan penarik atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 (seribu) kilogram. Pasal 83 (1) Setiap orang yang mengajukan permohonan untuk dapat memiliki Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor Umum harus memenuhi persyaratan usia dan persyaratan khusus. (2) Syarat usia untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut: a. usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A Umum; b. usia 22 (dua puluh dua) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I Umum; dan c. usia 23 (dua puluh tiga) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II Umum. (3) Persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut: a. lulus ujian teori yang meliputi pengetahuan mengenai: 1. pelayanan angkutan umum; 2. fasilitas umum dan fasilitas sosial; 3. pengujian Kendaraan Bermotor; 4. tata cara mengangkut orang dan/ atau barang; 5. tempat . . . - 47 - 5. tempat penting di wilayah domisili; 6. jenis barang berbahaya; dan 7. pengoperasian peralatan keamanan. b. lulus ujian praktik, yang meliputi: 1. menaikkan dan menurunkan penumpang dan/ atau barang di Terminal dan di tempat tertentu lainnya; 2. tata cara mengangkut orang dan/ atau barang; 3. mengisi surat muatan; 4. etika Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum; dan 5. pengoperasian peralatan keamanan. (4) Dengan memperhatikan syarat usia, setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor yang akan mengajukan permohonan: a. Surat Izin Mengemudi A Umum harus memiliki Surat Izin Mengemudi A sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan; b. untuk Surat Izin Mengemudi B I Umum harus memiliki Surat Izin Mengemudi B I atau Surat Izin Mengemudi A Umum sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan; dan c. untuk Surat Izin Mengemudi B II Umum harus memiliki Surat Izin Mengemudi B II atau Surat Izin Mengemudi B I Umum sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan. (5) Selain harus memenuhi persyaratan usia dan persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), setiap orang yang mengajukan permohonan untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (3) dan ayat (4). Pasal 84 Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor dapat digunakan sebagai Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor yang jumlah beratnya sama atau lebih rendah, sebagai berikut: a. Surat Izin Mengemudi A Umum dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A; b. Surat . . . - 48 - b. Surat Izin Mengemudi B I dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A; c. Surat Izin Mengemudi B I Umum dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi A Umum, dan Surat Izin Mengemudi B I; d. Surat Izin Mengemudi B II dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A dan Surat Izin Mengemudi B I; atau e. Surat Izin Mengemudi B II Umum dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi A Umum, Surat Izin Mengemudi B I, Surat Izin Mengemudi B I Umum, dan Surat Izin Mengemudi B II. Pasal 85 (1) Surat Izin Mengemudi berbentuk kartu elektronik atau bentuk lain. (2) Surat Izin Mengemudi berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. (3) Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (4) Dalam hal terdapat perjanjian bilateral atau multilateral antara Negara Kesatuan Republik Indonesia dan negara lain, Surat Izin Mengemudi yang diterbitkan di Indonesia dapat pula berlaku di negara lain dan Surat Izin Mengemudi yang diterbitkan oleh negara lain berlaku di Indonesia. (5) Pemegang Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat memperoleh Surat Izin Mengemudi internasional yang diterbitkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Paragraf 4 - 49 - Paragraf 4 Fungsi Surat Izin Mengemudi Pasal 86 (1) Surat Izin Mengemudi berfungsi sebagai bukti kompetensi mengemudi. (2) Surat Izin Mengemudi berfungsi sebagai registrasi Pengemudi Kendaraan Bermotor yang memuat keterangan identitas lengkap Pengemudi. (3) Data pada registrasi Pengemudi dapat digunakan untuk mendukung kegiatan penyelidikan, penyidikan, dan identifikasi forensik kepolisian. Bagian Kedua Penerbitan dan Penandaan Surat Izin Mengemudi Paragraf 1 Penerbitan Surat Izin Mengemudi Pasal 87 (1) Surat Izin Mengemudi diberikan kepada setiap calon Pengemudi yang lulus ujian mengemudi. (2) Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. (3) Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib menyelenggarakan sistem informasi penerbitan Surat Izin Mengemudi. (4) Setiap petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang penerbitan Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menaati prosedur penerbitan Surat Izin Mengemudi. Pasal 88 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, persyaratan, pengujian, dan penerbitan Surat Izin Mengemudi diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Paragraf 2 . . . - 50 - Paragraf 2 Pemberian Tanda Pelanggaran pada Surat Izin Mengemudi Pasal 89 (1) Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang memberikan tanda atau data pelanggaran terhadap Surat Izin Mengemudi milik Pengemudi yang melakukan pelanggaran tindak pidana Lalu Lintas. (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk menahan sementara atau mencabut Surat Izin Mengemudi sementara sebelum diputus oleh pengadilan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian tanda atau data pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bagian Ketiga Waktu Kerja Pengemudi Pasal 90 (1) Setiap Perusahaan Angkutan Umum wajib mematuhi dan memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (2) Waktu kerja bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 8 (delapan) jam sehari. (3) Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum setelah mengemudikan Kendaraan selama 4 (empat) jam berturut-turut wajib beristirahat paling singkat setengah jam. (4) Dalam hal tertentu Pengemudi dapat dipekerjakan paling lama 12 (dua belas) jam sehari termasuk waktu istirahat selama 1 (satu) jam. Bagian Keempat . . . - 51 - Bagian Keempat Sanksi Administratif Pasal 9 1 (1) Setiap petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang penerbitan Surat Izin Mengemudi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa sanksi disiplin dan/ atau etika profesi kepolisian. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 92 (1) Setiap Perusahaan Angkutan Umum yang tidak mematuhi dan memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian Pengemudi Kendaraan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. pemberian denda administratif; c. pembekuan izin; dan/ atau d. pencabutan izin. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah. BAB IX - 52 - BAB IX LALU LINTAS Bagian Kesatu Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas Paragraf 1 Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas Pasal 93 (1) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dilaksanakan untuk mengoptimalkan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas dalam rangka menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. penetapan prioritas angkutan massal melalui penyediaan lajur atau jalur atau jalan khusus; b. pemberian prioritas keselamatan dan kenyamanan Pejalan Kaki; c. pemberian kemudahan bagi penyandang cacat; d. pemisahan atau pemilahan pergerakan arus Lalu Lintas berdasarkan peruntukan lahan, mobilitas, dan aksesibilitas; e. pemaduan berbagai moda angkutan; f. pengendalian Lalu Lintas pada persimpangan; g. pengendalian Lalu Lintas pada ruas Jalan; dan/ atau h. perlindungan terhadap lingkungan. (3) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas meliputi kegiatan: a. perencanaan; b. pengaturan; c. perekayasaan; d. pemberdayaan; dan e. pengawasan. Pasal 94 - 53 - Pasal 94 (1) Kegiatan perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf a meliputi: a. identifikasi masalah Lalu Lintas; b. inventarisasi dan analisis situasi arus Lalu Lintas; c. inventarisasi dan analisis kebutuhan angkutan orang dan barang; d. inventarisasi dan analisis ketersediaan atau daya tampung jalan; e. inventarisasi dan analisis ketersediaan atau daya tampung Kendaraan; f. inventarisasi dan analisis angka pelanggaran dan Kecelakaan Lalu Lintas; g. inventarisasi dan analisis dampak Lalu Lintas; h. penetapan tingkat pelayanan; dan i. penetapan rencana kebijakan pengaturan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas. (2) Kegiatan pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf b meliputi: a. penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas pada jaringan Jalan tertentu; dan b. pemberian informasi kepada masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan. (3) Kegiatan perekayasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf c meliputi: a. perbaikan geometrik ruas Jalan dan/ atau persimpangan serta perlengkapan Jalan yang tidak berkaitan langsung dengan Pengguna Jalan; b. pengadaan, pemasangan, perbaikan, dan pemeliharaan perlengkapan Jalan yang berkaitan langsung dengan Pengguna Jalan; dan c. optimalisasi operasional rekayasa Lalu Lintas dalam rangka meningkatkan ketertiban, kelancaran, dan efektivitas penegakan hukum. (4) Kegiatan pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf d meliputi pemberian: a. arahan; b. bimbingan; c. penyuluhan; d. pelatihan . . . - 54- d. pelatihan; dan e. bantuan teknis. (5) Kegiatan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf e meliputi: a. penilaian terhadap pelaksanaan kebijakan; b. tindakan korektif terhadap kebijakan; dan c. tindakan penegakan hukum. Pasal 95 (1) Penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (2) huruf a yang berupa perintah, larangan, peringatan, atau petunjuk diatur dengan: a. peraturan Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk jalan nasional; b. peraturan daerah provinsi untuk jalan provinsi; c. peraturan daerah kabupaten untuk jalan kabupaten dan jalan desa; atau d. peraturan daerah kota untuk jalan kota. (2) Perintah, larangan, peringatan, atau petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan/ atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas. Paragraf 2 Tanggung Jawab Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas Pasal 96 (1) Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, huruf g, huruf h, dan huruf i, Pasal 94 ayat (2), Pasal 94 ayat (3) huruf b, Pasal 94 ayat (4), serta Pasal 94 ayat (5) huruf a dan huruf b untuk jaringan jalan nasional. (2) Menteri - 55 - (2) Menteri yang membidangi Jalan bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, huruf g, huruf h, dan huruf i, serta Pasal 94 ayat (3) huruf a untuk jalan nasional. (3) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf f, huruf g, dan huruf i, Pasal 94 ayat (3) huruf c, dan Pasal 94 ayat (5). (4) Gubernur bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan provinsi setelah mendapat rekomendasi dari instansi terkait. (5) Bupati bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan kabupaten dan/ atau jalan desa setelah mendapat rekomendasi dari instansi terkait. (6) Walikota bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan kota setelah mendapat rekomendasi dari instansi terkait. Pasal 97 (1) Dalam hal terjadi perubahan arus Lalu Lintas secara tiba-tiba atau situasional, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melaksanakan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepolisian. (2) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan Rambu Lalu Lintas, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, serta alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan yang bersifat sementara. (3) Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat memberikan rekomendasi pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepada instansi terkait. Pasal 98 - 56 - Pasal 98 (1) Penanggung jawab pelaksana Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas wajib berkoordinasi dan membuat analisis, evaluasi, dan laporan pelaksanaan berdasarkan data dan kinerjanya. (2) Laporan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Bagian Kedua Analisis Dampak Lalu Lintas Pasal 99 (1) Setiap rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib dilakukan analisis dampak Lalu Lintas. (2) Analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat: a. analisis bangkitan dan tarikan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; b. simulasi kinerja Lalu Lintas tanpa dan dengan adanya pengembangan; c. rekomendasi dan rencana implementasi penanganan dampak; d. tanggung jawab Pemerintah dan pengembang atau pembangun dalam penanganan dampak; dan e. rencana pemantauan dan evaluasi. (3) Hasil analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu syarat bagi pengembang untuk mendapatkan izin Pemerintah dan/ atau Pemerintah Daerah menurut peraturan perundang-undangan. Pasal 100 (1) Analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1) dilakukan oleh lembaga konsultan yang memiliki tenaga ahli bersertifikat. (2) Hasil . . . - 57 - (2) Hasil analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3) harus mendapatkan persetujuan dari instansi yang terkait di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Thursday 21 January 2016

Hukum Kesehatan Tentang Etika Keperawatan



HUKUM KESEHATAN TENTANG ETIKA KEPERAWATAN



I.       ETIKA DAN HUKUM

 MATERI HUKUM KESEHATAN DAN KEPERAWATAN
         Pengertian hukum dan ruang lingkup hukum kesehatan dan keperawatan
         Prinsip hukum keperawatan
         UU Nomor 36 tahun 2009
         Hak dan kewajiban dalam tindakan medis

PEMBIDANGAN HUKUM
         Hukum tertulis dan tidak tertulis
         Hukum perdata dan hukum publik

PANDANGAN PAKAR TENTANG HUKUM
            Keseluruhan aturan hukum yang berhubngan dengan bidang pemeliharaan atau pelayanan kesehatan
            Penerapan peraturan-peraturan pelayanan kesehatan di bidang hukum perdata, hukum pidana, dan hkum administrasi

UU NO. 36/2009 TENTANG KESEHATAN TENAGA KESEHATAN/PERAWAT

            Harus memiliki kualifikasi minimum
            Harus memiliki kewenangan yang sesuai dengan keahlian, memiliki izin.
            Harus memenuhi kode etik, standar profesi, hak pengguna yankes, standar pelayanan, SOP
            Pemerintah mengatur penempatan untuk pemerataan
            Untuk kepentingan hukum: wajib periksa kesehatan dengan biaya di tanggung negara
            Dalam hal di duga kelalaian, selesaikan dengan mediasi terlebih dahulu

UU N0. 44/2009 TENTANG RUMAH SAKIT
         PASAL 13
1)      Tenaga medis  yang melakukan praktik kedokteran di rumah sakit wajib memiliki surat ijin praktik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
2)      Tenaga kesehatan tertentu yang bekerja di rumah sakit wajib memiliki izin sesuai dengan ketentan peraturan perundang-undangan
3)      Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan rumah sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan paasien
4)      Ketentuan mengenai tenaga medis dan tenaga kesehatan sebagaimana yang di maksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan



PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR HK.02.02/MENKES/148/2010 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAKAN PRAKTIK KEPERAWATAN 
        Merupakan pelaksanaan dari pasal 23 (5) UU No. 36 tahun 2010
        Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik dalam maupun luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan

KEWENANGAN      
            Kewenangan perawat: hak dan otonomi untuk melaksanakan asuhan keperawatan berdasarkan kemampuan, tingkat pendidikan dan posisi di sarana kesehatan

PENYELENGGARAAN PRAKTIK
            Praktik keperawatan di laksanakan pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama, tingkat kedua, dan tingkat ketiga
            Ditujukan kepada: individu, keluarga, kelompok dan masyarakat
         Kegiatan:
*       Pelaksanaan asuhan keperawatan
*       Pelaksanaan upaya promotif, preventif, pemulihan, dan pemberdayaan masyarakat
*       Pelaksanaan tindakan keperawatan komplemeter

PEMBERIAN OBAT-OBATAN
         Pasal 8 (7)
Perawat dalam menjalankan asuhan keperawatan dapat memberikan obat bebas dan obar bebas terbatas

TANGGUNG JAWAB
            Tanggung jawab perawat: etik, disiplin, dan hukum

KODE ETIK
         Norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap profesi di dalam melaksanakan
tugas profesinya dan di dalam hidupnya di masyarakat

PRINSIP - PRINSIP ETIK.
            Prinsip otonomi setiap orang berhak untuk melakukan atau memtuskan apa yang di kehendaki terhadap dirinya sendiri.
        Prinsip non maleficence berarti dalam setiap tindakan jangan sampai merugikan orang lain.
         Prinsip benefience berisikan kewajiban berbuat baik
         Prinsip keadilan menjelaskan bahwa dalam alokasi sumber daya sedapat mungkin harus diusahakan agar sampai merata pembagiannya.

HAK DAN KEWAJIBAN
        HAK: kekuasaan / kewenangan yang di miliki seseorang untuk mendapatkan atau memutuskan dalam berbuat sesesuatu
        KEWAJIBAN: sesuatu yang harus di perbuat atau harus di lakukan oleh seseorang


KEWAJIBAN PERAWAT
         Menghormati hak pasien
         Melakukan rujukan
         Menyimpan rahasia sesuai ketentuan peraturan yang berlaku
         Memberikan informasi
         Meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan
         Melakukan pencatatan keperawatan
         Mematuhi standar

HAK PERAWAT
1.       Perlindungan hukum
2.       Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur
3.       Melaksanakan tugas sesuai kompetensi
4.       Imbal jasa profesi
5.       Kesempatan untuk mengembangkan diri
6.     Memperoleh jaminan perlindungan terhadap resiko kerja yang berkaitan dengan tugasnya



II.   STANDAR PRAKTEK KEPERAWATAN

TUJUAN PEMBELAJARAN

1.       Standar praktek keperawatan.
2.       Prinsip dokumentasi efektif.
3.       Peran perawat dalam dokumentasi.
4.       Implikasi hukum terhadap dokumentasi.

PENDAHULUAN
Pada hakekatnya setiap anggota profesi akontabel terhadap kinerjanya harus dapat mempertanggung jawabkan pelayanan yang di berikan.
     Akuntabilitas membutuhkan evaluasi terhadap efektifitas kinerja yang di tampilkan seseorang sesai tanggung jawabnya
        Untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas asuhan keperawatan, di perlukan alat ukur yaitu standar ashan keperawatan
        Dewan pimpinan psat persatuan perawat nasional indonesia telah menyusun standar profesi keperawatan berdasarkan SK No: 03IDPD/SK/I/96, yang terdiri dari;
1.       Standar pelayanan keperawatan
2.       Standar praktek keperawatan
3.       Standar pendidikan keperawatan
4.       Standar pndidikan keperawatan berkelanjutan

8 STANDAR PRAKTEK KEPERAWATAN
        Standar I; pengumpulan data tentang status kesehatan klien / pasien
        Standar 2; diagnosa keperawatan
        Standar 3; rencana asuhan keperawatan
        Standar 4; rencana ashan keperawatan prioritas ( menyelamatkan nyawa pasien)
        Standar 5; tindakan keperawatan-> peningkatan, pemeliharaan, dan pemulihan kesehatan
        Standar 6; tindakan keperawatan-> mengoptimalkan kemampuannya untuk hidup sehat
        Standar 7; pencapaian tujuan
         Standar 8; ada tidaknya kemajuan dalam pencapaian tujuan

DOKUMENTASI KEPERAWATAN
Data yang lengkap, nyata dan tercatat yang bukan hanya tentang kesakitan pasien tapi jga jenis /tipe, kwalitas dan kwantitas pelayanan kesehatan dalam memenuhi kebutuhan pasien (Fisbach, 1991)
Merupakan bukti pelayanan keperawatan yang merekam setiap aspek yang terlibat dalam pemberian pelayanan keperawatan baik aspek klien, perawat, dan tim kesehatan lain.


PRINSIP – PRINSIP PENDOKUMENTASIAN EFEKTIF
        Menggunakan kata-kata dasar, sederhana dan mudah di pahami.
        Pendokumentasian kesimplan diagnosa keperawatan harus akurat, didasarkan informasi yang terkumpul.
        Penggunaan waktu yang cukup untuk mengetahui apa yang terjadi kepada pasien dan apa yang dilakukan pasien
         Perhatikan pasien dari berbagai perspektif, jangan mengandalkan satu alat supaya tepat.
         Pendokmentasian yang jelas dan obyektif.

KOMPONEN MODEL DOKUMENTASI KEPERAWATAN
         Keterampilan
         Proses keperawatan
         Standar dokumentasi

KRITERIA DOKUMENTASI PROSES KEPERAWATAN YANG EFEKTIF
Mengggunakan standar terminologi ( pengkajian, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi)
        Data yang bermanfaat dan relevan dikmpulkan di catat sesuai dengan prosedur dalam catatan yang permanen
        Diagnosa disusun berdasarkan klasifikasi dan analisa yang akurat
        Rencana keperawatan dituis dan di catat sebagai bagian dari catatan yang permanen
Observasi di catat secara akurat, lengkap, dan sesuai urutan waktu
        Evaluasi di catat sesuai urutan waktu, termasuk respon klien terhadap tindakan intervensi keperawatan atau medis juga perlu di tulis
        Rencana tindakan keperawatan yang revisi, berdasarkan hasil yang di harapkan klien.

ASUMSI-ASUMSI DASAR
1.            Kualitas dokumentasi di pengaruhi oleh pemahaman terhadap peran perawat dalam dokumentasi
2.            Pendidikan dan pengalaman perawat menentukan kualitas dan kelengkapan dokumentasi
3.            Tersedia waktu yang cukup untuk dokumentasi
4.            Sistem pendokumentasian harus sesuai dengan keinginan tuntut keperawatan dan harapan institusi
5.       Perlu adanya pedoman pendokmentasian untuk membantu staf menentukan apa, dimana, bagaimana dan kapan pendokmentasian dilakukan

FORMAT PENDOKUMENTASIAN YANG BENAR ( MELIPUTI ELEMEN-ELEMEN)
1.       Elemen data dasar ( demografi, alasan masuk rumah sakit, riwayat penyakit, faktorresiko, informasi lain yang terkait, hasil pemeriksaan diagnostik)
2.            Rencana ashan keperawatan ( diagnosa, tujuan, intervensi, hasil yang diharapkan, evaluasi)
3.            Grafik hasil observasi: suhu, nadi RR, dll
4.            Catatan perkembangan (SOAP)
5.            Flow sheet
6.            Catatan pemberian obat.

PEDOMAN PENULISAN DOKUMENTASI
1.       Mengikuti tatabahasa yang baku
2.       Membuat kalimat atau frase secara lengkap ( subyek, predikat)
3.       Pilih istilah yang tepat
4.       Bila mungkin menggunakan kalimat aktif
5.       Konsisten dalam menggunakan kata / istilah
6.       Spesifik.

IMPLIKASI HUKUM DOKUMENTASI
     Informasi yang di catat dalam dokumentasi harus menunjukan rekaman yang konsisten mengenai keadaan pasien
           Pendokumentasian harus akurat sehingga dapat menunjukan penerapan standar keperawatan dalam askep.

KONDISI-KONDISI YANG BERKAITAN ERAT DENGAN MASALAH HUKUM
         Kematian yang tidak di inginkan
         Kematian otak akibat tindakan
         Kembali ke kamar operasi
         Pasien pindah ke rumah sakit lain
        Trauma di rumah sakit
        Terjadinya lacerasi terus-menerus, perforasi atau rembers pda bekas tusukan suatu prosedur
         Infeksi di dapat di rumah sakit
         Pengangkatan organ yang tak sengaja
         Kelainan neurologis yang terjadi di rumah sakit
         Bunuh diri
         Salah pasien dalam tindakan
         Henti jantung di kamar operasi
         Lika bakar di rumah sakit.

 KESALAHAN PERAWAT YANG TERKAIT HUKUM
Kesalahan dalam memberikan terapi/ prosedur
         Tidak mengobservasi pasien secara adekuat
         Tidak menngecek benda asing dalam tubuh pasien setelah operasi
         Tidak memonitor perubahan pasien
         Luka bakar akibat kompres
         Tidak menggunakan teknik aseptik
            Tidak memonitor penggunaan restrain
         Melakukan tindakan yang tidak kompeten
         Tidak mengikuti standart institusi
         Terlambat melakukan resusitasi
         Tidak mengkomunikasikan kepada dokter tentang perubahan pasien


III. HAK DAN KEWAJIBAN DALAM ETIKA PROFESI KEPERAWATAN

PERAN DAN ADVOKASI KEPERAWATAN
Memberi informasi dan memberi bantuan kepada pasien atas keputusan apapun yang di buat pasien. Memberi informasi berarti menyediakan penjelasan atau informasi sesuai yang di butuhkan pasien. Memberi bantuan mengandng dua peran, yait peran aksi dan non aksi

UNDANG-UNDANG YANG ADA DI INDONESIA YANG BERKAITAN DENGAN PRAKTIK KEPERAWATAN
1.       UU No. 9 tahn 1960, tentang pokok-pokok kesehatan
2.       UU No. 6 tahun 1963, tentang tenaga kesehatan
3.       UU kesehatan No. Tahun 1964, tentang wajib kerja paramedis

FUNGSI HUKUM DAN PRAKTIK KEPERAWATAN
1.       Memberikan kerangka untk menentukan tindakan keperawatan mana yang sesuai dengan hukum
2.       Membedakan tanggung jawab perawat dengan profesi lain
3.       Membantu menentukan batas-batas kewenangan tindakan keperawatan mandiri
4.            Membantu mempertahankan standar praktik keperawatan dengan meletakkan posisi perawat memiliki akuntabilitas di bawah hukum

HAK DAN KEWAJIBAN
A.  HAK PERAWAT
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan yang merupakan salah satu dari praktik keperawatan tentunya seorang perawat memiliki hak dan kewajiban. Dua hal dasar yang harus di penuhi, di mana ada keseimbangan antara tuntunan profesi dengan apa yang semestinya di dapatkan dari pengembangan tugas secara maksimal.

HAK-HAK PERAWAT
-          Hak perlindungan wanita
-          Hak mengendalikan praktik keperawatan sesuai yang di atur oleh hukum
-          Hak mendapat upah yang layak
-          Hak bekerja di lingkungan yang baik
-          Hak terhadap pengembangan profesional
-          Hak menyusun standar praktik dan pendidikan keperawatan

B. KEWAJIBAN PERAWAT
Dalam melaksanakan praktik keperawatan perawat berkewajiaban untuk memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan standar profesi, standar praktek keperawatan, kode etik, dan SOP serta kebutuhan klien atau pasien di mana standar profesi, standar praktek dan kode etik tersebut di tetapkan oleh organisasi profesi dan merupakan pedoman yang harus diikuti oleh setiap tenaga keperawatan.



KEWAJIBAN-KEWAJIBAN PERAWAT
         Wajib memiliki: SIP, SIK, SIPP
         Menghormati hak pasien
         Merujuk kasus yang tidak dapat di tangani
         Menyimpan rahasia pasien sesuai dengan peraturan perundang-undangan
         Wajib memberikan informasi kepada pasien sesuai dengan kewenangan
         Meminta persetujuan setiap tindakan yang akan di lakukan perawat sesai dengan kondisi pasien baik secara tertulis maupun lisan
         Mencatat semua tindakan keperawatan secara akurat sesuai peraturan dan SOP  yang berlaku
         Memakai standar profesi dan kode etik perawat indonesia dalam melaksanakan praktik
         Meningkatkan pengetahuan berdasarkan IPTEK
         Melakukan pertolongan darurat yang mengancam jiwa sesuai dengan kewenangan
            Melaksanakan program pemerintah dalam meningkatkan derajad kesehatan masyarakat
         Menaati semua peraturan perundang-undangan
            Menjaga hubungan kerja yang baik antara sesama perawat maupun dengan anggota tim kesehatan lainnnya

  Hak dan kewajiban klien
  Hak asasi manusia
  Hak orang yang akan meninggal



IV.KODE ETIK KEPERAWATAN

PENDAHULAN

Latar belakang
         Pelayanan keperawatan yang dilaksanakan oleh tenaga kerja perawat profesional, dalam melaksanakan tugasnya dapat bekerja secara mandiri dan dapat pula bekerja sama dengan profesi lain
Rumusan masalah
         Bab 1. Tanggung jawab perawat kepada klien
         Bab 2. Tanggung jawab perawat terhadap tugas
         Bab 3. Tanggung jawab perawat terhadap teman sejawat
         Bab 4. Tnggung jawab perawat terhadap profesi
         Bab 5. Tanggung jawab perawat terhadap negara

Tujuan
     Merupakan dasar dalam mengatur hubngan antar perawat, klien / pasien, teman sebaya, masyarakat, dan unsur profesi, baik dalam profesi keperawatan sendiri maupun hubungannya dengan profesi lain di luar profesi keperawatan

Kode etik
Merupakan bagian dari etika kesehatan yang menerapkan nilai etika terhadap bidang pemeliharaan atau pelayanan kesehatan masyarakat.

  Bab 1: tanggung jawab terhadap klien
Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada individ, keluarga atau komunitas, perawat sangat memerlukan etika keperawatan yang merupakan filsafat yang mengarahkan tanggung jawab moral yang mendasar terhadap pelaksanaan praktik keperawatan, dimana inti dari falsafah tersebut adalah hak dan martabat manusia

  Bab 2: tanggung jawab tugas
Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi di sertai kejujuran profesional dalam menerapkan pengetahuan serta ketrampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individ keluarga dan masyarakat

  Bab 3: tanggung jawab perawat terhadap sesama perawat dan profesional kesehatan lain
Perawat senantiasa memelihara hubungan baik antara sesama perawat dengan tenaga kesehatan lainnya baik dalam memelihara keserasian suasana lingkungan kerja mapun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara keseluruhan

  Bab 4: tanggung jawab perawat terhadap profesi keperawatan
Perawat selalu berusaha meningkatkan pengetahuan profesional secara sendiri-sendiri dan atau bersama-sama dengan jalan menambah ilmu pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang bermanfaat bagi pengembangan perawatan

  Bab 5: tanggung jawab perawat terhadap pemerintah, bangsa dan tanah air
Perawat senantiasa melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai kebijaksanaan yang di gariskan oleh perintahdalam bidang kesehatan dan perawatan
Sanksi hukum membuka rahasia KUHP 322
Barang siapa dengan sengaja membuka suatu rahasia, yang menurut jabatannnya atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, ia diwajibkan menyimpannya. Di hukum penjara selama-lamanya sembilan bulan.
Perawat dan praktik
Perawat memelihara dan meningkatkan kompetensi di bidang keperawatan melalui belajar terus-menerus. Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi serta kejujuran profesional dalam menerapkan pengetahuan serta keterampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien.

Kode etik keperawatan menurut ICN.
a)      Tanggung jawab utama perawat.
b)      Perawat, individu, dan anggota kelompok masyarakat.
c)       Perawat dan pelaksanaan praktek keperawatan.
d)      Perawat dan lingkungan masyarakat.
e)      Perawat dan sejawat.
f)       Perawat dan profesi keperawatan.

Kode etik keperawatan menurut ANA
a)      Perawat memberikan pelayanan dengan penuh hormat bagi martabat kemansiaan.
b)      Perawat melindungi hak klien akan privasi.
c)       Perawat melindungi klien dan publik bila kesehatan dan keselamatannya terancam.
d)      Perawat memikul tanggung jawab atas pertimbangan dan tindakan keperawatan.
e)      Perawat memelihara kompetensi keperawatan.
f)       Perawat melaksanakan pertimbangan yang beralasan an menggunakan kompetensi dan kualifikasi individu.
g)    Perawat turut serta beraktivitas dalam membantu pengembangan pengetahuan profesi.
h)     Perawat turut serta dalam upaya-upaya profesi untuk melaksanakan dan meningkatkan standar profesi.
i)       Perawat turut serta dalam upaya-upaya profesi untuk membentuk dan membina kondisi kerja yang mendukung pelayanan keperawatan yang berkais.
j)       Perawat turut serta dalam upaya-upaya profesi untuk melindngi publik terhadap informasi dan gambaran yang salah serta mempertahankan integritas perawat.
k)      Perawat bekerjasama dengan anggota profesi kesehatan atau warga masyarakat lainnya dalam meningkatkan upaya-upaya masyarakat dan nasional untuk memenuhi kebutuhan kesehatan publik.





V.  HUBUNGAN NILAI BUDAYA BANGSA DENGAN ETIKA PROFESI KEPERAWATAN

PENEGERTIAN NILAI
Nilai adalah suatu yang beharga, keyakinan yang di pegang sedemikian rupa oleh seseorang sesuai dengan tuntutan hati nuraninya (pengertian secara umum).

NILAI BUDAYA
Perawat memiliki nilai dan prilaku pribadi masing-masing. Kode etik profesi membawa perubahan prilaku personal kepada prilaku profesional dan menjadi pedoman bagi tanggung jawab perorangan sebagai anggota profesi dan tanggung jawab sebagai warga negara.

TANGGUNG JAWAB YANG BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN ETIKA.
  Perawat melaksanakan pelayanan dengan menghargai derajad manusia, tidak membedakan kebangsaan
  Perawat melindungi hak klien, kerahasiaan pasien, melibatkan diri hanya terhadap hal yang relevan dengan asuhan keperawatan
  Perawat mempertahankan kompetensinya dalam praktik keperawatan, mengenal, dan menerima tanggung jawab untuk kegiatan dan keputusan yang di ambil.

HUBUNGAN NILAI BUDAYA SOSIAL DENGAN ETIKA PROFESI KEPERAWATAN
Perawat di harapkan harus ramah, baik, bertabiat halus / lembut, jujur dapat di percaya, cerdas, cakep, terampil, dan mempunyai tanggung jawab moral yang baik.

HUBUNGAN NILAI BUDAYA SOSIAL DENGAN ETIKA PROFESI KEPERAWATAN
Kemampuan intelektual perawta sangat penting. Kemampuan ini di ukur dengan berbagai cara memenuhi tanggung jawab keperawatan.

YANG HARUS DI MILIKI OLEH CALON PERAWAT:
1.       Menjadi seorang perawat yang pertama harus mencintai pekerjaannya.
2.       Perawat harus mempunyai kepribadian yang baik.
3.       Perawat sebisa mungkin menjalin komunikasi dengan pasien, sehingga bisa terjalin hubungan yang akrab di antara keduanya.
4.       Perawat harus bisa membawa / menempatkan diri dimana ia berada.



VI.HAK DAN KEWAJIBAN DALAM TINDAKAN MEDIS

REKAM MEDIS
Berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah di berikan kepada pasien.

JENIS REKAM MEDIS
  Rawat jalan
  Rawat inap
  Gawat darurat
  Keadaan bencana
  Pelayanan dalam amblance atau pengobatan massal
  Dan lain-lain

1.       Isi RM pasien rawat jalan.
2.       Isi RM pasien rawat inap.
3.       Isi RM pasien gawat darurat
4.       Isi RM pasien keadaan bencana.
5.            Isi RM untuk pelayanan Dr/Drg Spesialis dapat di kembangkan sesuai kebutuhan.
6.       Isi RM dalam pelayanan ambulance, pengobatan massal di catat dalam RM.

NILAI REKAM MEDIS
         A- Administrasi
         L-Legal
         F-Finansial
         R-Riset
         E-Edukasi
         D-Dokumen

MANFAAT REKAM MEDIS
-          Alat komunikasi.
-          Sumber informasi medis pasien, dokter dan sarana pelayanan kesehatan.
-          Dasar perencanaan pengobatan / perawatan pasien.
-          Bukti tertulis atau segala tindakan pelayanan.
-          Bahan analisa dan evaluasi pelayanan.
-          Perlindungan hukum pasien, dokter dan rumah sakit.
-          Data untuk penelitian.
-          Dasar penghitungan pembiayaan.
-          Bahan pelaporan.
-          Bukti pengadilan.

MUTU REKAM MEDIS
1.       Lengkap
2.       Akurat
3.       Tepat waktu
4.       Persyaratan hukum

PERSYARATAN HUKUM REKAM MEDIS
-          Kelengkapan
-          Keakuratan
-          Ketepatan waktu
-          Diisi / di catat oleh dokter dan perawat, dan tanda tangan
-          Di simpan petugas RM dengan baik
-          Pengelolaan dan pimpinan sarana kesehatan

ASPEK HUKUM REKAM MEDIS
1.       Tanggung jawab
2.       Kepemilikan RM
3.       Rahasia RM
4.       Alat bukti dan PN

KERAHASIAAN RM DAPAT DI BUKA
         Untuk kepentingan kesehatan pasien.
         Pemintaan penegak hukum.
         Pemintaan, persetujuan pasien.
         Pemintaan instansi / lembaga.
         Kepentingan penelitian, pendidikan, audit medis.

PENYIMPANAN REKAM MEDIS
1.       Rekam medis di simpan sekurang-krangnya dalam jangka waktu 5 tahun
2.       Setelah 5 tahun rekam medis dapat di musnahkan.
3.       Ringkasan pulang dan persetujuan tindakan medis harus di simpan selama 10 tahun.
4.            Penyimpanan rekam medis, ringkasan pulang, dan persetujuan tindakan medis di laksanakan sarana pelayanan kesehatan.
5.       Penyimpanan rekam medis, untuk non rmah sakit wajib di simpan sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 2 tahun, setelah itu dapat di musnahkan.




VII.  KONSEP ETIKA PROFESI

PENGERTIAN ETIKA DAN ETIKA PROFESI
Etika berkaitan dengan konsep yang di miliki oleh individ ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan yang telah di kerjakan itu salah atau benar, buruk atau baik.

ETIKA DAN ESTETIKA
Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak.
         Norma hukum berasal dari hukum.
         Norma agama berasal dari agama.
         Norma sopan santun berasal dari kehidupan sehari-hari.
         Norma moral berasala dari etika.

ETIKA ETIKET
Etiket menyangkut cara melakukan perbuatan manusia. Etika menyangkut masalah apakah sebuah perbuatan boleh dilakukan atau tidak boleh di lakukan.
         Etika terhadap sesama
         Etika terhadap keluarga
         Etika terhadap profesi
         Etika terhadap politik
         Etika terhadap lingkungan hidup
         Kritik ideologi

MORALITAS
Moralitas adalah sopan santn, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket tau sopan santun.

PROFESI, KODE ETIK DAN PROFESIONALISME
Profesi merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan keterampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia. Ciri utama profesi:
1.       Sebuah profesi mensyaratkan pelatihan ekstensif sebelum memasuki sebuah profesi.
2.       Pelatihan tersebut meliputi komponen intelektual, soft skill, dan skill yang signifikan.
3.       Tenaga yang terlatih mampu memberikan jasa yang penting kepada masyarakat.

FUNGSI PROFESI, KODE ETIK DAN PROFESIONALISME
Memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalisme yang di gariskan. Dan kode etik profesi mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi.



KODE ETIK
         Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya
         Siftdan orientasi kode etik hendaknya:
-          Singkat
-          Sederhana
-          Jelas dan konsisten
-          Masuk akal
-          Dapat di terima
-          Praktis dan dapat di laksanakan
-          Komprehensif dan lengkap
-          Positif dalam formulasinya


VIII.    KONSEP DASAR ETIKA KEPERAWATAN

PENDAHULUAN
Etik adalah peraturan atau norma yang dapat di gunakan sebagai acuan bagi perilaku seseorang yang berkaitan dengan tindakan yang baik dan yang buruk yang merupakan suatu kewajiban dan tanggung jawab moral.

TIPE-TIPE ETIK
a.       Bioetik
b.      Clinical etik
c.       Nursing ethis

PRINSIP-PRINSIP MORAL DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN
Mempunyai peran penting dalam menentukan perilaku etis dan dalam pemecahan masalah etis.
a.       Otonomi
Mengemukakan tentang hak seseorang untuk menentukan memilih sesuatu yang terbaik bagi dirinya
b.      Berbuat baik
Tidak menimbulkan bahaya bagi orang lain. Dan mengatasi kondisi yang membahayakan bagi orang lain
c.       Keadilan
Prinsip keadilan di butuhkan untuk terapi yang sama dan adil terhadap orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal, dan kemanusiaan
d.      Tidak merugikan
Prinsip ini berati tidak menimblkan bahaya baik fisik maupun emosional
e.      Kejujuran
Nilai ini di perlukan oleh pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan untuk menyakinkan bahwa klien sangat mengerti
f.        Fidelity
         Memberi perhatian
         Memberi pengharapan
         Memberi kebebasan beribadah
         Memberi klien sejahtera
g.       Kerahasiaan
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus di jaga privasi klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh di baca dalam rangka pengobatan klien. Tidak ada seorang pun dapat memperoleh informasi tersebutkecuali jika di ijinkan oleh kien dengan bukti persetujuan
h.      Akuntabilitas
Merpakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang profesional dapat di nilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.



Rancangan UU Keperawatan yang terdiri dari 13 bab dan 67 pasal i mahakarya yang dihasilkan oleh Anggota DPR RI peride 2009-2014. Berikut adalah isi UU Keperawatan tersebut

BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Keperawatan adalah segala aspek yang berkaitan dengan Perawat.
2. Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan keperawatan baik di dalam dan di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3. Ners adalah gelar yang diperoleh setelah lulus pendidikan profesi Perawat.
4. Pelayanan Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.
5. Praktik Keperawatan adalah wujud nyata dari Pelayanan Keperawatan yang diselenggarakan oleh Perawat dalam bentuk asuhan keperawatan.
6. Asuhan Keperawatan adalah rangkaian tindakan keperawatan berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan yang ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat dalam upaya tercapainya kemandirian untuk merawat dirinya.
7. Uji Kompetensi Perawat adalah suatu proses untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap perawat sesuai dengan standar profesi.
8. Sertifikat Uji Kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kompetensi Perawat yang telah lulus Uji Kompetensi untuk menjalankan Praktik Keperawatan.
9. Registrasi Perawat adalah pencatatan resmi terhadap Perawat yang telah memiliki sertifikat kompetensi keperawatan dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta diakui secara hukum untuk menjalankan praktik dan/atau pekerjaan profesi Perawat.
10. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil Keperawatan Indonesia kepada Perawat yang telah diregistrasi.
11. Surat Ijin Praktik Perawat yang selanjutnya disingkat SIPP adalah bukti tertulis yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten/kota kepada Perawat yang telah memenuhi persyaratan.
12. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan baik promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang pelayanannya dilakukan oleh pemerintah daerah dan/atau masyarakat.
13. Perawat Asing adalah Perawat yang bukan berstatus Warga Negara Indonesia (WNI).
14. Klien adalah perorangan, keluarga, kelompok, dan masyarakat.
15. Organisasi Profesi Perawat adalah wadah yang menghimpun Perawat secara nasional dan berbadan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
16. Kolegium Keperawatan adalah badan yang dibentuk oleh Organisasi Profesi Perawat untuk masing-masing cabang disiplin ilmu keperawatan yang bertugas mengampu cabang disiplin ilmu tersebut.
17. Konsil Keperawatan Indonesia adalah suatu badan otonom, mandiri, nonstruktural, bersifat independen.
18. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
19. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati dan Walikota serta perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan.
20. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

Pasal 2
Keperawatan berasaskan:
a. perikemanusiaan;
b. nilai ilmiah;
c. etika;
d. manfaat;
e. keadilan; dan
f. kesehatan dan keselamatan Klien.
Pasal 3
Keperawatan bertujuan:
a. meningkatkan mutu Perawat dan Pelayanan Keperawatan;
b. memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada Perawat dan Klien; dan
c. meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
BAB II JENIS PERAWAT
Pasal 4
(1) Jenis Perawat terdiri atas:
a. perawat profesional;
b. perawat vokasional; dan
c. asisten perawat.
(2) Perawat profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiriatas:
a. ners;
b. ners spesialis; dan
c. ners konsultan.
(3) Ketentuan mengenai jenis Perawat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB III PENDIDIKAN KEPERAWATAN
Pasal 5
Pendidikan Keperawatan terdiri atas:
a. pendidikan vokasi;
b. pendidikan akademik; dan
c. pendidikan profesi.
Pasal 6
Pendidikan vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah pendidikan diploma keperawatan.
Pasal 7
Pendidikan akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b terdiri atas:
a. pendidikan sarjana keperawatan;
b. pendidikan magister keperawatan; dan
c. pendidikan doktor keperawatan.
Pasal 8
(1) Pendidikan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c terdiri atas:
a. pendidikan profesi keperawatan; dan
b. pendidikan profesi keperawatan berkelanjutan.
(2) Pendidikan profesi keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. pendidikan profesi ners; dan
b. pendidikan profesi ners spesialis.
(3) Pendidikan profesi keperawatan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pendidikan profesi yang ditempuh setelah menyelesaikan pendidikan profesi keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 9
(1) Pendidikan profesi keperawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) diselenggarakan oleh institusi pendidikan keperawatan yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terakreditasi.
(2) Pendidikan profesi keperawatan berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) diselenggarakan oleh institusi pendidikan keperawatan, organisasi profesi keperawatan, atau fasilitas pelayanan kesehatan.
Pasal 10
(1) Institusi pendidikan keperawatan didirikan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(2) Institusi pendidikan keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai tridharma perguruan tinggi.
Pasal 11
Penyelenggaraan pendidikan keperawatan harus memenuhi persyaratan paling sedikit mencakup:
a. standar isi;
b. standar proses;
c. standar kompetensi lulusan;
d. standar pendidik dan tenaga kependidikan;
e. standar sarana dan prasarana;
f. standar pengelolaan;
g. standar pembiayaan;
h. standar penilaian pendidikan;
i. peserta didik; dan
j. kurikulum.
Pasal 12
(1) Penyelenggara pendidikan keperawatan dibantu oleh tenaga kependidikan.
(2) Pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf d terdiri atas:
a. dosen; dan
b. pendidik klinik keperawatan.
(3) Ketentuan mengenai dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pendidik klinik keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memenuhi kriteria paling sedikit:
a. perawat profesional;
b. memiliki pengalaman klinik di bidang keperawatan minimal 2 (dua) tahun; dan
c. memiliki sertifikat pelatihan pembimbing klinik keperawatan.
(5) Ketentuan mengenai pendidik klinik keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan.
Pasal 13
(1) Selain memiliki sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf e, penyelenggaraan pendidikan keperawatan harus dilengkapi dengan laboratorium dan lahan praktik keperawatan.
(2) Lahan praktik keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas fasilitas pelayanan kesehatan pendidikan dan daerah pendidikan.
(3) Fasilitas palayanan kesehatan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan rumah sakit dan puskesmas yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Daerah pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan wilayah administrasi mulai dari tingkat kecamatan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
(1) Kurikulum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf j terdiri atas:
a. kurikulum pendidikan vokasi;
b. kurikulum pendidikan akademik; dan
c. kurikulum pendidikan profesi.
(2) Kurikulum pendidikan akademik dan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c disusun oleh kementerian yang membidangi masalah pendidikan dan kebudayaan dengan melibatkan Menteri, asosiasi institusi pendidikan keperawatan, Kolegium Keperawatan, Organisasi Profesi Perawat, dan Konsil Keperawatan Indonesia.

BAB IV KOMPETENSI, REGISTRASI, DAN LISENSI
Pasal 15
(1) Peserta didik keperawatan yang telah menyelesaikan pendidikan wajib mengikuti Uji Kompetensi Perawat yang bersifat nasional sebelum diangkat sebagai Perawat.
(2) Perawat harus mengikuti Uji Kompetensi secara berkala untuk menjaga mutu Pelayanan Keperawatan.
(3) Pelaksanaan Uji Kompetensi untuk perawat vokasional dan professional diselenggarakan oleh institusi pendidikan keperawatan yang terakreditasi.
Pasal 16
(1) Uji Kompetensi Perawat dilaksanakan berdasarkan standar kompetensi Perawat.
(2) Standar kompetensi Perawat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. aspek pengetahuan;
b. aspek keterampilan;
c. aspek sikap, mental, dan moral;
d. aspek penguasaan bahasa; dan
e. aspek teknologi.
Pasal 17
(1) Perawat yang lulus Uji Kompetensi mendapatkan Sertifikat Uji Kompetensi yang dikeluarkan oleh Konsil Keperawatan Indonesia.
(2) Perawat yang telah memiliki Sertifikat Uji Kompetensi mengajukan permohonan Registrasi kepada Konsil Keperawatan Indonesia.
(3) Permohonan Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki ijazah pendidikan keperawatan;
b. memiliki Sertifikat Uji Kompetensi; dan
c. memiliki surat rekomendasi dari Organisasi Profesi Perawat.
(4) Perawat yang telah diregistrasi memperoleh STR yang diterbitkan oleh Konsil Keperawatan Indonesia.
Pasal 18
(1) STR merupakan bukti tertulis bagi Perawat yang telah teregistrasi.
(2) STR berlaku selama 5 (lima) tahun dan harus diregistrasi ulang setiap 5 (lima) tahun sekali.
(3) Registrasi ulang untuk memperoleh S TR dilakukan denga n persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3).
Pasal 19
(1) Perawat yang telah memperoleh STR dan yang akan melakukan Praktik Keperawatan harus mengajukan permohonan SIPP kepada Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan wilayah kerja Praktik Keperawatan.
(2) Permohonan SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki STR;
b. memperoleh rekomendasi dari Organisasi Profesi Perawat; dan
c. keterangan tempat praktik keperawatan.
(3) SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lisensi bagi Perawat dalam menjalankan Praktik Keperawatan.
Pasal 20
(1) Perawat yang telah memiliki SIPP mengajukan permohonan SIPP secara berkala setiap 5 (lima) tahun.
(2) Permohonan SIPP secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).
Pasal 21
(1) SIPP hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik keperawatan.
(2) SIPP hanya diberikan kepada Perawat paling banyak untuk 2 (dua) tempat praktik.
Pasal 22
SIPP tetap berlaku apabila:
a. STR masih berlaku; dan
b. keterangan tempat praktik keperawatan masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIPP.
Pasal 23
SIPP tidak berlaku apabila:
a. dicabut berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. habis masa berlakunya dan Perawat tidak mendaftar ulang;
c. atas permintaan Perawat;
d. Perawat meninggal dunia; atau
e. dicabut oleh pemerintah kabupaten/kota.
Pasal 24
(1) Perawat Asing yang akan melaksanakan Praktik Keperawatan di Indonesia harus melakukan adaptasi dan evaluasi.
(2) Perawat Asing yang akan melakukan adaptasi dan evaluasi mengajukan permohonan ke Organisasi Profesi Perawat.
(3) Organisasi Profesi Perawat menetapkan tempat pelaksanaan adaptasi dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di institusi penyelenggara pendidikan keperawatan sesuai dengan jenjang pendidikan.
(4) Organisasi Profesi Perawat memberikan rekomendasi pada Perawat Asing untuk mengikuti uji kompetensi berdasarkan hasil proses adaptasi dan evaluasi dari institusi pendidikan yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai adaptasi dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 25
(1) Perawat Asing yang telah menyelesaikan proses adaptasi dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 wajib mengikuti Uji Kompetensi.
(2) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 15 dan Pasal 16.
Pasal 26
(1) Perawat Asing yang telah lulus Uji Kompetensi dan yang melakukan Pelayanan Keperawatan di Indonesia mengajukan permohonan registrasi kepada Konsil Keperawatan Indonesia.
(2) Tata cara mengajukan permohonan registrasi untuk memperoleh STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 18.
Pasal 27
(1) Perawat Asing yang memiliki STR dan melakukan pelayanan keperawatan di Indonesia mengajukan permohonan SIPP kepada pemerintah kabupaten/kota.
(2) Perawat Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan Pelayanan Keperawatan di Indonesia berdasarkan atas permintaan pengguna Perawat Asing.
(3) Perawat Asing hanya dapat melakukan Pelayanan Keperawatan di rumah sakit kelas A dan kelas B yang telah terakreditasi serta fasilitas pelayanan kesehatan tertentu yang telah ditetapkan oleh Menteri.
(4) SIPP bagi Perawat Asing berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) tahun berikutnya.
(5) Tata cara pengajuan SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 19.
Pasal 28
(1) Perawat Asing yang telah lulus Uji Kompetensi dalam rangka pendidikan, pelatihan, dan penelitian di Indonesia mengajukan permohonan registrasi sementara untuk memperoleh STR sementara kepada Konsil Keperawatan Indonesia.
(2) Tata cara memperoleh STR sementara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki ijazah pendidikan keperawatan;
b. memiliki sertifikat uji kompetensi; dan
c. memiliki surat rekomendasi dari organisasi profesi.
(3) STR sementara bagi perawat asing berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) tahun berikutnya.
Pasal 29
(1) Perawat WNI lulusan luar negeri yang akan melaksanakan praktik keperawatan di Indonesia harus melalui evaluasi.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kesahan ijazah;
b. kemampuan untuk melakukan Praktik Keperawatan yang dinyatakan dengan surat keterangan telah mengikuti program adaptasi dan sertifikat kompetensi;
c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental; dan
d. membuat surat pernyataan untuk mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
(3) Perawat WNI lulusan luar negeri yang telah menyelesaikan proses evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mengikuti Uji Kompetensi.
(4) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 15 dan Pasal 16.
(5) Perawat WNI lulusan luar negeri yang telah lulus Uji Kompetensi dan melakukan Pelayanan Keperawatan di Indonesia mengajukan permohonan registrasi kepada Konsil Keperawatan Indonesia.
(6) Perawat WNI lulusan luar negeri yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan STR oleh Konsil Keperawatan Indonesia.
BAB V PRAKTIK KEPERAWATAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 30
(1) Praktik Keperawatan dilaksanakan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan tempat lain.
(2) Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. praktik keperawatan mandiri perorangan;
b. praktik keperawatan mandiri berkelompok; dan
c. praktik keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
(3) Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada standar Pelayanan Keperawatan.
(4) Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b didasarkan pada prinsip kebutuhan pelayanan kesehatan dan/atau keperawatan masyarakat dalam suatu wilayah.
(5) Ketentuan mengenai kebutuhan pelayanan kesehatan dan/atau keperawatan disatu wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Peran dan Wewenang
Pasal 31
(1) Dalam menyelenggarakan Praktik Keperawatan, Perawat berperan:
a. pemberi Asuhan Keperawatan;
b. pendidik Klien.
(2) Peran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan:
a. secara mandiri;
b. bekerja sama dengan pihak terkait;
c. berdasarkan pelimpahan wewenang; dan
d. berdasarkan penugasan khusus.
(3) Pelaksanaan peran Perawat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus dijalankan dengan bertanggung jawab dan akuntabel.
(4) Pelimpahan wewenang sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan secara:
a. delegatif; dan
b. mandat.
(5) Pelimpahan wewenang secara delegatif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a diberikan oleh dokter kepada Perawat sesuai dengan kompetensi dan tanggung jawabnya.
(6) Pelimpahan wewenang secara mandat sebagaimana yang dimaksud padaayat (4) huruf b diberikan oleh dokter sebagai pemberi kewenangankepada Perawat dan tanggung jawab tetap berada pada pemberi kewenangan.
(7) Pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dalam bentuk tertulis dan sesuai dengan kesepakatan antar profesi dan/atau pihak terkait.
(8) Pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dievaluasi secara berkala.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelimpahan wewenang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 32
Perawat dalam menjalankan perannya terhadap Klien berwenang:
a. melakukan pengkajian keperawatan secara holistik;
b. menetapkan diagnosis keperawatan;
c. merencanakan tindakan keperawatan;
d. melaksanakan tindakan keperawatan;
e. mengevaluasi hasil tindakan keperawatan;
f. melakukan rujukan;
g. memberikan konsultasi keperawatan dan berkoordinasi dengan dokter;
h. melaksanakan penugasan khusus;
i. melakukan penyuluhan kesehatan; dan
j. menerima dan melaksanakan pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (4).
Pasal 33
(1) Perawat dapat melaksanakan penugasa n khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf d untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan perorangan dan masyarakat di daerah terpencil, sangat terpencil, tertinggal, perbatasan, pulau-pulau kecil terluar, daerah yang tidak diminati, daerah rawan bencana atau mengalami bencana, dan konflik sosial.
(2) Perawat dalam melaksanakan penugasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan kompetensi dan kewenangan serta dilaksanakan sesuai dengan hierarki klinis di tempat kerjanya.
Pasal 34
(1) Pemerintah dalam menetapkan penugasan khusus kepada Perawat harus memperhatikan usulan Pemerintah Daerah.
(2) Pemanfaatan Perawat yang melaksanakan penugasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) merupakan tanggung jawab bupati/walikota dan/atau gubernur.
(3) Perawat yang melaksanakan penugasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disertai dengan penyediaan sarana pelayanan kesehatan, alat kesehatan, obat-obatan, dan fasilitas lainnya sesuai standar yang berlaku, serta memperhatikan hierarki, dan komposisi tenaga kesehatan penyertanya atau yang tersedia.
Pasal 35
Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan khusus Perawat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 36
(1) Dalam keadaaan darurat untuk memberikan pertolongan pertama,Perawat dapat melakukan tindakan medis dan pemberian obat.
(2) Pertolongan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menyelamatkan nyawa Klien dan mencegah kecacatan lebih lanjut.
(3) Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keadaan yang mengancam nyawa Klien dan keselamatannya hanya tergantung pada inisitatif Perawat.
(4) Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Perawat sesuai dengan bidang keilmuan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Hak dan Kewajiban Perawat
Pasal 37
Perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawatan berhak:
a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai standar profesi, standar pelayanan keperawatan, standar operasional prosedur, kode etik, dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari Klien dan/atau keluarganya;
c. menerima imbalan jasa atas Pelayanan Keperawatan yang telah diberikan secara mandiri, berdasarkan pelimpahan wewenang, dan dengan bekerjasama; dan
d. menolak keinginan Klien atau pihak lain yang memberikan anjuran atau permintaan baik lisan maupun tertulis untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan standar profesi, standar pelayanan keperawatan, standar operasional prosedur, kode etik, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 38
Perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawatan berkewajiban:
a. melengkapi sarana dan prasarana Pelayanan Keperawatan sesuai dengan standar pelayanan keperawatan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. memberikan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan keperawatan, standar operasional prosedur, kode etik, dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. menghormati hak Klien;
d. merujuk kasus yang tidak dapat ditangani, yang meliputi:
1. dalam aspek pelayanan/asuhan keperawatan merujuk ke anggota perawat lain yang lebih tinggi kemampuan atau pendidikannya; atau
2. dalam aspek masalah kesehatan lainnya merujuk ke tenaga kesehatan lain.
e. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang Klien;
f. mendokumentasikan Asuhan Keperawatan berdasarkan standar pelayanan keperawatan;
g. memberikan informasi yang lengkap, jujur, jelas dan mudah dimengerti mengenai tindakan keperawatan kepada Klien dan/atau keluarganya sesuai dengan batas kewenangannya;
h. melaksanakan tindakan pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain yang sesuai dengan kompetensi Perawat; dan
i. melaksanakan penugasan khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Klien
Pasal 39
Klien dalam Praktik Keperawatan berhak:
a. mendapatkan informasi secara lengkap, jujur dan jelas tentang tindakan keperawatan yang akan dilakukan;
b. meminta pendapat Perawat lain dan/atau tenaga kesehatan lainnya;
c. mendapatkan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan standar pelayanan keperawatan;
d. memberi persetujuan atau penolakan tindakan keperawatan yang akan diterimanya; dan
e. terjaga kerahasiaan kondisi kesehatannya.
Pasal 40
Pengungkapan rahasia Klien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf e dilakukan atas dasar:
a. persetujuan tertulis dari Klien; dan/atau
b. perintah hakim pada sidang pengadilan.
Pasal 41
Dalam Praktik Keperawatan, Klien berkewajiban:
a. memberikan informasi yang lengkap, jujur, dan jelas tentang masalah
kesehatannya;
b. mematuhi nasihat dan petunjuk Perawat;
c. mematuhi ketentuan yang berlaku di Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan
d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

BAB VII ORGANISASI PROFESI PERAWAT

Pasal 42
Untuk mempersatukan dan memberdayakan Perawat dalam rangka menunjang pembangunan kesehatan dibentuk Organisasi Profesi Perawat sebagai satu wadah yang menghimpun Perawat secara nasional dan berbadan hukum.
Pasal 43 Organisasi Profesi Perawat berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di daerah.
Pasal 44
(1) Organisasi Profesi Perawat berfungsi sebagai pemersatu, pembina, pengembang, dan pengawas keperawatan di Indonesia.
(2) Organisasi Profesi Perawat bertanggung jawab kepada anggota profesi
.
Pasal 45
Organisasi Profesi Perawat berwenang:
a. memberikan rekomendasi persyaratan akreditasi institusi pendidikan keperawatan;
b. memberikan rekomendasi kepada perawat untuk memperoleh SIPP pada proses pengajuan izin praktik keperawatan mandiri kepada Pemerintah Daerah;
c. menyusun dan menetapkan kode etik;
d. memberikan rekomendasi program adaptasi dan evaluasi Perawat Asing kepada Konsil Keperawatan Indonesia; dan
e. mengusulkan anggota Organisasi Profesi Perawat untuk dimasukkan dalam Konsil Keperawatan Indonesia.
Pasal 46
Organisasi Profesi Perawat bertugas:
a. meningkatkan kua litas, kapabilitas dan kapasitas Perawat dalam menjalankan asuhan keperawatan sesuai standar Pelayanan Keperawatan;
b. melakukan sosialisasi pengembangan profesi Keperawatan;
c. berpartisipasi aktif dalam pembangunan kesehatan;
d. memfasilitasi perlindungan hukum kepada anggota; dan
e. membentuk Kolegium Keperawatan.
Pasal 47
Biaya untuk pelaksanaan tugas Organisasi Profesi Perawat dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja Organisasi Profesi Perawat.
Pasal 48
Ketentuan mengenai susunan Organisasi Profesi Perawat ditetapkan dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.

BAB VIII KOLEGIUM KEPERAWATAN

Pasal 49
(1) Kolegium Keperawatan merupakan badan otonom di dalam Organisasi Profesi Perawat dan dibentuk oleh Organisasi Profesi Perawat.
(2) Kolegium Keperawa tan bertanggung jawab kepada Organisasi Profesi Perawat.
Pasal 50
Kolegium Keperawatan berfungsi mengembangkan cabang disiplin ilmu Keperawatan.
Pasal 51
Kolegium Keperawatan berwenang:
a. melakukan penilaian kompetensi Perawat Asing sebagai dasar dilakukan program adaptasi; dan
b. melakukan kajian pengembangan pendidikan dan profesi Perawat.
Pasal 52
Kolegium Keperawatan bertugas menyusun standar kompetensi kerja
Perawat.
Pasal 53
Biaya untuk pelaksanaan tugas Kolegium Keperawatan dibebankan kepada:
a. anggaran pendapatan dan belanja Organisasi Profesi Perawat;
b. registrasi Perawat;
c. bantuan Pemerintah;
d. hibah; dan/atau
e. sumbangan yang sah dan tidak mengikat.
Pasal 54
Ketentuan mengenai susunan organisasi Kolegium Keperawatan dan keanggotaan diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi Profesi Perawat.

BAB IX KONSIL KEPERAWATAN INDONESIA

Pasal 55
Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada Perawat dan masyarakat, meningkatkan mutu Perawat, serta Pelayanan Keperawatan, dibentuk Konsil Keperawatan Indonesia.
Pasal 56
Konsil Keperawatan Indonesia berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia.
Pasal 57
Konsil Keperawatan Indonesia berfungsi menetapkan Praktik Keperawatan dan melakukan Registrasi Perawat.
Pasal 58
(1) Konsil Keperawatan Indonesia berwenang:
a. mengawasi pelaksanaan kode etik dan Pelayanan Keperawatan;
b. menerbitkan Sertifikat Uji Kompetensi;
c. menyetujui dan menolak permohonan registrasi termasuk dari Perawat Asing;
d. menerbitkan dan mencabut STR;
e. menegakkan disiplin keperawatan termasuk menyelidiki dan menangani masalah yang berkaitan dengan pelanggaran disiplin Perawat; dan
f. menetapkan dan memberikan sanksi disiplin.
(2) Penerbitan Sertifikat Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dikeluarkan setelah perawat dinyatakan lulus uji kompetensi oleh institusi perguruan tinggi yang terakreditasi.
Pasal 59
Biaya untuk pelaksanaan tugas Konsil Keperawatan Indonesia dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja Organisasi Profesi Perawat.
Pasal 60
a. Jumlah anggota Konsil Keperawatan Indonesia paling banyak 15 (lima belas) orang.
b. Ketentuan lebih lanjut mengenai Konsil Keperawatan Indonesia diatur dengan Peraturan Presiden.

BAB X PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN

Pasal 61
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Konsil Keperawatan Indonesia, Organisasi Profesi Perawat membina dan mengembangkan Praktik Keperawatan sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing.
Pasal 62
(1) Pembinaan dan pengembangan Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 diarahkan untuk:
a. meningkatkan mutu Pelayanan Keperawatan yang diberikan Perawat; dan
b. melindungi masyarakat atas tindakan Perawat yang tidak sesuai standar operasional prosedur.
(2) Pembinaan dan pengembangan Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan mengikuti pendidikan formal dan pendidikan nonformal.
(3) Pembinaan dan pengembangan Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kompetensi dan kepribadian professional.
Pasal 63
(1) Pembinaan dan pengembangan Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 meliputi:
a. penugasan;
b. kenaikan pangkat /peringkat; dan/atau
c. promosi.
(2) Pengembangan karir Praktik Keperawatan dapat digunakan untuk penempatan perawat pada jenjang yang sesuai dengan keahliannya.
BAB XI LARANGAN
Pasal 64
Setiap orang dilarang dengan sengaja menggunakan identitas seolah-olah yang bersangkutan adalah perawat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
Pasal 65
Perawat dilarang menyelenggarakan Praktik Keperawatan tanpa memiliki STR dan/atau SIPP sebagai dasar lisensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3).
Pasal 66
Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang dengan sengaja mempekerjakan Perawat yang tidak memiliki STR dan SIPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1).
Pasal 67
Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dilarang memberikan resep dan obat selain obat bebas terbatas.

BAB XII KETENTUAN PIDANA
Pasal 68
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas seolah-olah yang bersangkutan adalah perawat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 69
Perawat yang menyelenggarakan Praktik Keperawatan tanpa memiliki STR dan/atau SIPP sebagai dasar lisensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 70
(1) Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang dengan sengaja mempekerjakan Perawat yang tidak memiliki STR dan SIPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara atau pidana denda kepada pengurusnya, pidana dapat dijatuhkan kepada korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), korporasi dapat dikenai sanksi administrasi berupa:
a. pencabutan ijin pendirian; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
Pasal 71
Perawat yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 72
STR dan SIPP yang telah dimiliki oleh Perawat sebelum Undang-Undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu STR dan SIPP berakhir.
Pasal 73
Selama Konsil Keperawatan Indonesia belum terbentuk, permohonan untuk memperoleh STR yang masih dalam proses, diselesaikan dengan prosedur yang berlaku sebelum Undang-Undang ini diundangkan.
BAB XIV KETENTUAN PENUTUP
Pasal 74
Institusi pendidikan keperawatan yang telah ada sebelum Undang-Undang ini diundangkan harus menyesuaikan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, paling lama 5 (lima) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 75
Konsil Keperawatan Indonesia dibentuk paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan.
Pasal 76
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Keperawatan, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 77
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 78
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.