Saturday, 10 May 2014
Makalah Optimalisasi Perlindungan Konsumen Terhadap Bakso Yang Mengandung Daging Babi
BAB 1
Pendahuluan
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan iptek dalam industri pengolahan pangan telah memberikan manfaat yang cukup besar dalam kehidupan manusia. Dengan menggunakan bahan tambahan pada pangan, proses pengolahan bahan baku menjadi lebih mudah dan lebih cepat sehingga dapat menghemat penggunaan sumber daya produksi. Hasilnya adalah pangan yang beraneka ragam baik dalam bentuk, rasa, jenis, maupun kandungan gizi. Pangan yang dihasilkan siap ditawarkan kepada masyarakat agar kebutuhan dasar terpenuhi. Kemajuan iptek juga mengakibatkan persaingan usaha menjadi semakin ketat. Secara tidak langsung konsumen menjadi tujuan utama dari keberadaan perusahaan pengolah pangan. Perusahaan pengolah pangan atau produsen baik dalam industri kecil maupun besar terus berupaya melakukan inovasi dan meningkatkan kreativitas dalam menciptakan suatu diferensiasi produk. Upaya ini bertujuan untuk menarik dan menjaga kesetiaan konsumen. Namun, produsen terkadang mengabaikan dampak yang ditimbulkan dari pengkonsumsian produk pangan tersebut. Dampak tersebut mempengaruhi kondisi kesehatan dan ketenteraman batin konsumen, terutama konsumen produk pangan halal. Penggunaan hewan babi pada pangan bukan hanya sebagai bahan tambahan pangan, tetapi juga dipakai sebagai bahan utama. Bagian tubuh dari babi yang sering digunakan sebagai bahan utama adalah daging. Harga daging babi yang lebih murah dibandingkan dengan daging hewan lainnya menyebabkan produsen menggunakan daging babi sebagai bahan utama. Namun terkadang penggunaan daging babi ini tidak diinformasikan kepada konsumen. Akibatnya konsumen tidak mengetahui daging yang digunakan pada makanan yang mereka konsumsi.
B. RUMUSAN MASALAH
Masalah ini sering terjadi di tengah masyarakat. Misalnya daging babi sering digunakan bersama dengan daging sapi dalam menghasilkan produk pangan seperti bakso. Di Yogyakarta, pada saat dilakukannya razia menjelang lebaran 2010, ditemukan bakso bercampur daging babi. Alasan penggunaan daging babi selain murah, rasanya juga lebih enak karena lebih terasa berlemak. Pemerintah daerah tersebut tidak melarang penjualan bakso daging babi, asalkan ada tulisan yang jelas sehingga konsumen benar-benar mengetahuinya. Selain itu, di Jawa Timur, pada saat razia menjelang lebaran 2010, ditemukan beberapa kasus produk yang tidak halal. Diantaranya ditemukan penjual yang menjual daging sapi yang dicampur dengan daging babi, penjual yang menjual daging busuk dan penjual yang menjual daging ayam sekaligus menjual daging babi. Padahal pemerintah kota tidak melarang penjualan daging babi asalkan dengan tempat yang terpisah. Selain itu, ada juga produsen yang menggunakan kode-kode tertentu sebagai pengganti tulisan kandungan unsur babi. Dengan alasan, jika memakai istilah-istilah bagian tubuh babi yang lazim dikenal, masyarakat tidak mau membeli produk tersebut. Penggunaan kode E yang tertera pada kemasan sering menjadi masalah. Beberapa contoh kode E yang perlu diperhatikan karena ada Kemungkinan berasal dari hewan adalah E422 (gliserol/gliserin), E430-E463 (asam lemak dan turunannya) dan E470-E495 (garam atau ester asam lemak) (Halal MUI, 2010).1 Penggunaan hewan babi dalam makanan menjadikan makanan tersebut tidak halal dalam syariat Islam. Pengkonsumsian makanan yang tidak halal menimbulkan ketidaktenteraman dalam batin umat muslim yang mengkonsumsinya manakala umat muslim mengetahui ketidakhalalan produk tersebut. Selain menimbulkan ketidaktenteraman dalam batin, pengkonsumsian babi juga memberikan dampak buruk bagi kesehatan tubuh. Berbagai parasit menetap dalam tubuh babi seperti virus influenza, cacing Taenia solium, cacing Trichinella spiralis dan lainnya yang menyebabkan penyakit.
Masalah-masalah di atas merupakan sebagian kecil dari masalah kehalalan produk yang terjadi di tengah masyarakat. Hal ini menjadi sangat ironi ketika sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam. Pemerintah dianggap masih lamban dalam menghadapi masalah ini. Padahal masalah ini juga menyangkut ketahanan industri dalam negeri. Sementara negara-negara pengekspor makanan yang bukan berasal dari negara yang mayoritas penduduknya muslim seperti Taiwan dan Cina sedang mempelajari sistem produk halal demi bersaing dalam persaingan yang semakin ketat ini. Mengkonsumsi produk halal tidak hanya menjadi kewajiban 1,8 miliyar umat Islam saja, tetapi telah menjadi tren delapan miliyar penduduk dunia. Terbukti pangsa pasarnya dari tahun ke tahun selalu mengalami kenaikan secara signifikan (Wawasan Digital, 2010).2
Selain pemerintah, produsen juga memiliki keterlibatan yang besar dalam masalah ketidakhalalan produk pangan. Ada kemungkinan perodusen menyembunyikan kandungan dari bahan-bahan yang dipakai sehingga konsumen tidak mengetahui pangan yang mereka konsumsi mengandung bahan yang halal atau tidak. Bukan hanya menyembunyikan melainkan juga menggunakan kode-kode tertentu untuk bahan yang mengandung unsur tidak halal. Terlebih kesadaran masyarakat terhadap pengkonsumsian pangan yang halal masih rendah. Hal tersebut dibuktikan dengan sebagian besar masyarakat tidak mengecek ada tidaknya logo halal dan membaca bahan-bahan yang digunakan sebelum membeli produk pangan. Dari hasil jajak pendapat mengenai kepedulian konsumen terhadap halal dan haram yang dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) pada tahun 2009, didapatkan data bahwa responden yang memiliki pengetahuan mengenai halal dan haram pada makanan yang dikonsumsi adalah sebesar 77%, yang tidak mengetahui sebesar 4% dan yang menjawab ragu-ragu sebesar 19%. Hal ini menunjukkan suatu kepedulian yang cukup tinggi terhadap kehalalan makanan. Namun, dari 77% tersebut, hanya sebanyak 47% responden yang melihat label halal pada produk yang dibeli. Sisanya sebanyak 48% yang menjawab kadang-kadang atau jarang melihat label halal dan 5% yang menjawab tidak (halalguide, 2010).3 Berdasarkan masalah tersebut, tulisan ini mengangkat dampak buruk dari pengkonsumsian makanan tidak halal dalam syariah Islam terhadap kesehatan tubuh manusia dan upaya yang dilakukan oleh pemerintah, produsen, dan konsumen dalam menerapkan produk pangan halal. Tujuan dari penulisaan ini adalah untuk mengetahui dampak buruk makanan tidak halal terhadap kesehatan dan upaya yang dilakukan oleh pemerintah, produsen, dan konsumen dalam menerapkan produk pangan halal.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. KERANGKA TEORI.
1. Idealisme Makanan Halal.
1.1 Makanan yang Tidak Halal dalam Agama Islam ;
Dalam pengkonsumsian makanan, sumber hukum Islam (Al-Qur’an) telah menyebutkan dua hukum yaitu halal dan haram. Halal adalah sesuatu yang dengannya terurailah buhul (ikatan) yang membahayakan dan Allah memperbolehkan untuk dikerjakan. Haram adalah sesuatu yang Allah melarang untuk dilakukan dengan larangan yang tegas, setiap orang yang menentangnya akan berhadapan dengan siksaan Allah di akhirat. Bahkan terkadang ia juga terancam sanksi syariah di dunia ini.
Seiring kemajuan iptek, banyak jenis olahan pangan yang tidak disebutkan dalam sumber hukum Islam. Disinilah peran para ulama melalui ijtihad dalam menetapkan hukum mengkonsumsi makanan. Penetapan tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip Islam tentang Hukum Halal dan Haram. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1. Pada dasarnya, segala sesuatu boleh hukumnya;
2. Penghalalan dan pengharaman hanyalah wewenang Allah SWT;
3. Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram itu termasuk perilaku syirik kepada Allah SWT;
4. Sesuatu diharamkan karena ia buruk dan berbahaya;
5. Pada sesuatu yang yang halal terdapat sesuatu yang dengannya tidak lagi membutuhkan yang haram;
6. Sesuatu yang mengantarkan kepada yang haram maka haram pula hukumnya;
7. Menyiasati yang haram, haram hukumnya;
8. Niat baik tidak menghapuskan hukum haram;
9. Hati-hati terhadap yang syubhat agar tidak jatuh ke dalam yang haram;
10. Yang haram adalah haram untuk semua; dan
11. Darurat mengakibatkan yang terlarang menjadi boleh.
Semenjak dahulu, masyarakat di dunia ini memiliki cara pandang yang beragam menyangkut apa yang mereka makan dan minum dan menyangkut apa yang dilarang dan apa yang dibolehkan, terutama menyangkut daging binatang. Sedangkan makanan dan minuman yang berasal dari tumbuhan, perbedaan yang terjadi di antara mereka tidaklah banyak. Islam tidaklah mengharamkannya selain makanan dan minuman yang telah berubah menjadi khamr, baik berasal dari anggur, kurma, gandum, atau bahan-bahan lain. Selain itu, Islam mengharamkan sesuatu yang menyebabkan mabuk, tidak berdaya, dan semua yang merusak tubuh (Qardhawi, 2007:31-69).
Dalam ayat Al-Quran, Allah SWT memerintahkan untuk memakan makanan baik yang berasal dari tumbuhan maupun dari hewan yang halal, sebagaimana dalam arti ayat dalam surah Al-Baqarah ayat 168:
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah: 168)
Selain menghalalkan, Islam juga mengharamkan pengkonsumsian makanan yang dinyatakan haram dalam ayat Al-Qur’an. Namun, hukum haram akan menjadi boleh manakala dalam keadaan darurat dengan syarat tidak berlebihan. Sebagaimana arti firman Allah SWT:
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 173)
Secara lebih terperinci, dalam surah Al-Baqarah ayat 173 disebutkan jenis-jenis makanan yang diharamkan untuk dikonsumsi. Berikut ini merupakan arti dari surah Al-Baqarah ayat 173:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ma’idah: 3)
Di dalam ayat-ayat tersebut, disebutkan bahwa diharamkan untuk memakan bangkai, darah, daging babi dan hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas kecuali yang sempat untuk disembelih.
1.2 Makanan yang Tidak Halal dalam Perspektif Kesehatan
Dalam perspektif kesehatan, jenis-jenis makanan yang tidak halal dalam agama Islam juga memiliki dampak buruk bagi kesehatan seseorang yang mengkonsumsinya. Walaupun belum banyak penelitian yang menjelaskan hal tersebut, namun tidak menjadi alasan untuk mengabaikan perintah menjauhkan diri dari makanan yang tidak halal. Akan tetapi, pada kenyataannya masih terdapat pengkonsumsian makanan yang tidak halal baik secara sengaja maupun tidak sengaja, antara lain ;
1. Bangkai ;
Tentang makanan yang tidak halal, Al-Qur’an menyebutkan yang pertama kali adalah bangkai. Bangkai merupakan binatang yang mati secara wajar dengan sendirinya tanpa adanya faktor kesengajaan yang berasal dari luar. Kematiannya tidak disebabkan oleh perbuatan manusia, seperti sengaja disembelih atau diburu. Binatang yang mati dengan sendirinya, kemungkinan besar disebabkan karena umurnya sudah tua, sudah sangat lemah, kecelakaan, memakan tumbuhan yang beracun, kepunahan alami atau musibah lainnya. Semua itu tidak dapat dijamin kehalalannya. Bangkai yang diharamkan untuk dimakan adalah bangkai binatang darat.
Dalam surah Al-Maidah ayat 3, disebutkan macam-macam bangkai, antara lain:
a. Munkhaniqah, merupakan binatang yang mati karena tercekik. Bisa karena disengaja dijerat dengan tali atau karena kepalanya masuk ke lubang;
b. Mauquudah, adalah binatang yang dipukul dengan tongkat atau semisalnya hingga mati;
c. Mutaraddiyah, adalah binatang yang mati karena terjatuh dari tempat yang tinggi, atau jatuh ke dasar sumur;
d. Nathihah, merupakan binatang yang ditanduk oleh binatang lain lalu mati; dan
e. Binatang yang sebagian anggota tubuhnya dimakan oleh binatang buas lalu mati.
Namun, ketika binatang tersebut sudah terkapar namun masih hidup, lalu disembelih dengan cara islami maka binatang tersebut halal untuk dikonsumsi. Sebagaimana firman Allah SWT, “Kecuali yang kalian sempat menyembelihnya” (Qardhawi, 2007: 74-78).
Bangkai binatang kerap menjadi masalah ketika bangkai tersebut diperjualbelikan dalam masyarakat. Dengan alasan efektif dan ekonomis, bangkai diperjualbelikan di pasar. Sebelum dijual, bangkai binatang dimasak terlebih dahulu dan dijual dalam keadaan sudah dibumbui dan siap untuk langsung dimasak. Bangkai yang biasa dijual adalah bangkai ayam. Namun konsumen biasanya tidak mengetahui daging yang dijual tersebut adalah bangkai. Jika pedagang memberitahu bahwa daging tersebut adalah bangkai, konsumen tidak akan membeli daging tersebut. Disinilah kekuasaan pedagang untuk menyembunyikan informasi tersebut demi keuntungan pedagang tanpa memperhatikan kerugian yang akan diderita oleh konsumen.
Padahal pengkonsumsian bangkai memiliki dampak buruk bagi kesehatan. Bangkai adalah hewan yang tidak melalui proses penyembelihan, maka darah yang ada dalam tubuh hewan tersebut sebagian besar tidak mengalir keluar, melainkan menyatu di dalam urat, limpa dan juga hati. Darah ini akan mengkontaminasi daging sehingga daging tercampur dengan darah. Berbeda dengan hewan halal yang dipotong urat nadi yang terdapat di lehernya, sehingga seluruh darahnya ke luar. Dengan cara itu, kematian hewan tadi karena kehabisan darah, bukan karena organ vitalnya cedera. Sebab, jika organ-organnya, misalnya, jantung, hati, atau otaknya dirusak, hewan tersebut mati tapi darahnya menggumpal dalam urat-uratnya, sehingga dagingnya tercemar oleh asam urat (Mata Dunia, 2010).
2. Darah ;
yang diharamkan adalah darah yang mengalir, yakni yang keluar dari tubuh hewan. Sedangkan darah yang tersisa pada urat dan tubuh atau yang tersisa dalam hati ataupun limpa setelah hewan itu disembelih, maka hukum darah itu menjadi mubah dan boleh memakannya bersama daging yang dilekatinya. Dengan alasan, darah yang telah melekat di daging sulit untuk dipisahkan. Darah merupakan cairan tubuh yang mengangkut oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan oleh sel-sel tubuh dan juga mengangkut karbondioksida, zat-zat sisa metabolisme tubuh, obat-obatan dan bahan kimia lain untuk diuraikan di dalam organ hati dan disaring di dalam organ ginjal untuk selanjutnya dibuang sebagai air seni. Darah mengandung eritrosit (sel darah merah), trombosit (keping-keping darah) dan leukosit (sel darah putih) (Wikipedia, 2010).5 Mengkonsumsi darah sudah menjadi tradisi bukan hanya di sebagian masyarakat di Indonesia tetapi juga di negara lain seperti Vietnam, Irlandia, Amerika Utara, dan lainnya. Darah diolah sebagai campuran susu, campuran nasi, sup, sampai dengan makanan penutup seperti puding. Tradisi masyarakat yang mengkonsumsi darah atau marus atau dideh, jelas diharamkan dalam agama Islam. Dari perspektif kesehatan, darah juga mengandung uric acid (asam urat) berkadar tinggi. Asam urat adalah senyawa kimia beracun yang berbahaya bagi kesehatan. Asam urat merupakan sampah dalam darah yang terbentuk akibat metabolisme tubuh yang tidak sempurna, sehingga terjadi penumpukan purin yang berasal dari makanan. Asam urat mengakibatkan penyempitan pembuluh darah, penyakit jantung, dan lainnya (Mata Dunia, 2010).
3. Daging Babi ;
Hewan babi tergolong dalam hewan yang hukumnya haram jika dikonsumsi. Selain dari cara penyembelihan babi yang tidak sesuai dengan ketentuan agama Islam karena tidak memiliki leher, babi juga memiliki kandungan yang membahayakan kesehatan.
Karena kekotorannya, babi merupakan inang perantara dari beberapa penyakit parasit yang kemudian dapat ditularkan kepada manusia. Dalam daging babi, kadang-kadang ditemukan kista cacing Taenia solium dan kista cacing Trichinella spiralis. Keduanya dapat menimbulkan penyakit parasit pada tubuh manusia.
Taenia solium adalah sejenis cacing pita yang hidup dalam usus babi. Kepalanya sebesar jarum pentul dan mempunyai empat alat penghisap yang mengait pada dinding usus. Tubuhnya pipih seperti pita, beruas-ruas dan panjangnya dapat mencapai dua sampai delapan meter. Telurnya berjumlah ribuan dan tiap telur mengandung larva. Larva akan menembus dinding usus babi, masuk pembuluh darah hingga mencapai otot atau diging, yang kemudian membentuk kista yang berupa gelembung. Bila seseorang memakan daging babi yang mengandung kista dan tidak dimasak dengan sempurna, maka orang itu akan menderita penyakit cacing pita. Kepala Taenia solium menempel pada dinding usus dan menghisap zat-zat gizi sehingga penderita mengalami kekurangan gizi dan tidak bertenaga. Trichinella spiralis juga sejenis cacing yang hidup dalam usus babi berukuran kecil hanya beberapa sentimeter. Daur hidupnya hampir sama dengan cacing pita, yakni larvanya menembus dinding usus babi, mengikuti aliran darah dan tinggal di jaringan otot atau daging dan membentuk kista dan tetap infektif hingga beberapa tahun.
2. Norma-norma Perlindungan Konsumen
Sebegaimana dalam undang-undang perlindungan konsumen no.8 tahun1999 tentang perlindungan konsumen sebagai berikut ;
PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Pasal 8
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau neto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,
atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
3. Fakta Dilapangan.
Manusia dapat terinfeksi karena memakan daging babi yang mengandung kista dan tidak dimasak dengan sempurna. Penyakit yang ditimbulkan oleh cacing ini disebut trichinosis. Cacing dewasa hidup dalam usus penderita sedangkan larvanya tinggal di otot sebagai kista. Penderita mempunyai gejala kekurangan gizi dan nyeri otot.
Selain mengandung cacing, daging babi juga mengandung lemak dalam jumlah sangat tinggi bila dibandingkan dengan hewan ternak lainnya. Perbandingan tersebut antara lain sebagai berikut:
Tabel 1.
Perbandingan Lemak dan Protein dari Beberapa Binatang Ternak
Jenis Daging
(100 gram daging)
Kalori
Protein (gram)
Lemak (gram)
Daging Kerbau
Daging Kambing
Daging Sapi
Daging Babi
84
154
207
457
18,7
16,6
18,8
11,9
0,5
9,2
14
45
Sumber: Makanan dalam Perspektif Al-Quran dan Ilmu Gizi,
Tien Chudrin Tirtawinata. 2006.
Karena kandungan lemak daging babi sangat tinggi, maka apabila dikonsumsi oleh manusia, dicerna dan diserap akan menghasilkan kadar kolesterol dan trigliserida darah yang tinggi pula. Kadar kolesterol dan trigliserida darah yang tinggi dapat menimbulkan penyakit yang disebut hiperlipidemia atau hiperkolesterolemia yang bisa berakhir dengan stroke atau jantung koroner (Tirtawinata, 2006:153-156). Selain itu, babi juga merupakan parasit virus influenza banyak mendiami paru-paru babi yang biasanya disertakan dalam pembuatan sosis. Setelah dikonsumsi, virus-virus ini menetap di organ-organ vital dalam tubuh manusia dan menunggu sampai tiba situasi yang tepat yaitu suhu dingin dan sedikitnya pencahayaan matahari untuk kemudian mendatangkan wabah infeksi (Ad-Daqar, 2009:32). Com
Namun, pada kenyataannya, kasus penjualan daging babi masih menjadi masalah di kalangan masyarakat muslim, terutama pada saat menjelang hari raya umat Islam. Pemerintah tidak melarang penjualan daging babi dengan syarat diinformasikan kepada konsumen bahwa barang dagangan tersebut atau produk tersebut mengandung babi. Tetapi, penjual terkadang mengelabui pembeli dengan tidak memberitahu adanya campuran babi pada daging, bakso ataupun produk lainnya yang dijual dengan alasan harga daging babi yang murah. Seperti yang terjadi di Yogyakarta, pada saat dilakukannya razia menjelang lebaran 2010, ditemukan bakso bercampur daging babi. Alasan penggunaan daging babi selain murah, rasanya juga lebih enak karena lebih terasa berlemak. Pemerintah daerah tersebut tidak melarang penjualan bakso daging babi, asalkan ada tulisan yang jelas sehingga konsumen benar-benar mengetahuinya. Selain itu, di Jawa Timur, pada saat razia menjelang lebaran 2010, ditemukan beberapa kasus produk yang tidak halal. Diantaranya ditemukan penjual yang menjual daging sapi yang dicampur dengan daging babi, penjual yang menjual daging busuk dan penjual yang menjual daging ayam sekaligus menjual daging babi. Padahal pemerintah kota tidak melarang penjualan daging babi asalkan dengan tempat yang terpisah.
Dalam agama Islam, selain penggunaan daging babi, pengkonsumsian bagian tubuh dari hewan babi lainnya seperti gelatin, lemak, minyak dan lainnya juga tidak halal hukumnya. Karena babi sendiri di dalam ayat Al-Quran tergolong hewan yang najis dan kotor sehingga tidak selayaknya untuk dikonsumsi.
Penggunaan bahan-bahan yang tidak halal dalam makanan, menjadi masalah ketika produsen tidak memberi keterangan secara jelas baik dalam bentuk pernyataan lisan, tulisan atau logo yang menunjukkan bahwa pangan tersebut mengandung unsur tidak halal. Masalah ini bukan hanya sesekali terjadi namun sering kali terjadi apalagi pada saat menjelang hari raya umat Islam. Jika dibiarkan saja akan menimbulkan keresahan yang berkepanjangan di dalam masyarakat. Pihak yang terlibat dan bertanggung jawab dalam masalah ini bukan hanya produsen melainkan pemerintah, dan konsumen sendiri.
B. ANALISIS
Upaya yang Dilakukan Berbagai Pihak dalam Menerapkan Pengkonsumsian Makanan Halal ;
- PEMERINTAH
Dalam beberapa peraturan yang ada, pemerintah telah mengatur ketentuan produk pangan halal. Seperti dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) pasal 8 huruf h disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label. Pasal ini mengatur agar pelaku usaha memberikan informasi yang benar kepada konsumen. Jika memang menggunakan bahan yang mengandung unsur yang tidak halal dalam syariah Islam, maka produk tidak boleh diberi label halal. Hal ini merupakan salah satu tujuan UUPK yaitu untuk menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
Selain itu, dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan pasal 30 disebutkan bahwa setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. Label memuat sekurang-kurangnya mengenai:
a. Nama produk;
b. Daftar bahan yang digunakan;
c. Berat bersih atau isi bersih;
d. Nama dan alamat pidak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia;
e. Keterangan tentang halal; dan
f. Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa.
Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa keterangan halal untuk suatu produk pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam. Namun, pencantumannya pada label pangan baru merupakan kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi pangan dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat Islam. Dapat disimpulkan bahwa kewajiban pencantuman label halal menjadi wajib setelah pelaku usaha menyatakan produknya halal. Karena yang memegang kekuasaan menyatakan halal adalah perusahaan sendiri, maka kemungkinan untuk terjadi penipuan sangat besar. Dikhawatirkan pernyataan halal tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal. Selain itu, pemerintah menyerahkan tanggung jawab atas kebenaran pencantuman halal kepada setiap orang yang membuat pernyataan tersebut. Standar penetapan halal untuk setiap perusahaan berbeda-beda. Hal inilah yang biasa terjadi pada industri pangan dalam skala kecil atau rumah tangga. Padahal maksud pencantuman label halal ini adalah sama yaitu agar masyarakat terhindar dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal. Selain itu, pernyataan halal bukan saja dari segi bahan baku, melainkan juga bahan tambahan atau bahan bantu lain dan juga mencakup pula proses pembuatannya. Sehingga kehalalan produk mencakup semua bahan yang digunakan dalam proses produksi.
Pemerintah dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UUPKH) mengatur adanya pengawasan, pemeriksaan, pengujian, standardisasi, sertifikasi dan registrasi produk hewan, dengan maksud menjamin produk hewan yang aman, sehat, utuh dan halal. Dalam penjelasan pasal 56 huruf b yang dimaksud dengan penjaminan kehalalan produk hewan adalah pengupayaan dan pengondisian produk hewan yang diperoleh sesuai dengan syariat agama Islam. Produk hewan baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar harus memiliki sertifikat veteriner yaitu surat keterangan yang dikeluarkan oleh dokter hewan berwenang yang menyatakan bahwa produk hewan telah memenuhi persyaratan keamanan, kesehatan dan keutuhan. Dan juga memiliki sertifikat halal yaitu surat keterangan yang dikeluarkan oleh lembaga penjamin produk halal. Pemerintah juga memiliki kewajiban untuk memiliki rumah potong hewan. Hal ini merupakan sebagai salah satu upaya dalam menjamin ketenteraman batin masyarakat.
Dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak disebutkan mengenai kehalalan produk pangan. Belum ada pasal yang mengatur mengenai hal ini. Namun dalam pasal 111 disebutkan bahwa setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi:
a. Nama produk;
b. Daftar bahan yang digunakan;
c. Berat bersih atau isi bersih;
d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan makanan dan minuman kedalam wilayah Indonesia; dan
e. Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa.
- PRODUSEN
Dalam UUPK tempak jelas itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang atau diproduksi sampai pada tahap purna jual, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal itu tentu saja disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang atau diproduksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen (Kristiyanti, 2008:44).
Produsen Dalam UUPK tampak jelas itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang atau diproduksi sampai pada tahap purna jual, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal itu tentu saja disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang atau diproduksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen (Kristiyanti, 2008:44).
Dalam perlindungan konsumen, konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang benar, maka menjadi kewajiban perusahaan untuk memberikan informasi yang benar. Salah satunya informasi mengenai bahan-bahan yang digunakan. Informasi dapat dicantumkan pada kandungan bahan atau pada kemasan lainnya yang mudah dilihat. Produsen mempunyai kewajiban untuk memberikan informasi yang benar, jujur dan jelas mengenai pangan yang dijualnya terutama mengenai bahan-bahan yang digunakan. Jika dalam proses produksi pangan menggunakan bagian tubuh dari babi maka produsen wajib memberikan informasi secara jelas. Sehingga masyarakat memiliki informasi yang benar yang dapat dijadikan dalam pengambilan keputusan untuk membeli. Hal ini dapat diantisipasi oleh produsen dengan mendaftarkan produk ke lembaga sertifikasi dan lembaga labelisasi untuk mendapatkan label halal. Dengan label halal ini, perusahaan sudah memberikan ketenangan batin pada konsumen produk halal. Dalam UUPK, jika produsen tidak mengikuti ketentuan produksi secara halal padahal mencantumkan label halal pada kemasan, maka produsen dikenakan denda pidana. Namun, untuk produk yang belum atau tidak bersertifikasi dan berlabelisasi halal, tidak ada denda karena sertifikasi dan labelisasi masih bersifat tidak wajib. Untuk makanan yang berasal dari luar negeri, harus didaftarkan terlebih dahulu di BPPOM. Sedangkan untuk sertifikasi halal belum bersifat wajib. Saat ini LPPOM MUI telah bekerja sama dengan lembaga sertifikasi negara lain. Sehingga tidak perlu dilakukan sertifikasi pada produk yang sudah mendapat sertifikasi dan labelisasi oleh lembaga yang telah bekerja sama tersebut.
- KONSUMEN ;
Dalam UUPK, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materil maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung maupun tidak langsung, konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. Dengan demikian, upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak untuk segera dicari solusinya, terutama di Indonesia, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen, lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas yang akan datang. Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen. Posisi konsumen yang lemah harus dilindungi oleh hukum. Hak-hak konsumen digunakan sebagai landasan pengaturan perlindungan kepada konsumen. Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen, yaitu hak untuk mendapatkan keamanan, hak untuk mendapatkan informasi, hak untuk memilih dan hak untuk didengar (Kristiyanti, 2008:5&30).
Meningkatan kesadaran masyarakat dapat dilakukan dengan mengetahui hak-hak konsumen terlebih dahulu. Dengan mengetahui hak-hak konsumen, masyarakat menjadi lebih kritis dan memiliki pertimbangan-pertimbangan sebelum memutuskan untuk membeli. Pertimbangan konsumen menjadi kritik tersendiri bagi produsen dan jika produsen mengakomodir dengan baik maka akan menghasilkan produk yang sesuai dengan kemauan pasar. Hal ini erat kaitannya dengan upaya inovasi dan peningkatan kreativitas dalam menghasilkan suatu diferensiasi produk. Hak-hak tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kosumen mendapatkan keamanan Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga kosnumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan rohani (Kristiyanti, 2008:33).
2. Hak untuk mendapatkan informasi yang benar Setiap produk yang ditawarkan kepada masyarakat harus disertai dengan informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi dapat disampaikan dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen, melalui iklan pada berbagai media atau mencantumkan dalam kemasan produk. Jika dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk yang mengandung risiko terhadap keamanan konsumen, wajib disertai informasi berupa petunjuk pemakaian yang jelas (Kristiyanti, 2008:33).
3. Hak untuk didengar Hak ini terkait dengan hak mendapatkan informasi yang benar. Karena produsen tidak memberikan informasi yang cukup memuaskan konsumen, maka konsumen memiliki hak mengajukan permintaan informasi lebih lanjut. Masyarakat berhak bertanya mengenai bahan-bahan yang tidak dimengerti misalnya bahasa lainnya dari babi.
4. Hak untuk memilih Keputusan untuk membeli suatu produk merupakan hak konsumen. Dalam keputusannya, tidak boleh ada tekanan dari pihak luar, sekalipun dari produsen ataupun penjual. Dalam hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh LPPOM MUI mengenai kepedulian pengkonsumsian produk halal tahun 2009, didapatkan hasil bahwa masalah harga masih menjadi faktor yang cukup menentukan dalam mempengaruhi keputusan membeli seseorang.
5. Hak untuk mendapatkan produk barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar yang diberikan Sama seperti perlindungan pada konsumen barang pada umumnya, konsumen produk halal juga harus dilindungi dari permainan harga yang tidak wajar. Dengan kata lain, kuantitas dan kualitas barang yang dikonsumsi harus sesuai dengan nilai uang yang dibayar sebagai penggantinya.
6. Hak untuk mendapatkan ganti rugi Hak ini cukup sulit untuk diterapkan dalam perlindungan konsumen produk pangan. Karena sifat produk pangan yang habis jika telah dikonsumsi. Menjadikannya banyak variabel yang harus dibuktikan jika ingin mengklaim ganti rugi seperti banyaknya bahan yang dipakai. Kecuali jika jelas-jelas dalam suatu komunitas terjadi keracunan yang dikarenakan pengkonsumsian suatu bahan yang digunakan dalam produk pangan baik yang dikemas maupun yang tidak dikemas.
7. Hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum Hak ini merupakan hak yang lebih tinggi dari hak mendapatkan ganti rugi. Dimana mengganti rugi tidak membutuhkan penyelesaian hukum sedangkan penyelesaian hukum pada hakikatnya berisikan tuntutan untuk memperoleh ganti rugi. Hak ini dapat digunakan manakala konsumen tidak mendapat ganti rugi dari produsen atau penjual.
8. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat Bagi umat muslim yang hidup dalam komunitas yang di dalamnya terdapat peternakan atau tempat pemeliharaan hewan babi, maka harus dilindungi haknya. Peternakan hewan babi cenderung kotor dan sarang penyakit seperti penyakit flu babi (swine flu).
9. Hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang.Hak ini terkait dengan hak untuk mendapatkan produk barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar yang diberikan. Dalam kasus bakso dan kasus penjualan daging yang dicampur dengan daging babi, penjual tersebut melakukan persaingan yang tidak sehat, dimana menggunakan bahan yang tidak halal dan sengaja tidak memberitahukan kecurangan ini kepada konsumen.
Dalam menerapkan pengkonsumsian produk pangan halal, konsumen terutama konsumen muslim dapat menerapkan hak-haknya. Paling tidak hak untuk mendapatkan keamanan pada makanan yang dikonsumsi, hak mendapat informasi yang benar, hak untuk didengar dan hak untuk memilih. Hak mendapatkan informasi mengenai bahan yang digunakan dapat dilihat pada kemasan yaitu ada tidaknya label halal dan bahan-bahan yang digunakan. Jika ada kandungan yang meragukan dapat bertanya ke lembaga yang terkait. Hal ini bertujuan agar konsumen lebih berhati-hati dan untuk meningkatkan kesadaran konsumen. Sikap kritis sangat dibutuhkan untuk menghindari pengkonsumsian produk yang tidak halal.
BAB 3
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Makanan yang dinyatakan tidak halal untuk dikonsumsi dalam agama Islam, memiliki beberapa dampak buruk bagi kesehatan tubuh. Bangkai, darah, babi, dan hewan yang disembelih atas nama selain Allah merupakan beberapa jenis hewan atau bagian dari tubuh hewan yang tidak halal untuk dikonsumsi. Hewan babi misalnya, merupakan parasit dari berbagai vektor penyakit seperti virus dan cacing. Parasit ini dalam jangka panjang maupun jangka pendek menimbulkan masalah kesehatan dari keracunan hingga kematian. Masalah kehalalan menjadi tanggung jawab semua pihak terutama pihak pemerintah, produsen dan konsumen dalam menghindari penggunaan atau pengkonsumsian bahan yang tidak halal dalam makanan. Peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah dan DPR terkait dengan ketentuan pelabelan produk pangan, belum mengatur secara jelas dan rinci mengenai ketentuan sertifikasi dan labelisasi halal. Pengaturan ini bermaksud untuk menghindari persepsi yang berbeda-beda di masyarakat mengenai penetapan hukum halal dan untuk memberikan ketenangan bathin bagi umat muslim. Selama ini, ketentuan sertifikasi dan labelisasi halal masih bersifat sukarela sehingga belum semua produsen mendaftarkan produknya terutama produsen dalam usaha mikro. Selain itu, produsen terkadang tidak memberikan informasi kepada konsumen mengenai pemakaian bahan baku yang tidak halal. Pemerintahpun tidak melarang menjual makanan yang tidak halal asalkan diberikan keterangan yang benar mengenai bahan yang dipakai. Kesadaran konsumen terhadap produk pangan halal dapat dikatakan masih rendah. Dalam penelitian yang dilakukan oleh LPPOM MUI, sebanyak 47% konsumen yang melihat label halal pada produk yang dibeli.
B. SARAN
Untuk dapat menerapkan pengkonsumsian produk pangan halal di tengah masyarakat, dibutuhkan upaya yang dari semua pihak. Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia adalah masyarakat muslim, maka sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk mengatur ketentuan sertifikasi dan labelisasi halal pada produk halal dan ketentuan keterangan tidak halal pada produk yang secara jelas tidak halal baik dalam proses produksi, pengemasan, pendistribusian, dan penjualan. Produsen sebagai pihak yang lebih mengetahui kandungan bahan-bahan yang digunakan dalam proses produksi maupun dari proses penyimpanan, pengemasan dan penyaluran. Sehingga harus beritikad baik untuk memberikan informasi mengenai hal ini kepada konsumen. Hal ini dapat diantisipasi dengan mendaftarkan produk untuk dilakukannya sertifikasi dan labelisasi halal. Konsumen merupakan pihak yang harus bersikap hati-hati dengan mengecek ada tidaknya logo halal dan juga membaca kandungan bahan yang digunakan sebelum memutuskan untuk mengkonsumsi makanan. Upaya perlindungan terhadap konsumen produk halal dapat diterapkan minimal dengan mengetahui hak-hak dan kewajiban konsumen terlebih dahulu dalam menumbuhkan kesadaran pengkonsumsian makanan halal.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ad-Daqar, Muhammad Nazzar, 2009, Heboh Wabah Babi, Abu Nabil (penerjemah), Solo: Zam-Zam.
Apriyantono, Anton dan Nurbowo, 2003, Panduan Belanja dan Konsumsi Halal, Jakarta: Penerbit Khairul Bayaan.
Girindra, Aisjah, 2008, Dari Sertifikasi Menuju Labelisasi Halal, Pustaka Jurnal Halal.
Jaya, Muhammad, 2009, Ternyata Makanan & Minuman Anda Mengandung Babi & Khamar, Yogyakarta: Riz’ma.
Kristiyanti, Celina Tri Siwi, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika.
LPPOM MUI, 2010, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal, Jakarta: LPPOM MUI.
Muladno, 2010, Teknologi Rekayasa Genetik, Bogor: Penerbit IPB Press.
Setiadi, Nugroho, 2008, Perilaku Konsumen: Konsep dan Implikasi untuk Strategi dan Penelitian Pemasaran, Jakarta: Kencana.
Thihmaz, Abdul Hamid Mahmud, 2001, Hidangan Halal Haram Keluarga Muslim, Muhammad Syamsuri (penerjemah), Jakarta: CV Cendikia Sentra Muslim.
Tirtawinata, Tien Chudrin, 2006, Makanan dalam Perspektif Al-Quran dan Ilmu Gizi, Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Qardhawi, Yusuf, 2007, Halal Haram dalam Islam, Wahid Ahmadi, dkk. (penerjemah), Surakarta: Era Intermedia.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan
Undang-Undang No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan