BAB
1
LATAR
BELAKANG
Dalam mempelajari hukum laut
internasional diharapkan mahasiswa dapat menguraikan secara singkat
perkembangan konfrensi 1958, 1960, 1982.
Mahasiswa juga dapat menguraikan Pembagian Laut secara vertikal dan horizontal dan kompilasi atas keduanya.
Dalam hukum laut internasional sering ditemukan kasus-kasus
yang diselesaikan oleh mahkamah internasional, seperti kasus yang akan
diuraikan yaitu kasus selat corfu.
Kasus Selat Corfu (Inggris-Albania), angkatan laut inggris
membersihkan selat corfu utara bulan oktober 1944, ditemukan ranjau. Bulan 12
1945 diperiksa kembali. Pada tanggal 22 oktober 1946 beberapa kapal seperti
kapal perang inggris.di laut teluk, saranda saumerez menabrak ranjau dan kapal
rusak berat, volege pun mengalami kerusakan akan tetapi berhasil menarik
saumerez kembali ke corfu. 3 minggu kemudian, tanggal 13 November 1946 selat
dibersihkan kembali 22 ranjau.
Pertanyaan :
1. Apakah inggris berhak menuntut ganti rugi dan kepada
siapa tuntutan diajukan?
2. Atas dasar apa inggris menuntut ganti rugi?
3. Apakah tindakan inggris dalam kasus tersebut dapat
dibenarkan dalam hukum laut internasional?
4. Dalam pasal berapa kasus tersebut dapat diselesaikan
berdasarkan konvensi 1982?
BAB 2
PEMBAHASAN
1.
PERKEMBANGAN SECARA SINGKAT KONFRENSI
1958, 1960, 1982
Konferensi
Hukum Laut PBB I
(1958) dan PBB
II (1960)
• Resolusi Majelis
Umum PBB tgl 21 Feb 1957 menyetujui untuk mengadakan konferensi Internasional
tentang hukum laut pada bulan Maret 1958.
• Konferensi
ini akhirnya diadakan pada tgl 24 Feb – 27 April 1958 yang dihadiri oleh 700
delegasi dari 86 negara, yang dikenal dengan
UNCLOS I
(United Nations Convention on The Law of The Sea) atau konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang hukum laut.
4 buah
konvensi dari UNCLOS I
1. Konvensi
tentang laut teritorial dan jalur tambahan (convention on the territorial sea
and contiguous zone) belum ada kesepakatan dan diusulkan dilanjutkan
di UNCLOS II
2. Konvensi
tentang laut lepas (convention on the high seas)
a. Kebebasan
pelayaran
b. Kebebasan
menangkap ikan
c. Kebebasan
meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa
d. Kebebasan
terbang di atas laut lepas
Konvensi ini
telah disetujui.
3. Konvensi
tentang perikanan dan perlindungan sumber-sumber hayati di laut lepas
(convention on fishing and conservation of the living resources of the high
seas)
4. Konvensi
tentang landas kontinen (convention on continental shelf)
• Pada 17
Maret – 26 April 1960 UNCLOS II, membicarakan tentang lebar laut
teritorial dan zona tambahan perikanan, namun masih mengalami kegagalan untuk
mencapai kesepakatan, sehingga perlu diadakan konferensi lagi.
Konferensi
Hukum Laut PBB III
• Konvensi hukum
laut 1982 merupakan puncak karya dari PBB tentang hukum laut, yang disetujui di
Montego Bay, Jamaica (10 Des 1982), ditandatangani oleh 119 negara.
• Ada 15 negara
yang memiliki ZEE besar: Amerika Serikat, Australia, Indonesia, New Zealand, Kanada,
Uni Soviet, Jepang, Brazil, Mexico, Chili, Norwegia, India, Filipina, Portugal,
dan Republik Malagasi.
Dalam dekade
abad ke-20 telah 4 kali diadakan usaha untuk memperoleh suatu himpunan tentang
hukum laut, diantaranya adalah:
1. Konferensi
kodifikasi Den Haag (1930), di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa
2. Konferensi
PBB tentang hukum laut I (1958) UNCLOS I
3. Konferensi PBB
tentang hukum laut II (1960) UNCLOS II
4. Konferensi
PBB tentang hukum laut III (1982) UNCLOS III
Kepentingan
dunia atas hukum laut telah mencapai puncaknya pada abad ke-20. Faktor-faktor
yang mempengaruhi negara negara di dunia membutuhkan pengaturan tatanan hukum
laut yang lebih sempurna adalah:
• Modernisasi
dalam segala bidang kehidupan
• Tersedianya
kapal-kapal yang lebih cepat
• Bertambah
pesatnya perdagangan dunia
• Bertambah
canggihnya komunikasi internasional
• Pertambahan
penduduk dunia yang membawa konsekuensi bertambahnya perhatian pada usaha penangkapan
ikan
Definisi
Penting
• Laut
teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 mil laut yang diukur dari
garis pangkal kepulauan Indonesia
• Perairan
Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan
perairan pedalamannya.
• Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI) adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut
teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan
berdasarkan
undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut,
tanah dibawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200 mil laut yang
diukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia.
• Laut lepas
adalah bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEEI, laut teritorial
Indonesia, perairan kepulauan Indonesia, dan perairan pedalaman Indonesia.
• Landas
kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya, di luar perairan
wilayah Republik Indonesia sampai kedalaman 200 meter atau lebih, dimana masih
mungkin diselenggarakan eksploitasi kekayaan alam.
2. PEMBAGIAN LAUT SECARA VERTIKAL DAN HORIZONTAL
Menurut
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS 1982), laut dibagi secara horizontal dan vertical.
2.1 Laut
secara horizontal
Dapat
dibagi sebagai berikut:
a.
Perairan pedalaman, yakni perairan yang berada di sisi dalam garis pangkal; ada
3 garis pangkal yaitu garis (garis pangkal normal,garis pangkal lurus,dan garis
pangkal kepulauan atau archipilago).
b.
Laut teritorial yakni jalur laut yang ada di sisi luar atau di sisi laut garis pangkal
selebar tidak lebih dari 12 mil laut;
c.
Zone tambahan yaitu jalur laut yang merupakan kelanjutan dari laut teritorial
yang lebarnya tidak melebihi jarak 24 mil laut dari garis pangkal yang
bersangkutan;
d. Zone
ekonomi eksklusif yaitu jalur laut yang terletak di luar dan berdekatan dengan
laut teritorial selebar 200 mil laut dari garis pangkal laut teritorial;
e. Laut lepas
yaitu bagian laut yang tidak termasuk dalam zone ekonomi Eksklusif, laut
teritorial atau perairan pedalaman.
2.2
Laut secara vertikal
Dapat
dibagi sebagai berikut:
a. Ruang udara
yang ada di atas laut;
b. Kolom air laut
(water coloumn);
c. Dasar laut (sea bed), Tanah di bawah
dasar laut (subsoil) Dasar laut dan tanah dibawahnya dibagi lagi secara
horizontal menjadi:
1. Dasar laut
dan tanah dibawahnya dari bagian laut secara horizontal; 2. Landas Kontinen,
yakni dasar laut dan tanah di bawahnya sampai kejauhan batas landas kontinennya
(continental margin) atau sejauh 200 mil laut atau 350 mil laut dari
garis pangkal laut teritorial; 3. Area kawasan yakni laut dan dasar samudera dalam
tanah dibawahnya yang ada di luar batas juridiksi nasional.
2.3 Kompilasi
antara keduanya:
Pembagian laut secara horizontal dan
vertikal tersebut di atas memberikan hak-hak yang berbeda beda kepada pemilik
kedaulatan laut tersebut dan hubungannya dengan negara lain.
3.
KASUS SELAT CORFU
Kasus ini
berawal ketika pada tanggal 15 Mei 1946, dua kapal perang Inggris jenis
penjelajah, HMS Orion dan HMS Superb, saat melakukan navigasi rutin ke arah selatan
melalui bagian utara Selat ditembaki oleh artileri pantai Albania. Pemerintah
Inggris kemudian melalui saluran-saluran diplomatik yang dimilikinya mengajukan
keberatan atas tindakan yang dilakukan oleh Albania tersebut, serta menyatakan
bahwa hak lintas damai melalui selat internasional adalah merupakan hak yang
dikenal dalam hukum internasional. Membantah pernyataan pemerintah Inggris
tersebut, pemerintah Albania kemudian menolak dengan tegas anggapan Selat Corfu
adalah merupakan selat intrnasional dan menyatakan bahwa setiap kapal asing
baik itu kapal perang maupun kapal dagang tidak berhak untuk melaluinya karena
Selat Corfu merupakan wilayah perairan laut teritorial Albania sehingga setiap
kapal yang akan melaluinya harus melakukan pemberitahuan terlebih dahulu dan
atau izin dari pemerintah Albania. Mendapatkan pernyataan tersebut pemerintah
Inggris kemudian tetap pada pandangan sebelumnya yaitu bahwa Selat Corfu adalah
merupakan selat internasional karena menghubungkan dua bagian laut bebas. Selain
itu pemerintah Inggris juga mengingatkan
pemerintah Albania bahwa apabila artileri pantai pada waktu yang akan datang
kembali menembaki kapal-kapal perang Inggris yang melalui Selat Corfu,
kapal-kapal Inggris akan diperintahkan untuk membalasnya. Pada tanggal 22
Oktober 1946 pemerintah Inggris kembali mengirim kapal-kapal perangnya melalui
Selat Corfu. Dua kapal perang jenis penjelajah, yaitu HMS Mauritius dan HMS
Leander serta dua kapal perang jenis perusak, yaitu HMS Saumarez dan HMS
Volage. Pada saat keempat kapal perang tersebut melaksanakan lintas
pelayarannya, salah satu dari kapal perangnya kemudian, yaitu HMS Saumarez
terkena ranjau yang mengakibatkan rusaknya kapal perang tersebut serta
menewaskan beberapa awak kapal. Setelah terjadinya peristiwa tersebut pihak
Inggris kemudian pada tanggal 12 dan 13 November 1946 memberitahukan pemerintah
Albania bahwa mereka akan melakukan operasi pembersihan terhadap ranjau-ranjau
yang terdapat di Selat Corfu. Pihak albania menjawab pemeritahuan tersebut dengan
menyatakan bahwa pemerintah Albania tidak akan memberikan persetujuannya
terhadap operasi pembersihan ranjau tersebut, kecuali terhadap operasi
pembersihan yang dilakukan di luar wilayah perairan Albania. Berkaitan atas
terjadinya peristiwa ledakan ranjau yang merusak kapal perang dan awaknya
tersebut, pemerintah Inggris kemudian mengajukan gugatan pertanggung jawaban
terhadap pemerintah Albania atas terjadinya peristiwa tersebut ke Mahkamah
Internasional. Pada saat persidangan kemudian, dalam pembelaannya pemerintah Albania
menolak bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan kapal perang Inggris
tersebut. Argumentasi utama yang diajukan adalah bahwa pemerintah Albania sama
sekali tidak mengetahui adanya, ranjau di perairan Selat Corfu. Selain itu menurut
pihak albania pada saat terjadinya peristiwa tersebut telah terjadi pelanggaran
terhadap kedaulatan Albania, karena lintas pelayaran yang dilakuan kapal perang
Inggris adalah merupakan lintas tidak damai. Alasan-alasan yang diajukan untuk
mendukung hal tersebut meliputi :
1. Lintas kapal perang
Inggris adalah tidak merupakan lintas biasa, akan tetapi lebih tepat merupakan
sebuah misi politik;
2. Kapal-kapal tersebut
pada saat berlayar melalui Selat Corfu melakukan manuver dalam formasi perang;
3. Posisi senjata-senjata
yang ada diatas kapal perang pada saat itu tidak konsisten dengan prinsip hak
lintas damai;.
4. Kapal-kapal perang
Inggris tersebut pada saat melakukan lintasnya menempatkan awaknya dalam posisi
siap untuk beraksi;
5. Apabila dilihat dari
jumlah kapal dan persenjataan yang dimiliki yang melebihi jumlah seharusnya,
dan menunjukan keinginan untuk melakukan intimidasi dan bukan semata-mata hanya
untuk melintas;
6. Kapal-kapal perang
Inggris tersebut telah menerima perintah untuk mengamati dan melaporkan keadaan
pertahanan di pantai dan perintah tersebut dilaksanakan pada saat kapal perang
tersebut melintas. Sementara itu sebaliknya pihak Inggris dalam persidangan
menerangkan bahwa apa yang dilakukan oleh pihaknya dengan mengirim kapal-kapal
perang melalui Selat Corfu adalah semata-mata dalam rangka menegaskan haknya
untuk melaksanakan lintas melalui Selat Corfu yang adalah merupakan selat internasional
yang secara tidak adil telah diingkari oleh pemerintah Albania. Bahwa pihak
Inggris tidak terikat untuk tidak menggunakan hak lintasnya, dimana pemerintah
Albania telah secara ilegal mengingkarinya. Selanjutnya mengenai saat
terjadinya peristiwa, dimana disebutkan oleh
pihak albania bahwa
kapal-kapal perang Inggris telah melaksanakan lintas tidak damai adalah tidak
benar. Semua senjata dimiliki kapal-kapal perang Inggris selama melaksanakan
lintas dalam posisi tidak untuk digunakan dan tidak berisi serta tidak
diarahkan ke pantai. Meskipun demikian pemerintah Inggris mengakui berkaitan
dengan pelaksanaan operasi pembersihan ranjau setelah peristiwa ledakan ranjau,
pemerintah Inggris tidak pernah meminta persetujuan pihak Albania dan tidak
pula melakukan pemberitahuan kepada organisasi intelrnasional yang berkaitan
dengan pembersihan ranjau. Akan tetapi hal trsebut terpaksa dilakukan karena
mengingat keadaan yang mendesak. Setelah mendengarkan penjelasan dari kedua belah pihak. Mahkamah Internasional
kemudian memberikan putusan mengenai “Kasus Selat Corfu”,
sebagai berikut:
1.Menyatakan Republik Rakyat
Albania bertanggung jawab berdasarkan hukum internasional atas terjadinya
peritiwa ledakan ranjau yang terjadi pada tanggal 22 Oktober 1946 di perairan
Albania dan terhadap kerugian serta hilangnya jiwa yang mengakibatkan oleh
peristiwa tersebut;
2. Menyatakan Kerajaan
Inggris tidak melakukan pelanggaran terhadap kedaulatan Republik Rakyat albania
atas dasar tindakan-tindakan Angkatan Laut Kerajaan Inggris di perairan Albania
pada tanggal 22 Oktober 1946.
3. Menyatakan atas dasar
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh angkatan laut Inggris di perairan laut
Albania dalam suatu operasi yang dilaksanakan pada tanggal 12 dan 13 November
1946, bahwa kerajaan Inggris telah melanggar kedaulatan Republik Rakyat
Albania. Beberapa point penting yang dapat diambil dari kasus Selat Corfu, khususnya
yang berkaitan dengan masalah pengaturan lintas pelayaran kapal perang pada
masa damai antara lain :
1. Bahwa kasus Selat Corfu
telah melahirkan suatu prinsip, sesungguhnya dalam hukum kebiasaan
internasional, kapal perang pada masa damai memiliki hak lintas damai melalui selat
internasional, dan bahwa tidak boleh ada penangguhan lintas damai melalui selat
demikian.
2. Selain itu kasus Selat
Corfu menghasilkan precedent baru mengenai kriteria lintas damai, dimana
kriteria lintas damai tidak semata-mata didasarkan atas kriteria subyektif dari
negara pantai, akan tetapi terdapat suatu penilaian yang obyektif, yaitu bahwa
suatu lintas dapat dianggap lintas damai selam dilakukan dengan cara-cara yang
tidak menimbulkan ancaman terhadap negara pantai. Bahwa tidak sepenuhnya benar
jika kapal perang melalui wilayah perairan negara lain, maka ia berarti
melakukan lintas tidak damai, demikian pula sebaliknya.
3. Bahwa yang dilakukan
oleh pemerintah Inggris dengan mengirim sejumlah kapal perang ke Selat corfu,
merupakan salah satu bentuk penggunaan kapal perang pada masa damai yang
berkaitan dengan fungsi diplomasi kapal perang. Ketika Albania melakukan tindakan
yang dianggap merugikan pihak Inggris.
BAB 3
KESIMPULAN
Bahwa pertanyaan-pertanyaan yang
muncul mengenai kasus selat Corfu dapat
terjawab yaitu :
1. Bahwa Inggris berhak
menuntut ganti rugi kepada Albania berdasarkan hukum internasional.
2. Inggris menuntut ganti
rugi Atas dasar terjadinya peritiwa ledakan ranjau yang terjadi pada tanggal 22
Oktober 1946 di perairan Albania dan terhadap kerugian serta hilangnya jiwa
yang mengakibatkan oleh peristiwa tersebut;
3. Bahwa tindakan inggris
dalam kasus :
- Menuntut ganti rugi atas terjadinya peritiwa ledakan ranjau yang terjadi pada tanggal
22 Oktober 1946 di perairan Albania dan terhadap kerugian serta hilangnya jiwa
yang mengakibatkan oleh peristiwa tersebut adalah dibenarkan dalam hukum laut
internasional.
- Tindakan-tindakan Angkatan
Laut Kerajaan Inggris di perairan Albania pada tanggal 22 Oktober 1946 adalah
dibenarkan dalam hukum laut internasional. (Menyatakan Kerajaan Inggris tidak
melakukan pelanggaran terhadap kedaulatan Republik Rakyat albania)
- Tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh angkatan laut Inggris di perairan laut Albania dalam suatu
operasi yang dilaksanakan pada tanggal 12 dan 13 November 1946, tidak
dibenarkan dalam hukum laut internasional karena kerajaan Inggris telah
melanggar kedaulatan Republik Rakyat Albania.
4. Kasus tersebut dapat selesaikan berdasarkan konvensi 1982 Pada
pasal sebagai berikut:
-
Pasal
19 ayat 1 : Lintas
adalah damai sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan
Negara pantai. Lintas tersebut harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Konvensi
ini dan peratruan hukum internasional lainnya.
Ayat
2 : Lintas suatu
kapal asing harus dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban atau Keamanan
Negara pantai, apabila kapal tersebut di laut teritorial melakukan salah satu
kegiatan sebagai berikut :
a.
setiap
ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau
kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang merupakan
pelanggaran asas hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa;
b.
setiap
latihan atau praktek dengan senjata macam apapun;
c.
setiap
perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang merugikan bagi
pertahanan atau keamanan Negara pantai;
d.
setiap
perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan atau keamanan
Negara pantai;
j. kegiatan
riset atau survey;
l.
setiap
kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan lintas.
-
Pasal 24 Ayat :
1.
Negara
pantai tidak boleh menghalangi lintas damai kapal asing melalui laut teritorial
kecuali sesuai dengan ketentuan Konvensi ini. Dalam penerapan Konvensi ini atau
setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat sesuai Konvensi ini, Negara
pantai khususnya tidak akan :
a.
menetapkan
persyaratan atas kapal asing yang secara praktis berakibat penolakan atau
pengurangan hak litas damai; atau
b.
mengadakan
diskriminasi formal atau diskriminasi nyata terhadap kapal Negara manapun atau
terhadap kapal yang mengangkut muatan ke, dari atau atas nama Negara manapun.
2.
Negara
pantai harus mengumumkan secara tepat bahaya apapun bagi navigasi dalam laut
teritorialnya yang diketahuinya.
-
Pasal 25 Ayat:
1. Negara pantai dapat mengambil langkah
yang diperlukan dalam laut teritorialnya untuk mencegah lintas yang tidak
damai.
2. Dalam hal kapal menuju perairan
pedalaman atau singgah di suatu fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman,
Negara pantai juga mempunyai hak untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk
mencegah pelanggaran apapun terhadap persyaratan yang ditentukan bagi masuknya
kapal tersebut ke perairan pedalaman atau persinggahan demikian.
3. Negara pantai, tanpa diskriminasi
formil atau diskriminasi nyata di antara kapal asing, dapat menangguhkan
sementara dalam daerah tertentu laut teritorialnya lintas damai kapal asing
apabila penangguhan demikian sangat diperlukan untuk perlindungan keamanannya,
termasuk keperluan latihan senjata. Penangguhan demikian berlaku hanya setelah
diumumkan sebagaimana mestinya.
- Pasal
29 : Untuk
maksud Konvensi ini “kapal perang” berarti suatu kapal yang dimiliki oleh
angkatan bersenjata suatu Negara yang memakai tanda luar yang menunjukkan ciri
khusus kebangsaan kapal tersebut, di bawah komando seorang perwira yang
diangkat untuk itu oleh Pemerintah Negaranya dan yang namanya terdapat di dalam
daftar dinas militer yang tepat atau daftar serupa, dan yang diawaki oleh awak
kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata reguler.
- Pasal
30 : Negara
pantai oleh kapal perang asing Apabila sesuatu kapal perang tidak mentaati
peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Negara pantai mengenai
lintas melalui laut teritorial dan tidak mengindahkan permintaan untuk mentaati
peraturan perundang-undangan tersebut yang disampaikan kepadanya, maka Negara
pantai dapat menuntut kapal perang itu segera meninggalkan laut teritorialnya.
-
Pasal 52 ayat :
1.
Dengan
tunduk pada ketentuan pasal 53 dan tanpa mengurangi arti ketentuan pasal 50,
kapal semua Negara menikmati hak lintas damai melalui perairan kepulauan sesuai
dengan ketentuan dalam Bab II, bagian 3.
2.
Negara
Kepulauan dapat, tanpa mengadakan diskriminasi formal maupun diskriminasi nyata
diantara kapal asing, menangguhkan sementara lintas damai kapal asing di daerah
tertentu perairan kepulauannya, apabila penangguhan demikian sangat perlu untuk
melindungi keamanannya. Penangguhan demikian akan berlaku hanya setelah
diumumkan sebagaimana mestinya.
DAFTAR
ISI
BUKU:
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut
Internasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman – Penerbit
Binacipta, 1986.
Melda Kamil Ariadno, Hukum
Internasional Hukum yang Hidup, Penerbit Diadit Media, Jakarta, 2007.