PERLINDUNGAN
HUKUM NASABAH DALAM PENGGUNAAN KONTRAK BAKU PADA PERUM PEGADAIAN
DI
KABUPATEN SIDRAP
SKRIPSI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia Timur
Oleh :
NAMA
: HERWANDY BAHARUDDIN
STAMBUK : 13.501.134
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA TIMUR
2015
PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI
PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia Timur memberikan Persetujuan menempuh ujian kepada :
Nama : HERWANDY BAHARUDDIN
Nomor
Stambuk : 13.501.134
Fakultas : Hukum
Judul : Perlindungan Hukum Nasabah Dalam Penggunaan Kontrak Baku Pada
Perum Pegadaian Di Kabupaten Sidrap
Telah diperiksa/diperbaiki
dan dapat disetujui untuk dimajukan dalam ujian skripsi mahasiswa program
strata satu (S1)
Makassar,
April 2015
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Prof.Dr.Hj.Muliyati Pawennei,SH,MH
PERSETUJUAN PEMBIMBING
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Proposal penelitian ini telah disetujui untuk diajukan pada ujian seminar
proposal penelitian Fakultas Hukum Universitas Indonesia Timur Makassar.
Makassar,
April 2015
Pembimbing I Pembimbing II,
Hj.Masri Sunusi,SH.MH Pattawari,SHi,MH
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Hukum
Fakultas Hukum
Universitas Indonesia Timur
H.Amiluddin Nur,SH.,MH
NIK.02010234
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur
penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat dan hidayah-Nya
menyebabkan karya tulis yang sangat sederhana ini dapat penulis selesaikan
dengan baik.
Dengan kesempatan
yang tersedia dan penuh suka duka selama di Perguruan Tinggi, maka penulis
berusaha memenuhi syarat akademis melalui tulisan ini sebagai tanda berakhirnya
studi formal di Fakultas Hukum pada Universitas Indonesia Timur.
Atas selesainya
skripsi ini, maka terbukalah kesempatan bagi penulis untuk menyampaikan ucapan
terima kasih, terutama kepada :
1.
Bapak Prof. Dr. Baso Amang, SE. M.Si sebagai Rektor
Universitas Indonesia Timur Makassar.
2.
Ibu Prof.Dr.Hj.Muliyati
Pawennei,SH,MH Selaku Dekan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia Timur Makassar, Wakil Dekan, para dosen
serta seluruh Staf Fakultas yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama
mengikuti pendidikan.
3.
Ibu Hj.Masri
Sunusi,SH.MH Sebagai
Pembimbing I dan Bapak Pattawari,SHi,MH Sebagai Pembimbing II atas
kesediaan beliau yang sejak awal hingga akhir penulisan skripsi ini selalu
memberikan petunjuk dan bimbingan yang sangat besar manfaatnya bagi penulis.
4.
Bapak H.Amiluddin
Nur,SH.,MH sebagai Ketua
Program Studi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Timur.
5.
Seluruh keluarga penulis yang telah memberikan dorongan hingga selesainya studi di
Fakultas Hukum Universitas Indonesia Timur.
Di dalam tulisan
ini penulis menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kekurangan .
Semoga amal ibadah-Nya
serta bantuan yang telah diberikan mendapat pahala dari Allah SWT, Amin.
Makassar, Februari 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN MENGIKUTI UJIAN SKRIPSI....................... iii
KATA
PENGANTAR.......................................................................................... iv
DAFTAR ISI.......................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah...................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah............................................................................... 4
C.
Tujuan
dan Kegunaan Penelitian..................................................... 4
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Beberapa
Pengertian ......................................................................... 6
B.
Perjanjian Baku dan Klausula Baku.............................................. 17
C.
Syarat-syarat
Perjanjian.................................................................... 19
D.
Asas
kebebasan Berkontrak ........................................................... 19
E.
Hak
dan Kewajiban Para Pihak...................................................... 20
F.
Wanprestasi
dan Fource Majeure................................................... 22
G.
Penyalagunaan
Keadaan................................................................ 27
H.
Dasar
Hukum Pegadaian................................................................. 29
BAB
III METODE PENELITIAN
A.
Lokasi
Penelitian............................................................................... 34
B.
Jenis
dan Sumber Data .................................................................. 34
C.
Teknik
Pengumpulan Data ............................................................. 34
D.
Analisis
Data ..................................................................................... 35
BAB
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Singkat Perum Pegadaian ............................................... 37
B.
Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Nasabah ............... 42
C.
Upaya
Hukum Yang Ditempuh Apabila Terjadi
Wanprestasi. 51
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................... 55
B. Saran .................................................................................................. 56
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Perum Pegadaian merupakan lembaga perkreditan
yang dikelola oleh pemerintah yang kegiatan utamanya melaksanakan penyaluran
uang pinjaman atau kredit atas dasar hukum gadai. Penyaluran uang pinjaman
tersebut dilakukan dengan cara yang mudah, cepat, aman dan hemat sehingga tidak
memberatkan bagi masyarakat yang melakukan pinjaman dan tidak menimbulkan
masalah yang baru bagi peminjam setelah melakukan pinjaman di pegadaian. Hal
tersebut sesuai dengan motto yang digunakan pegadaian yaitu “Mengatasi Masalah
Tanpa Masalah”. Kelebihan perusahaan umum pegadaian ini bagi masyarakat yang
meminjam kredit adalah pihak yang berkepentingan tidak perlu menjual
barang-barangnya, melainkan hanya dijadikan jaminan pengajuan kredit di
perusahaan umum pegadaian.
Maria
Oterio (2005:66) yang menyatakan bahwa keuangan mikro adalah penyaluran
jasa keuangan kepada rakyat kecil, lemah atau miskin, dan para
wirausaha. Sejak tahun 1970, microfinance telah mengalami peningkatan
dalam perkembangannya, dan dalam prakteknya merupakan penggabungan
konsep pengembangan sosial dan ekonomi, juga merupakan atau sebagai prinsip
yang mendasari promosi dan keuangan pasar dan penjualan kombinasi ini telah
membawa dampak jumlah pertumbuhan lembaga keuangan mikro yang berkelanjutan
dalam pengembangan dunia.
Berdasarkan
fenomena tersebut, peran pegadaian sebagai
lembaga pembiayaan dalam era sekarang dan masa akan datang tetap penting untuk
mewujudkan pemberdayaan ekonomi rakyat baik di Kabupaten maupun di pedesaan. Masyarakat
kecil umumnya masih terbelakang dan dalam kondisi seperti ini peranan pegadaian
sebagai jaring pengaman sosial bagi masyarakat kecil semakin penting untuk
menyediakan kredit berskala kecil, cepat, bunga ringan dan tidak berbelit.
Sedangkan tujuan pegadaian adalah untuk memberikan jaminan
bagi pemegang gadai bahwa di kemudian hari piutangnya pasti di bayar dari nilai
jaminan. Pegadaian juga turut melaksanakan dan mendukung kebijakan program
pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional yaitu dengan menyalurkan kredit
kepada masyarakat dengan jaminan benda-benda bergerak. Benda bergerak tersebut
harus memiliki nilai jual yang sama dengan uang yang dibutuhkan oleh yang berhutang
tersebut.
Pada dasarnya gadai diberikan untuk menjamin suatu
tagihan atau kredit, memang kredit diberikan terutama atas dasar integritas
atau kepribadian debitur, kepribadian yang menimbulkan rasa percaya pada diri
kreditur bahwa debitur akan memenuhi kewajiban pelunasannya dengan baik (Nindyo,
Pramono, 2007:82) Adapun ketentuan mengenaii
gadai itu sendiri diatur dalam KUH Perdata Buku II Bab XX, pasal 1150-1161.
Pasal
1150 KUH Perdata memberikan pengertian gadai sebagai suatu hak yang diperoleh seorang
yang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang
berhutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan
kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan daripada orang–orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya
untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkannya setelah barang lelang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus
didahulukan (Shidarta, 2004:77)
Dalam pelaksanaan kredit gadai ini ada dua pihak yang terlibat
yaitu pihak yang menerima
gadai disebut “pemegang gadai” dan pihak yang menggadaikan barang disebut
“pemberi gadai”. Setiap pemberian kredit harus diikuti dengan suatu penjaminan
guna pengamanan kredit yang telah diberikan. Dalam hal terjadi perjanjian kredit,
debitur menyerahkan benda gadai sebagai jaminan atas pelunasan hutang- hutangnya
terhadap kreditur. Jaminan adalah penting demi menjaga keamanan dan memberikan
kepastian hukum bagi kreditur untuk mendapatkan kembali atau mendapatkan
kepastian mengenai pengembalian uang pinjaman yang telah diberikan oleh
kreditur kepada debitur sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan
disepakati bersama.
Barang yang menjadi objek
gadai tersebut harus diserahkan oleh debitur (masyarakat) kepada kreditur (perum
pegadaian). Jadi barang-barang yang digadaikan berada di bawah kekuasaan
pemegang gadai. Asas ini disebut asas Inbezitstelling yang merupakan
syarat mutlak dalam perjanjian gadai Satjipto, Rahardjo, (2003:95). Hal ini untuk memberi
kepastian bahwa debitur akan melaksanakan kewajibannya sesuai dengan isi perjanjian
kredit yang telah dibuat. Sedangkan barang-barang yang menjadi jaminan harus
berada di perum pegadaian sebagai barang jaminan sampai debitur melunasi
hutang-hutangnya kepada kreditur atau pemegang gadai.
Berdasarkan fenomena yang telah diungkapkan, maka penulis
ingin meneliti tentang “Perlindungan
Hukum Nasabah Dalam Penggunaan Kontrak Baku Pada Perum Pegadaian Cabang Sidrap
Kabupaten Sidrap ”
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
perlindungan hukum terhadap hak-hak nasabah dalam penggunaan kontrak baku pada Perum
Pegadaian Cabang Sidrap Kabupaten Sidrap ?
2. Bagaimana
upaya hukum yang bisa ditempuh oleh nasabah jika terjadi wanprestasi dari
pemegang gadai pada Perum Pegadaian Cabang Sidrap Kabupaten Sidrap ?
C. Tujuan
dan Kegunaan Peneltian
1.
Tujuan
penelitian:
a. Untuk
mengetahui perlindungan hukum terhadap hak-hak nasabah dalam penggunaan kontrak
baku pada Perum Pegadaian Cabang Sidrap Kabupaten Sidrap .
b. Untuk
mengetahui upaya hukum yang bisa ditempuh oleh nasabah jika terjadi wanprestasi
dari pemegang gadai Perum Pegadaian Cabang Sidrap Kabupaten Sidrap ..
2. Kegunaan Penelitian:
a. Teoritis,
diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi referensi baru dalam pengembangan
ilmu hukum.
b. Praktis, diharapkan hasil penelitian ini
memberikan kontribusi kepada Perum Pegadaian Cabang Sidrap dalam memberikan:
(1) Perlindungan hokum kepada nasabah; (2) meningkatkan kualitas pelayanan
kepada nasabah; (3) informasi awal bagi peneliti lain yang ingin mengkaji lebih
jauh tentang focus penelitian ini pada dimensi kajian yang berbeda.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Beberapa Pengertian
1. Pengertian Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subjek-subjek hukum melalui peraturan
perundang-Undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu
sanksi. Ada beberapa pendapat dari para ahli yang dapat dikutip sebagai suatu pedoman
mengenai perlindungan hukum.
Menurut
Catur, N. R. And Purwono, (2007: 90) bahwa perlindungan hukum adalah adanya upaya
melindungi kepentingan sesorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan
kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Adapun menurut
Muchsin (2003: 38) bahwa :
perlindungan
hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan
nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam
menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.
Hukum Konsumen adalah hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara
konsumen selaku individu dan pelaku usaha yang menjual barang dan jasa.
Perlindungan konsumen meliputi masalah yang luas, yang tidak hanya terbatas
pada tanggung jawab produk, hak-hak konsumer; praktik usaha tidak sehat,
penipuan penafsiran yang keliru, hubungan lain konsumen/pelaku usaha. Hukum
konsumen berhubungan dengan pelunasan kredit, pencairan pinjaman, keamanan
produk, pelayanan dan perjanjian penjualan
peraturan nota kolektil harga, pembatalan, konsolidasi, pinjaman seseorang yang
mungkin menjadi bangkrut dan masih banyak lagi.
Pada dimensi lain Hasanah Hetty
(2004: 71) memberikan batasan pengertian bahwa:
perlindungan
hukum merupakan segala upaya yang dapat
menjamin adanya kepastian hukum, sehingga dapat memberikan perlindungan hukum
kepada pihak-pihak yang bersangkutan atau yang melakukan tindakan hukum. Hukum perlindungan ditujukan untuk memberikan
perlindungan hukum kepada konsumen atas hak-haknya.
Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai
untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam
usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen
itu sendiri (Sidabolok Janus, 2000: 66). Perlindungan konsumen merupakan
perlindungan dalam arti hukum yang diberikan kepada konsumen (mereka yang
melakukan kontrak selain untuk tujuan bisnis untuk mendapatkan barang dan jasa
dari mereka yang menyediakannya untuk tujuan bisnis).
Perlindungan konsumen merupakan suatu kebijakan hukum
pada saat ini untuk melindungi konsumen terhadap ketentuan-ketentuan di dalam
kontrak yang tidak adil. Secara khususnya, konsumen dilindungi dari
ketentuan-ketentuan yang mengecualikan atau membatasi tanggung jawab penjual
secara tidak langsung atau dimilikinya hak menjual barang–barang tersebut (oleh
penjual), apakah barang-barang tersebut sesuai dengan gambaran atau
contoh, dan memiliki kualitas yang layak untuk diperdagangkan sesuai dengan tujuan
utamanya.
Pengertian Perlindungan Konsumen terdapat dalam
Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyatakan: “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.
Perlindungan konsumen harus
mendapat perhatian yang lebih, karena investasi asing telah menjadi bagian
pembangunan ekonomii Indonesia, di mana ekonomi Indonesia juga telah
berkait dengan ekonomi dunia. Persaingan perdagangan internasional dapat
rnembawa implikasi negatif bagi perlindungan konsumen.
Setiap orang, pada suatu waktu,
dalam posisi tunggal atau sendiri maupun berkelompok bersama orang lain, dalam
keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa
tertentu. Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya
berbagai kelemahan pada konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan
yang "aman, oleh karena itu, secara mendasar konsumen juga membutuhkan
perlindungan hukum yang sifatnya universal. Mengingat lemahnya kedudukan
konsumen pada umumnya dibandingkan dengan kedudukan produsen yang relatif lebih
kuat dalam banyak hal, maka pembahasan perlindungan konsumen akan selalu terasa
aktual dan selalu penting untuk dikaji ulang.
Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara
material maupun
formal makin terasa sangat penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan
dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi
produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran
usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik
langsung atau tidak langsung, konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan
dampaknya. Dengan demikian, upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang
memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan
mendesak untuk segera dicari solusinya, terutama di Indonesia, mengingat sedemikian
kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen, lebih-lebih
menyongsong era perdagangan bebas yang akan datang.
Konsumen yang keberadaannya
sangat tidak terbatas dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen
melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara
seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk
tersebut" untuk itu semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin
menimbulkan berbagai dampak, termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang
bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang berawal dari iktikad buruk. Dampak
buruk yang lazim terjadi, antara lain menyangkut kualitas, atau mutu barang,
informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan pemalsuan dan sebagainya.
Perlindungan konsumen dalam era
pasar global menjadi sangat penting, karena pertama konsumen di samping
mempunyai hak-hak yang bersifat universal juga mempunyai hak-hak yang bersifat
sangat spesifik (baik situasi maupun kondisi). Era perdagangan bebas merupakan
suatu era ke mana pemasaran merupakan suatu disiplin universal. Konsep-konsep
pemasaran dipandang dari stategi pemasaran global telah berubah dari waktu ke
waktu, sebagaimana tahapan berikut:
Pertama, konsep pemasaran pada
awalnya adalah memfokuskan pada produk yang lebih baik yang berdasarkan pada standar
dan nilai internal. Hal ini dilakukan dengan tujuan memperoleh laba, dengan
menjual atau membujuk pelanggan potensial untuk menukar uangnya dengan produk
perusahaan.
Kedua, pada dekade enam puluhan
fokus pemasaran dialihkan dari produk kepada pelanggan. sasaran masih tetap
pada laba,
tetapi cara pencapaian menjadi luas, yaitu dengan pembaruan pemasaran
marketing, promotion, produk, harga,
promotion saluran distribusi.
Ketiga, sebagai konsep baru
pemasaran, dengan pembaruan dari konsep pemasaran menjadi konsep strategi.
Konsep strategi pemasaran pada dasarnya mengubah fokus pemasaran dari pelanggan
atau produk kepada pelanggan dalam konteks lingkungan ekstemar yang lebih
luas. Di samping itu juga terjadi perubahan pada tujuan pemasaran, yaitu dari
laba menjadi keuntungan pihak yang berkepentingan (yaitu
orang perorangan atau kelompok yang mempunyai kepentingan dalam
kegiatan perusahaan termasuk di dalamnya karyawan, manajemen, pelanggan,
masyarakat dan negara). untuk itu harus memanfaatkan pelanggan yang ada
termasuk pesaing, kebijakan yang berlaku, peraturan pemerintah serta kekuatan
makro, ekonomi, sosial, politik secara luas.
Perlunya undang-undang
perlindungan konsumen tidak lain karena lemahnya posisi konsumen dibandingkan
posisi produsen. Proses sampai hasil produksi barang atau jasa dilakukan tanpa
campur tangan konsumen sedikit pun. Tujuan hukum
perlindungan konsumen secara langsung adalah untuk meningkatkan martabat dan
kesadaran konsumen. Secara tidak langsung, hukum ini juga akan mendorong
produsen untuk melakukan usaha dengan penuh tanggung jawab" Namun, semua
tujuan tersebut hanya dapat dicapai bila hukum perlindungan konsumen dapat
diterapkan secara konsekuen.
Untuk mewujudkan harapan
tersebut, perlu dipenuhi beberapa persyaratan minimal, antara lain:
(1) hukum
perlindungan konsumen harus adil bagi konsumen maupun produsen, jadi tidak
hanya membebani produsen dengan tanggung jawab, tetapi juga melindungi hak-haknya
untuk melakukan usaha dengan jujur.
(2) aparat pelaksana hukumnya harus dibekali dengan
sarana yang memadai dan disertai dengan tanggung jawab.
(3) peningkatan kesadaran konsumen akan hak-haknya.
(4) mengubah sistem nilai dalam masyarakat ke arah sikap tindak yang
mendukung pelaksanaan perlindungan konsumen.
Dipenuhinya persyaratan di atas akan mengangkat harkat
dan martabat konsumen, sehingga mereka juga dapat diakui sebagai salah satu
subjek dalam sistem perekonomian nasional di samping BUMN, Koperasi, dan usaha
swasta. Bertolak dari luas dan kompleksnya hubungan antara produsen dan
konsumen serta banyaknya mata rantai penghubung keduanya, maka untuk melindungi
konsumen sebagai pemakai akhir dari produk barang atau jasa, dibutuhkan
berbagai aspek hukum agar konsumen dapat dilindungi dengan adil sejak awal
produksi.
Kendala yang dihadapi dalam upaya perlindungan
konsumen di Indonesia tidak terbatas pada rendahnya kesadaran konsumen akan
hak, tetapi juga adanya persepsi yang salah di kalangan sebagian besar produsen
bahwa perlindungan terhadap konsumen akan menimbulkan kerugian terhadap
produsen.
Persepsi yang keliru di kalangan pengusaha ini akan
dengan mudah diluruskan apabila disadari beberapa pertimbangan berikut ini:
(1) bahwa konsumen dan produsen adalah pasangan yang
saling membutuhkan; usaha produsen tidak akan dapat berkembang dengan baik bila
konsumen berada pada kondisi yang tidak sehat akibat banyaknya produk yang
cacat.
(2) bahwa ada
produsen yang melakukan kecurangan dalam rnelakukan kegiatan usahanya.
Kecurangan ini tidak hanya merugikan konsumen saja, tetapi juga akan merugikan
produsen yang jujur dan bertanggung jawab.
(3) kesempatan
untuk mengembangkan dan meningkatkan usaha bagi produsen yang bertanggung jawab
dapat diwujudkan tidak dengan jalan merugikan kepentingan konsumen, tetapi
dapat dicapai melalui penindakan terhadap produsen yang melakukan kecurangan dalam
melakukan kegiatan usahanya.
(4) bahwa beban
kompensasi atas kerugian konsumen akibat pemakaian produk cacat telah
diperhitungkan sebagai komponen produksi, tetapi ditanggung bersama oleh
seluruh konsumen yang rnemakai produk yang tidak cacat.
Sejalan dengan hal tersebut, maka perlindungan hukum
terhadap hak konsumen tidak dapat diberikan oleh satu aspek hukum saja,
melainkan oleh sistem perangkat hukum yang mampu memberikan perlindungan yang
simultan dan komprehensif sehingga terjadi persaingan
yang jujur yang secara langsung atau tidak langsung akan menguntungkan
konsumen.
Abdul
Halim, Barkatullah, (2010: 77) menyatakan
In a sense there is no such creature os consumer law. Sekalipun demikian,
secara umum sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen itu
seperti yang dinyatakan oleh Lowe yakni rules of law which recognize the bargaining
weakness of the individual consumer and which ensure tbat weakness is not
unfairty exploited. Oleh karena
posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu
sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan (pengayoman)
kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan
konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya.
Hetty, Hasanah, (2004: 60) berpendapat bahwa:
Hukum
konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat
mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.
Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah
hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain
berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.
Oleh
Prodjodikoro
Wirjono, (1993:
76) mengakui, asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang
mengatur hubungan dan masalah konsumen itu tersebar dalam berbagai bidang
hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Ia menyebutkan, seperti hukum
perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum administrasi (negara) dan hukum
internasional terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan
kepentingan-kepentingan konsumen. Adapun yang masih belum jelas dari pernyataan
Prodjodikoro Wirjono,
berkaitan dengan kaidah-kaidah hukum perlindungan konsumen yang senantiasa
bersifat mengatur.
Untuk
itu jelasnya dapat dilihat ketentuan Pasal 383 KUHP berikut ini: Diancam dengan
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang penjual yang berbuat
curang terhadap pembeli:
(1) karena sengaja menyerahkan barang lain
daripada yang ditunjuk untuk dibeli.
(2) mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang
yang diserahkan dengan menggunakan tipu muslihat.
Seharusnya
ketentuan memaksa dalam Pasal 383 KUHP juga memenuhi syarat untuk dimasukkan ke
dalam wilayah hukum perlindungan konsumen. Artinya, inti persoalannya bukan
terletak pada kaidah yang harus "mengatur" atau "memaksa". Dengan
demikian, seyogianya dikatakan, hukum konsumen berskala lebih luas meliputi
berbagai aspek hukum yang terdapat kepentingan pihak konsumen di dalamnya. Kata aspek hukum ini sangat bergantung pada kemauan
kita mengartikan.
Selain itu juga digunakan teori penegakan hkum yang
dikemukakan oleh Nindyo, Pramono, (2007:23), menyatakan bahwa:
Secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam
kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan sikap tindakan sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan memelihara, dan mempertahankan
kedamaian pergaulan hidup.
Hukum Perlindungan konsumen dibuat untuk kegiatan
perdagangan yang adil dengan memberikan informasi yang benar dan jujur di
tempat umum. Hukum Perlindungan Konsumen dibuat juga untuk mencegah Pelaku
Usaha yang mengarah ke penipuan atau praktik tertentu yang tidak adil dan
memperoleh keuntungan atas persaingan dan juga memberikan perlindungan terhadap
mereka yang memiliki kelemahan dan tidak dapat menjaga diri mereka.
Hukum Perlindungan Konsumen
adalah salah satu peraturan pemerintah yang bertujuan melindungi keresahan
konsumen. Sebagai contoh, pemerintah tetap saja mernbutuhkan pernyataan Pelaku
Usaha yang rinci mengenai informasi tentang produk khususnya berkaitan dengan
keamanan atau kesehatan masyarakat sebagai suatu isu, misalnya makanan.
Perlindungan konsumen berkaitan dengan hak-hak konsumen (dimana konsumen
memiliki beberapa hak sebagai konsumen), dan membuat organisasi konsumen yang
dapat membantu konsumen dapat memilih yang terbaik di pasaran.
2. Pengertian
Nasabah
Arti
nasabah pada lembaga perbankan sangat penting. Nasabah itu ibarat nafas yang
sangat berpengaruh terhadap kelanjutan suatu bank. Oleh karena itu bank harus
dapat menarik nasabah sebanyak-banyaknya agar dana yang terkumpul dari nasabah
tersebut dapat diputar oleh bank yang nantinya disalurkan kembali kepada
masyarakat yang membutuhkan bantuan bank.
Menurut Abdulkadir, Muhammad, (2002:
40) bahwa; ˝Nasabah adalah orang atau badan yang mempunyai rekening simpanan
atau pinjaman pada bank˝. (Kartini, Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2007: 34) menyatakan
bahwa: “Nasabah adalah seseorang atau suatu perusahaan yang mempunyai rekening
koran atau deposito atau tabungan serupa lainnya pada sebuah bank˝. Rochmat,
Soemitro (2000: 98).
3.
Pengertian
Perjanjian
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata bahwa yang dimaksud perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih. Menurut Salim HS (2008: 161) perjanjian adalah
: “Perjanjian adalah suatu hubungan antara dua pihak atau lebih berdasarkan
kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. Pengertian perjanjian menimbulkan
kewajiban antara kedua orang yang membuatnya dalam bentuk perjanjian itu
merupakan rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang
diucapkan atau tertulis.
B.
Perjanjian Baku dan Klausula Baku
Pengertian Perjanjian baku menurut Hilman, Hadikusuma (2001: 98) bahwa perjanjian
baku mengandung sifat yang banyak menimbulkan kerugian terhadap konsumen.
Perjanjian baku yang banyak terdapat di masyarakat dapat dibedakan dalam
beberapa jenis, antara lain:
(1) Perjanjian baku sepihak, adalah perjanjian
yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian
itu. Pihak yang kuat di sini adalah pihak kreditur yang Iazimnya mempunyai
posisi ekonomi kuat dibandingkan pihak debitur. Kedua pihak lazimnya terikat
dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
(2) Perjanjian baku yang ditetapkan oleh
pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan hukum
tertentu, misalnya perjanjian yang mempunyai objek hak atas tanah.
(3) Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan
notaris atau advokat. Adalah perjanjian
yang konsepnya sejak semula disediakan. Untuk memenuhi permintaan anggota
masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan. Dalam
perpustakaan Belanda jenis ini disebutkan contract
model.
Naoki
Kojima, (2003: 88) berpendapat: "perjanjian baku itu memang melanggar Undang-Undang,
tetapi dibutuhkan oleh masyarakat dalam praktek." Dalam hal ini, Hondius,
(1995: 56) memberi toleransi
dengan alasan merupakan "kebiasaan
dalam perdagangan". Kemudian memberi jalan tengah "tetap ada perjanjian karena fiksi adanya
kemauan dan kepercayaan, karena dengan
menerimanya, konsumen telah setuju."
Menurut
hukum, yang dimaksud klausula baku itu adalah "setiap aturan atau
ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan diterapkan terlebih dahulu
secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen."
Secara
sederhana, klausula baku mempunyi ciri berikut;
(1) Klausula itu
ada di dalam perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha, yang
posisinya relatif lebih kuat dibandingkan konsumen.
(2) Konsumen
sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi klausula tersebut.
(3) Dibuat dalam bentuk
tertulis dan missal.
(4) Konsumen
terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong kebutuhan.
Pasal 18 Ayat (1) UU Perlindungan Konsumen menyebutkan
mengenai klausula-klausula yang dilarang dicantumkan dalam perjanjian baku,
yaitu menyatakan:
(1) pengalihan tanggung
jawab pelaku usaha.
(2) bahwa pelaku
usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.
(3) bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen.
(4) pemberian
kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak
langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang
yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(5). mengatur
perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen.
(6) memberi hak
kepada pelaku usaha unfuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
(7) tunduknya
konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau
pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya.
(8) menyatakan
bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
C.
Syarat-Syarat
Perjanjian
Syarat
sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, yaitu:
(a) Adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak
yang membuat perjanjian (konsensus).
(b)
Kecakapan
para pihak.
(c)
Suatu hal
atau objek tertentu.
(d)
Adanya suatu
sebab yang halal.
Adapun unsur-unsur dalam perjanjian adalah: (a). Esensiall (Essensialia)
yaitu unsur utama, tanpa adanya unsur ini persetujuan tidak mungkin ada. (b). Natural
(Naturalia) yaitu unsur yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai per-aturan yang bersifat
mengatur. (c). Aksidental (Accidentalia)
yaitu unsur yang oleh para pihak ditambahkan dalam persetujuan dimana
undang-undang tidak mengatur Misalnya jual beli rumah diperjanjikan tidak
termasuk alat-alat rumah tangga.
D.
Asas
Kebebasan Berkontrak
Asas
kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata,
yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang
- undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk: (1) Membuat atau tidak membuat perjanjian; (2)
Mengadakan perjanjian dengan siapa pun; (3) Menentukan isi perjanjian,
pelaksanaan, dan persyaratannya; dan (4) Menentukan bentuk perjanjiannya apakah
tertulis atau lisan (Salim HS, 200).
Asas kebebasan berkonrak sangat penting mengingat dalam
perjajian harus terdapat adanya: (1)
Unsur esensialia, unsur yang mutlak ada dalam suatu perjanjian (karena
ditetapkan melalui UU yang bersifat memaksa). Contoh: "Sebab yang halal.";
(2) Unsur naturalia, unsur yang tidak mutlak ada (ditetapkan dalam UU yang bersifat
mengatur; boleh disimpangi atas kesepakatan para pihak). Contoh: Menyimpang
dari PasaI 1491. KUH Perdata, biaya pengiriman ditanggung oleh pembeli (bukan
penjual); dan (3) Unsur aksidentalia,
unsur yang tidak ditetapkan oleh UU; boleh ditambahkan atas kesepakatan para
pihak. Contoh: Jual beli rumah mencakup AC yang sudah terpasang.
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang merupakan tiangnya
hukum perdata berkaitan dengan penjabaran dari asas kebebasan berkontrak,
yaitu: bebas membuat jenis perjanjian apapun; bebas mengatur isinya; bebas
mengatur bentuknya. Kesemuanya
dengan persyaratan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan,
dan ketertiban umum. Timbul pertanyaan apakah perjanjian baku memenuhi asas
konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak seperti yang tertuang daiam Pasal
1320 dan 1338 ayat (1) KUH Perdata.
E.
Hak
dan Kewajiban Para Pihak
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen mengemukakan, Hak konsumen adalah:
(a) hak atas
kenyamanan keamanan dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
(b) hak untuk
memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
(c) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa.
(d). hak untuk
didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan.
(e) hak untuk
mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
(f) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
(g). hak untuk
diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
(h) hak untuk
mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.
(i) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam
penjelasan Pasal 4 Huruf g dikatakan, Hak untuk diperlukan atau diIayani secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya,
daerah, pendidikannya, miskin dan status sosial lainnya.
Pasal 5 uu Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen mengemukakan Kewajiban konsumen adalah:
(a) membaca atau
mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang
dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
(b) beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
(c) membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
(d) mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Adapun hak dan kewajiban pelaku
usaha berdasarkan Pasal 6 UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menentukan, Hak pelaku usaha adalah:
(a) hak untuk
menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai
tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
(b hak untuk
mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
(c) hak untuk
melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen.
(d) hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti
secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan.
(e) Hak-hak yang
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyatakan, Kewajiban pelaku usaha adalah:
(a) beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
(b) memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
(c) memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
(d) menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
(e) memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan atau yang diperdagangkan.
(f) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian atas kerugian akibat Penggunaan pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
(g) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
F.
Wanprestasi dan Fource Majeure
Suatu
perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi
prestasinya masing-masing
seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Akan tetapi
adakalanya perjanjian tersebut tidak
terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah
satu pihak atau debitur. Perkataan
wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun
yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan
kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti
yang telah ditentukan dalam perjanjian. dan bukan dalam keadaan memaksa.
Adapun
bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:
(1) Tidak
memenuhi prestasi sama sekali; Sehubungan dengan debitur yang tidak memenuhi
prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
(2) Memenuhi
prestasi tetapi tidak tepat waktunya; Apabila
prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggapmemenuhi
prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
(3) Memenuhi
prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Debitur
yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak
dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi
sama sekali.
Adapun
menurut Rusli Hardijan, (1996:
57) bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:
(1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan
dilakukan.
(2) Melaksanakan
apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya.
(3) Melakukan
apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
(4) Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu
perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak
dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan
melakukan prestasi yang diperjanjikan.
Dalam hal
bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu,
akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu: (a) sejak
pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian;
(b) Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang diperbolehkan dalam perjanjian; dan
(c) memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap
melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya
maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat
peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan
kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.
Ada dua kriteria perbuatan melawan hukum yang
merupakan akibat perbuatan manusia, yakni perbuatan manusia yang sesuai dengan
hukum (rechtmagitg, lawfull) atau
yang tidak sesuai dengan hukum (onrechtmatig,
unlawfull). Dari 2 kriteria tersebut, kita akan mendapatkan apakah bentuk
perbuatan melawan hukum tersebut berupa pelanggaran pidana (factum delictum), kesalahan perdata (law of tort) atau betindih sekaligus delik pidana dengan kesalahan
perdata. Dalam hal terdapat kedua kesalahan (delik pidana sekaligus kesalahan
perdata) maka sekaligus pula dapat dituntut hukuman pidana dan pertanggung jawaban
perdata (civil liability).
a. Timbulnya hak
menuntut
Pada
wanprestasi diperlukan lebih dahulu suatu proses, seperti Pernyataan lalai (inmorastelling, negligent of expression,
inter pellatio, ingeberkestelling). Hal ini sebagaimana dimaksud pasal 1243
KUH Perdata yang menyatakan “Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu,
untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”atau jika ternyata
dalam perjanjian tersebut terdapat klausul yang mengatakan debitur langsung
dianggap lalai tanpa memerlukan somasi
(summon) atau peringatan. Hal ini diperkuat yurisprudensi Mahkamah Agung
No. 186 K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959 yang menyatakan: “apabila perjanjian secara tegas menentukan kapan pemenuhan
perjanjian, menurut hukum, debitur belum dapat dikatakan alpa memenuhi
kewajiban sebelum hal itu dinyatakan kepadanya secara tertulis oleh pihak
kreditur”.
Dalam perbuatan
melawan hukum, hak menuntut dapat dilakukan tanpa diperlukan somasi. Sekali
timbul perbuatan melawan hukum, saat itu juga pihak yang dirugikan langsung
dapat menuntutnya (action, claim,
rechtvordering).
b. Tuntutan ganti rugi (compensation, indemnification)
b. Tuntutan ganti rugi (compensation, indemnification)
Pada
wanprestasi, perhitungan ganti rugi dihitung sejak saat terjadi kelalaian. Hal
ini sebagaimana diatur Pasal 1237 KUH Perdata, “Pada suatu perikatan untuk
memberikan barang tertentu, barang itu menjadi tanggungan kreditur sejak
perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang bersangkutan,
maka barang itu, semenjak perikatan dilakukan, menjadi tanggungannya”.
Pasal 1246 KUH
Perdata menyatakan, “biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur,
terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat
diperolehnya”. Berdasarkan pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dalam wanprestasi, penghitungan
ganti rugi harus dapat diatur berdasarkan jenis dan jumlahnya secara rinci
seperti kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian
tesebut dipenuhi dan ganti rugi bunga (interst).
Dengan demikian
kiranya dapat dipahami bahwa ganti rugi dalam wanprestasi (injury damage) yang dapat dituntut haruslah terinci dan jelas.
Sementara, dalam perbuatan melawan hukum, tuntutan ganti rugi sesuai dengan
ketentuan pasal 1265 KUH Perdata, tidak perlu menyebut ganti rugi bagaimana
bentuknya, tidak perlu perincian. Dengan demikian, tuntutan ganti rugi
didasarkan pada hitungan objektif dan konkrit yang meliputi materiil dan moril.
Dapat juga diperhitungkan jumlah ganti rugi berupa pemulihan kepada keadaan
semula (restoration to original condition,
herstel in de oorpronkelijke toestand, herstel in de vorige toestand).
Meskipun tuntutan ganti rugi tidak
diperlukan secara terinci, beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung membatasi
tuntutan besaran nilai dan jumlah ganti rugi, seperti: Putusan Mahkamah Agung
No. 196
K/ Sip/ 1974 tanggal 7 Oktober 1976, menyatakan “besarnya jumlah ganti rugi
perbuatan melawan hukum, diperpegangi prinsip Pasal 1372 KUHPerdata yakni
didasarkan pada penilaian kedudukan sosial ekonomi kedua belah pihak”. Putusan Mahkamah
Agung No. 1226 K/Sip/ 1977 tanggal 13 April 1978, menyatakan, “soal besarnya
ganti rugi pada hakekatnya lebih merupakan soal kelayakan dan kepatutan yang
tidak dapat didekati dengan suatu ukuran”.
G.
Penyalagunaan
Keadaan
Penyalahgunaan keadaan adalah menguraikan penerapan
lembaga ini dalam sengketa transaksi konsumen yang akan direkomendasikan untuk
diterima menjadi salah satu prinsip penting dalam hukum positif Indonesia. Perjanjian
merupakan salah satu sumber perikatan, yang dapat dikatakan sebagai sumber
formal hukum yang utama dalam transaksi konsumen. Salah satu isu pokok dalam
transaksi konsumen, misalnya terkait dengan keberadaan perjanjian standar
(baku), yang
oleh banyak pihak dinilai menggerogoti hak kebebasan berkontrak dari pihak konsumen.
Pasal
1321 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan tiga alasan untuk melakukan
pembatalan perjanjian, yakni (1) kekhilafan atau kesesatan (dwaling), (2) paksaan (dwang),
dan (3) penipuan (bedrog). Tiga
alasan warisan hukum kolonial Belanda itu tetap berlaku sampai sekarang, sekalipun
di Negeri Belanda terjadi satu perkembangan yang sangat berarti, khususnya
dipandang dari sudut hukum perlindungan konsumen. Kemajuan dimaksud adalah
dimasukkannya alasan keempat, yaitu penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden). Keempat alasan itu dicantumkan dalam
Buku III Pasal 44 ayat (1) Kitab undang-undang Hukum Perdata Belanda yang baru.
Melengkapi pandangan Dunne, J. Satrio menambahkan lagi
enam faktor yang dapat dianggap sebagai ciri dari penyalahgunaan keadaan, sebagai
berikut:
(1) pada waktu menutup perjanjian, salah satu pihak
ada dalam keadaan terjepit.
(2) karena
keadaan ekonomis, kesulitan keuangan yang mendesak.
(3) karena hubungan atasan-bawahan; keunggulan ekonomis pada salah satu
pihak; hubungan majikan-buruh; orang tua/wali-anak belum dewasa.
(4) karena
keadaan, seperti pasien membutuhkan pertolongan dokter ahli.
(5) perjanjian
itu mengandung hubungan yang timpang dalam kewajiban timbal balik antara para pihak (prestasi yang tak seimbang);
pembebasan majikan dari risiko dan menggesernya menjadi tanggungan si buruh.
(6) kerugian
yang sangat besar dari salah satu
pihak. Faktor kerugian di sini tidak harus berwujud kerugian materiil, tetapi
dapat meliputi kerugian "subjektif' (immaterial),
seperti segala sesuatu yang menyebabkan orang pada posisi tidak menguntungkan.
Jelas sekali,
"penyalahgunaan keadaan" ini sangat relevan untuk disinggung dalam
kaitannya dengan persengketaan transaksi konsumen. Keunggulan ekonomis dan
psikologis dari si pelaku usaha sering sangat dominan sehingga mempengaruhi
konsumen untuk memutuskan kehendaknya secara rasional. sebagai contoh, konsumen
perumahan sering terdesak untuk menyetujui suatu perjanjian kredit dengan bank
berdasarkan sistem bunga fluktuatif yang sangat tidak menguntungkan, karena ia
sudah sangat membutuhkan rumah tinggal yang layak dan Pemerintah tidak
menyediakan fasilitas perbankan yang lebih ringan daripada itu.
Pasal 15 UUPK bahkan secara tegas
mengatakan, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang
melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan
baik fisik maupun psikis terhadap konsumen. Selanjutnya dalam hubungannya
dengan perjanjian standar, Pasal 18 UUPK meletakkan hak-hak yang setara antara
konsumen dan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. pelanggaran
terhadap kedua pasal di atas merupakan tindak pidana menurut ketentuan pasal 62
UUPK, dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda
paling banyak dua miliar rupiah.
H.
Dasar
Hukum Pegadaian
Perusahaan Umum Pegadaian adalah
satu-satunya badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk
melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran
dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai seperti dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal
1150 di atas.
Tugas Pokoknya adalah memberi pinjaman kepada masyarakat
atas dasar hukum gadai agar masyarakat tidak dirugikan oleh kegiatan lembaga
keuangan informal yang cenderung memanfaatkan kebutuhan dana mendesak dari
masyarakat.Hal ini didasari pada fakta yang terjadi di lapangan bahwa terdapat
lembaga keuangan yang seperti lintah darat dan pengijon yang dengan
melambungkan tingkat suku bunga setinggi-tingginya.
a. Pimpinan
Kegiatan usaha Perum Pegadaian dipimpin
sebuah dewan direksi yang terdiri dari seorang direktur utama dan beberapa direktur. Masa jabatan
dari masing-masing anggota dewan direksi adalah 5 (lima) tahun, dan setelah
masa jabatan tersebut berakhir yang bersangkutan dapat diangkat kembali. Di
samping dewan direksi yang bertugas menjalankan dan mengelola kegiatan usaha,
Perum pegadaian juga mempunyai sebuah dewan pengawas yang fungsi utamanya
adalah untuk mengawasi pelaksanaan kegiatan usaha Perum Pegadaian agar selalu
sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan dapat merealisasikan misinya untuk
membantu masyarakat dalam bidang pendanaan atas dasar hukum gadai. b. Kegiatan Usaha
Penggunaan Dana. Dana yang berhasil dihimpun kemudian
digunakan untuk mendanai kegiatan usaha Perum Pegadaian. Dana tersebut antara lain digunakan
untuk hal-hal berikut: (1) Uang kas dan
dana likuid lain. Perum pegadaian memerlukan dana likuid untuk berbagi
kebutuhan seperti: kewajiban yang jatuh tempo, penyaluran dana dalam bentuk
pembiayaan atas dasar hokum gadai, biaya operasional yang harus segera
dikeluarkan, pembayaran pajak, dan lain-lain; (2) Pembelian dan pengadaan
berbagai bentuk aktiva tetap dan inventaris. Aktiva tetap berupa tanah dan
bangunan serta inventaris ini tidak secara langsung dapat menghasilkan
penerimaan bagi perum pegadaian namun sangat penting agar kegiatan usahanya
dapat dijalankan dengan baik. Aktiva tetap dan peralatan ini antara lain adalah
berupa tanah, kantor atau bangunan, computer, kendaraan, meubel, brankas, dan
lain-lain; (3) Pendanaan kegiatan operasional. Kegiatan operasional Perum
Pegadaian memerlukan dana yang tidak kecil. Proses pinjaman atas dasar hukum
gadai.
c. Penaksiran
Pinjaman atas dasar hukum gadai mensyaratkan penyerahan
barang bergerak sebagai jaminan pada loket yang telah ditentukan pada kantor pegadaian setempat.
Mengingat besarnya jumlah pinjaman sangat tergantung pada nilai barang yang
akan digadaikan, maka barang yang diterima dari calon peminjam terlebih dahulu
harus ditaksir nilainya oleh petugas penaksir. Petugas penaksir adalah
orang-orang yang sudah mendapatkan pelatihan khusus dan berpengalaman dalam
melakukan penaksiran barang-barang yang akan digadaikan. Pedoman dasar
penaksiran telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian agar penaksiran atas suatu
barang bergerak dapat sesuai dengan nilai sebenarnya. Petugas penaksir
menentukan nilai taksir.
Nilai taksiran terhadap suatu objek barang yang akan
digadaikan tidak ditentukan sebesar harga pasar, melainkan setelah dikalikan
dengan presentase tertentu. Sebagai contoh, emas yang menurut harga pasar
adalah senilai Rp 100.000, nilai taksirannya tidak sebesar Rp 100.000. Nilai
taksiran emas tersebut adalah sebesar Rp 88.000. angka pengali sebesar 88%
ditentukan oleh Perum Pegadaian, dan angka ini bukanlah angka baku yang tetap
sepanjang masa, dengan kata lain angka ini bisa mengalami perubahan. Perum
pegadaian sudah menetapkan pengali untuk berlian adalah 45%, angka pengali
untuk tekstil adalah 83%, dan seterusnya. Nilai taksiran inilah yang dijadikan
acuan untuk menentukan besarnya pinjaman yang akan diberikan kepada nasabah.
d. Pemberian Pinjaman
Nilai taksiran atas barang
yang akan digadaikan tidak sama dengan besarnya pinjaman yang diberikan.
Setelah itu ditentukan, maka petugas menentukan jumlah uang pinjaman yang dapat
diberikan. Penentuan jumlah uang pinjaman ini juga berdasarkan persentase
tertentu terhadap nilai taksiran, dan presentase ini juga telah ditentukan oleh
Perum Pegadaian berdasarkan golongan yang besarnya berkisar antara 80-90%.
Istilah
gadai berasal dari terjemahan dari kata pand (bahasa Belanda) atau pledhe
atau pawn (bahasa Inggris). Gadai ini diatur dalam Buku III Titel 19
Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUH Perdata. Menurut Pasal 1150 KUH Perdata
pengertian dari gadai adalah :
Suatu hak yang diperoleh seorang kreditor atas suatu barang bergerak yang bertubuh
maupun tidak bertubuh yang diberikan kepadanya oleh debitor atau orang lain
atas namanya untuk menjamin suatu hutang, dan yang memberikan kewenangan kepada
kreditor untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu daripada
kreditor-kreditor lainnya terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang tersebut
dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biaya - biaya mana
harus didahulukan.
Menurut
Janus, Sidabolok, (2000: 77) subjek gadai terdiri atas dua pihak, yaitu pemberi
gadai (pandgever) dan penerima gadai (pandnemer). Pemberi gadai (pandgever)
yaitu orang atau badan hukum yang memberikan jaminan dalam bentuk benda
bergerak selaku gadai kepada penerima gadai untuk pinjaman uang yang diberikan
kepadanya atau pihak ketiga. Unsur -unsur pemberi gadai yaitu: (a). Orang atau
badan hukum; (b). Memberikan jaminan berupa benda bergerak; (c). Kepada
penerima gadai; dan (d). Adanya pinjaman uang.
Objek
gadai adalah benda bergerak. Benda bergerak ini dibagi atas dua jenis, yaitu: (1) benda bergerak berwujud; dan (2) benda tidak berwujud. Benda bergerak
berwujud adalah benda yang dapat berpindah atau dipindahkan. Yang termasuk
dalam benda berwujud, seperti emas, arloji, sepeda motor, dan lain-lain. Adapun
benda bergerak yang tidak berwujud seperti, piutang atas bawah, piutang atas
tunjuk, hak memungut hasil atas benda dan atas piutang (Salim HS, 2008: 37).
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Lokasi
Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Sidrap dengan lokasii penelitian pada Perum
Pegadaian Cabang Sidrap Kabupaten Sidrap yang
berlangsung selama kurang lebih satu
bulan, yaitu bulan Marer 2015.
B.
Jenis
dan Sumber Data
Jenis penelitian yang digunakan
penulis adalah jenis penelitian yang bersifat Normatif
1.
Data Primer.
Data ini diperoleh dengan cara
mengumpulkan sejumlah keterangan atau fakta melalui wawancara terarah dan
sistematis dengan pihak yang dipandang mengetahui serta memahami tentang objek
yang diteliti yaitu yang diperoleh dari lokasi penelitian di Kantor Perum
Pegadaian Cabang Sidrap Kabupaten Sidrap .
2.
Data Sekunder.
Merupakan
keterangan atau fakta yang diperoleh tidak secara langsung, tapi diperoleh
melalui studi pustaka, literatur,
peraturan perundang-undangan, karya ilmiah dan sumber tertulis lainnya yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti oleh penulis.
C.
Teknik
Pengumpulan Data
1.
Penelitian Kepustakaan (library research)
Metode ini merupakan alat
pengumpulan data yang dilakukan melalui tertulis melalui literatur dan
peraturan perundang-undangan, serta buku-buku yang ada kaitannya secara
langsung maupun tidak langsung dengan objek yang diteliti. Cara ini dimaksudkan
untuk mencapai konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat atau temuan yang
berhubungan erat dengan pokok permasalahan.
2.
Penelitian Lapangan (field research)
Penelitian lapangan
dilakukan dengan cara wawancara (interview)
yaitu merupakan kegiatan untuk mengumpulkan data dengan tujuan tertentu dengan
melakukan percakapan atau wawancara langsung berupa tanya jawab antara peneliti
dengan subjek peneliti untuk memperoleh berbagai keterangan atau jawaban yang
akan dibenarkan dalam penelitian. Adapun subjek penelitian yang dimaksudkan
yaitu: Kepala cabang 1 orang; staf perum pegadaian 2 orang; dan nasabah 2
orang.
D.
Analisa
Data
Data yang diperoleh baik dari studi
lapangan maupun studi
kepustakaan diteliti dengan metode analisis kualitatif yaitu data yang
diperoleh akan didiskripsikan
sesuai keadaan yang sebenarnya, apa yang dikatakan responden baik secara lisan
maupun tulisan, yang akan diteliti
dan dipelajari sebagai satu kesatuan yang utuh, untuk kemudian dilakukan
analisis guna menjawab permasalahan yang diajukan dan mencari jalan keluar yang
diharapkan hingga akhirnya akan di dapat suatu skripsi yang ilmiah.
BAB IV
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Sejarah Singkat Perum Pegadaian
Sejarah
Pegadaian di Indonesia berawal dari berdirinya Bank Van Leening di zaman VOC
yang bertugas memberikan pinjaman uang tunai kepada masyarakat dengan harta
gerak dengan jaminan sistem gadai sehingga bank ini pada hakikatnya telah
memberikan jasa pegadaian. Pada saat Inggris mengambil alih pemerintah
(1811-1816) Bank Van Leening milik pemerintah di bubarkan dan masyarakat di
beri keleluasaaan untuk mendirikan usaha pegadaian dengan mendapat persetujuan
dari pemerintah setempat.
Pada awal abad 20-an pemerintah Hindia-Belanda
berusaha mengambil alih usaha pegadaian dan memonopolinya dengan cara
mengeluarkan staatsblad No.131 tahun 1901. Maka pada tanggal 1 April1901
berdirilah Kantor Pegadaian yang berarti Lembaga Resmi Pemerintah. Di zaman
kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia mengambil usaha Dinas Pegadaian dan
mengubah status pegadaian menjadi Perusahaan Negara (PN) Pegadaian pada tahun
1961 No. 178. Dalam perkembangannya, pada tahun 1969 keluarlah Undang-Undang
Republik Indonesia N0. 9 tahun 1969 yang mengatur bentuk-bentuk usaha Negara
menjadi tiga bentuk perusahaan yaitu Perusahaan Jawatan (PERJAN), Perusahaan
Umum (PERUM) dan Perusahaan Perseroan (PERSERO).
Pemerintah Nomor. 7 tanggal 11 Maret
1969 Perusahaan Negara (PN) Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Jawatan
(PERJAN). Kemudian pemerintah meningkatkan status pegadaian dari Perusahaan
Jawatan (PERJAN) menjadi Perusahaan Umum (PERUM) yang di tuangkan dalam
Peraturan Pemerintah N0. 10 April 1990.
Visi Pegadaian
MODERN,
dilihat dari kondisi fisik, sarana dan prasarana, serta sistem kerja
sebagaimana halnya sebuah perkantoran modern. Modern juga dalam arti mampu
menghasilkan produk atau jasa yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern
atau mampu memberi solusi bagi masalah ekonomi masyarakat yang hidup di zaman
modern ini.
DINAMIS,
dicerminkan dari sikap dan perilaku seluruh pegawai dalam hal kecepatan
pelayanan dan kemampuan menyesuaikan diri dengan perubahan yang tertumpu pada peningkatan keterampilan, sikap
yang lebih komunikatif, efisien dan integritas tinggi. Dinamis juga berarti
harus semakin mampu merespon dengan cepat kebutuhan konsumen baik internal
maupun eksternal.
INOVATIF,
tercermin dari kemampuan perusahaan dalam menyempurnakan produk-produk baru
yang menguntungkan. Selain dari itu, sistem dari prosedur harus selalu di
perbaiki dan di sempurnakan. Oleh karena itu di masa depan Pegadaian di
harapkan mampu tumbuh dan berkembang menjadi perusahaan yang solid.
Misi Pegadaian
1. Membina perekonomian rakyat kecil dengan
menyalurkan kredit atas dasar hukum gadai kepada : a. Para petani, nelayan, pedagang kecil,
industri kecil yang bersifat produktif ; b. Kaum buruh atau pegawai negeri yang
ekonominya lemah yang bersifat konsumtif.
2. Ikut serta mencegah adanya pemberian
pinjaman yang tidak wajar, ijon, pegadaian gelap dan praktek riba lainnya.
3. Disamping
menyalurkan kredit, maupun usaha-usaha lainnya yang bermanfaat terutama bagi
pemerintahan dan masyarakat.
4.
Membina pola perkreditan supaya benar-benar terarah dan bermanfaat terutama
mengenai kredit yang sifatrnya produktif dan bila perlu memperluas daerah
operasinya.
Mengelola penyaluran uang pinjaman atas
dasar hukum gadai dengan cara mudah, cepat, aman dan hemat; (1) Menciptakan dan
mengembangkan usaha-usaha lain yang menguntungkan bagi pegadaian maupun
masyarakat.; (2) Mengelola keuangan, perlengkapan, kepegawaian, pendidikan dan
pelatihan; (3). Mengelola organisasi,
tata kerja dan tata laksana pegadaian; (4). Melakukan penelitian dan pengembangan serta
mengawasi pengelolaan pegadaian.
No
|
Tahun
|
Jumlah
Debitur ganda
|
Jumlah pinjaman
|
Keterangan
|
|
1
|
2012
|
54.812.805
|
1,119,088,300
|
4.473.135
|
|
2
|
2013
|
71.268.590
|
972,853,000
|
7.822.599
|
|
3
|
2014
|
92.452.700
|
729,687,700
|
11.401.620
|
Perjanjijan kredit dengan jaminan barang bergerak
menurut Undang-undang Perlindungan konsumen, bahwa:
(1) Pihak pertama adalah kuasa pemutus kredit yang bertindak untuk dan atas
nama PERUM Pegadaian.
(2) Pihak Kedua adalah nasabah yang namanya tercantum dalam surat bukti
kredit (SBK).
(3) Pihak Pertama memberikan pinjaman kepada pihak kedua dengan jaminan
barang bergerak. Pihak kedua menerima dan mengakui penetapan nilai taksiran
barang jaminan, uang pinjaman dan jangka waktu kredit sebagaimana dimaksud pada
halaman depan Surat bukti Kredit ini.
(4) Pihak kedua menyatakan bahwa barang jaminan yang
diserahkan sebagai barang jaminan adalah milik sendiri atau milik orang lain yang
dikuasakan kepada pihak kedua untuk digadaikan. Pihak
kedua menyatakan kebenaran keterangan barang jaminan yang tercantum pada Surat
Bukti Kredit ini.
(5) Pihak
kedua menyatakan bahwa barang jaminan yang diserahkan sebagi barang jaminan
bukan dari hasil kejahatan dan atau tidak sedang dalam perkara dengan pihak lain.
(6) pihak
kedua menyatakan berhutang dan berkewajiban untuk membayar pelunasan uang
pinjaman dan sewa modal sebesar tarif yang berlaku dipihak pertama.
(7) Pihak
kedua dapat melakukan perpanjangan kredit, mengansur uang pinjaman atau menambah uang pinjaman selama nilai
taksiran masih memenuhi syarat dengan memperhitungkan sewa modal yang akan
masih dibayar. Jika terdapat penurunan nilai taksiran barang jaminan pada saat
perpanjangan kredit, maka pihak kedua wajib mengansur uang pinjaman sesuai
dengan taksiran yang baru.
(8)
Apabila terdapat perubahan uang
pinjaman karena transaksi mengansur atau menambah uang pinjaman akan dicatat
pada nota transaksi dalam lembar tersendiri. Nota transaksi tersebut merupakan
addendum yang menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan perjanjian
ini. Apabila terdapat perbedaan data yang dijadikan acuan adalah yang
tervalidasi dipihak pertama.
(9)
Pihak pertama akan memberikan ganti rugi apabila barang
jaminan mengalami kerusakan atau hilang yang tidak disebabkan oleh suatu bencana
alam yang ditetapkan pemerintah. Ganti rugi diberikan sebesar nilai barang pada
saat terjadi hilang atau rusaknya barang jaminan setelah diperhitungkan dengan
kewajiban pihak kedua, sesuai ketentuan yang berlaku dipihak pertama.
(10)
Jika sampai dengan jatuh tempo pihak kedua tidak melunasi
atau memperpanjang kredit, maka pihak
pertama berhak melakukan penjualan barang jaminan secara lelang. Tanggal jatuh tempo dan
tanggal lelang tercantum dalam nota transaksi.
(11)
Hasil penjualan lelang setelah dikurangi uang pinjaman,
sewa modal dan biaya lelang merupakan uang kelebihan yang menjadi hak pihak
kedua. Jangka waktu pengambilan uang kelebihan sampai dengan satu tahun sejak
tanggal lelang.
(12)
Jika penjualan barang jaminan pada saat lelang tidak
cukup untuk menutupi kewajiban untuk pihak kedua, maka pihak kedua wajib membayar
kekurangan kewajiban tersebut.
(13)
Perpanjangan
kredit dapat dilakukan sampai dengan jatuh tempo. Priode perhitungan sewa modal
berikutnya dimulai sejak tanggal perpanjangan kredit. Jika terjadi perubahan
uang pinjaman , maka perhitungan sewa modal berdasarkan pada nilai uang
pinjaman yang baru.
(14)
Terhadap barang jaminan telah dilunasi harus segera
diambil oleh pihak kedua paling lambat sepuluh hari sejak tanggal transaksi
pelunasan. Pihak kedua menyetujui membayar jasa penitipan barang jaminan jika
sampai dengan batas waktu tersebut barang jaminan belum diambil, besarnya tarif
jasa penitipan sesuai ketentuan yang berlaku dipegadaian.
(15)
Pengambilan barang jaminan hanya dapat dilakukan oleh pihak kedua dengan menyerahkan
Surat Bukti kredit dan menunjukkan tanda identitas diri yang masih berlaku.
Pihak kedua dapat mengalihkan hak untuk mengambil barang jaminan yang telah
dilunasi kepada orang lain dengan mengisi dan membubuhkan tanda tangan pada
kolom pengalihan hak yang tersedia, dengan melampirkan foto copy KTP pihak
kedua yang menerima kuasa. Jika SBK hilang maka pihak kedua wajib melaporkan
kepada pihak pertama disertai dengan keterangan dari kepolisian.
(16)
Pihak kedua menyatakan sepakat dan mengikuti segala
peraturan dan ketentuan yang berlaku dipihak pertama.
(17)
Apabila terjadi perselisihan antara pihak pertama dan
pihak kedua akan diselesikan secara musyawarah untuk mufakat dan apabila tidak
dapat tercapai kesepakatan maka akan diselesaikan melalui pengadilan negeri
setempat.
(18)
Perjanjian ini berlaku dan mengikat para pihak sejak SBK
ini ditandatangani oleh kedua belah pihak pada kolom yang tersedia dihalaman
depan.
B.
Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Nasabah
Perum Pegadaian merupakan
salah satu lembaga pemerintah yang bergerak di bidang jasa penyaluran pinjaman
kepada masyarakat atas dasar hukum gadai, dengan jaminan barang bergerak.
Pegadaian sebagai lembaga jasa keuangan (kredit) yang merupakan kegiatan perekonomian,
hal ini tertuang dalam PP No. 10 tahun 1990, yang mengatur tentang perubahan
bentuk perusahaan dari Perusahaan Jawatan (PERJAN), menjadi Perusahaan Umum
(PERUM) Pegadaian. Dengan perubahan status hukum dan dengan motto
“Mengatasi Masalah Tanpa Masalah”.
Peranan Perum Pegadaian
turut melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijakan dan program pemerintah
dibidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang
pinjaman atas dasar hukum gadai. Kredit yang diberikan Perum Pegadaian relatif
kecil, sehingga masyarakat tidak merasa keberatan untuk mengembalikan pinjaman
tersebut apabila tiba hari jatuh tempo, dan ini merupakan bukti sosial bahwa
Perum Pegadaian sebagai lembaga kredit yang dapat membantu kebutuhan masyarakat.
Berdasarkan hasil wawancara dengan
(Defri Zamzani, wawancara: tanggal 20 Maret 2015), Kepala Cabang Perum
Pegadaian Cabang Sidrap, mengenai pemberitahuan kepada nasabah mengenai
terjadinya lelang terhadap barang jaminan, mengatakan bahwa:
Pihak
Perum Pegadaian Cabang Sidrap melakukan pemberitahuan kepada nasabah dengan
cara: Nasabah kredit diberitahu melalui surat Pemberitahuan lelang dapat
dilakukan oleh Pegadaian dengan cara melalui surat pemberitahuan pelaksanaan
lelang terhadap barang jaminan milik nasabah yang kreditnya akan jatuh tempo. Surat
pemberitahuan ini dilakukan oleh Perum Pegadaian terhadap semua nasabah
yang kreditnya akan jatuh tempo, baik kredit golongan A, B, C, D, jadi
tidak ada pembedaan perlakuan karena selama ini masih ada pembedaan.
Untuk nasabah kredit golongan C, D biasanya diberitahu
melalui surat, sedangkan untuk nasabah kredit golongan A, B nasabah kredit
didatangi langsung oleh Petugas Pegadaian Untuk kredit dengan jumlah antara\
Rp. 5.000.000 s/d Rp. 50.000.000, pemberitahuan bisa dilakukan petugas Perum
Pegadaian secara langsung mendatangi nasabah kredit tersebut.
Biasanya kredit dengan jumlah yang besar
jumlahnya tidak begitu banyak, sehingga sangat dimungkinkan didatangi petugas Pegadaian
untuk menjelaskan akan adanya pelaksanaan lelang atas barang jaminan kredit
nasabah. Diumumkan secara langsung dikantor Pegadaian Pemberitahuan akan adanya
pelaksanaan lelang atas barang jaminan dilakukan dengan memberi informasi secara
langsung kepada nasabah di kantor Pegadaian oleh petugas Pegadaian. Bagi
nasabah diingatkan untuk melihat bukti kreditnya, kapan jatuh temponya, Dengan
tujuan agar nasabah segera melunasi kreditnya.
Pengumuman melalui papan pengumuman, Pemberitahuan akan
adanya pelaksanaan lelang atas barang jaminan dilakukan dengan memberikan
informasi kepada nasabah melalui papan pengumuman yang ada di kantor Pegadaian,
informasi tersebut harus secara jelas, waktu
pelaksanaan lelang, tempat pelaksanaan lelang dan lelang barang jaminan untuk
kredit yang jatuh tempo sampai dengan kapan (tanggal, bulan, tahun)
Melalui computer klik Pegadaian
Untuk lebih meningkatkan pelayanan terhadap nasabah, perlu juga ditingkatkan
informasi mengenai pelelangan, jatuh tempo kredit nasabah dan layanan lain Pegadaian
melalui seperangkat computer. Computer diletakkan di ruang tunggu nasabah,
sehingga dapat digunakan oleh nasabah yang ingin mengetahui tentang lelang,
tanggal jatuh tempo kredit, layanan pegadaian dan informasi lainnya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan
(Fahrun, wawancara 20 Maret 2015) salah salah staf Perum
Pegadaian Cabang Sidrap terkait dengan proses pelayanan kebutuhan nasabah
sebagai hak konsumen yang harus dilayani dengan baik yang mengatakan bahwa:
Dalam hal ini nasabah
diberi kesempatan untuk mengajukan permohonan atau permintaan kredit atau
pelelangan terhadap barang yang akan dilelang oleh Perum Pegadaian Cabang
Pangkajene, dengan cara mengisi format
tentang permintaan kredit atau format tentang pelelangan barang.
Selanjutnya diserahkan kepada petugas atau staf yang menangani hak tersebut
untuk ditindak lanjuti. Dengan demikian nasabah dapat ikut terlibat dalam
proses pelayanan tersebut.
Nasabah dapat menggunakan sendiri
ataupun dengan bantuan petugas yang khusus untuk itu Misalnya computer tersebut
diberi nama Klik Pegadaian. Apabila informasi mengenai lelang tersebut sudah
diketahui langsung oleh nasabah, diharapkan nasabah akan melunasi pinjamannya.
Diumumkan melalui radio terdekat, Selama ini pengumuman lelang melalui radio
terdekat, biasanya RRI merupakan radio pilihan untuk mengumumkan akan adanya
lelang barang jaminan milik nasabah yang kreditnya akan jatuh tempo dan yang sudah
tidak ditebus.
Berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Perum Pegadaian Cabang Sidrap
mengenai mekanisme pemberitahuan kepada nasabah apabila terjadi eksekusi lelang
tersebut juga sesuai dengan ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata. Cara pemberian
teguran terhadap debitur yang lalai tersebut telah diatur dalam dalam pasal
1238 KUH Perdata yang menentukan bahwa teguran itu harus dengan surat perintah
atau dengan akta sejenis. Yang dimaksud dengan surat perintah dalam pasal
tersebut adalah peringatan resmi dari juru sita pengadilan, sedangkan yang
dimaksud dengan akta sejenis adalah suatu tulisan biasa (bukan resmi), surat
maupun telegram yang tujuannya sama yakni untuk memberi peringatan-peringatan
kepada debitur untuk memenuhi prestasi dalam waktu seketika atau dalam tempo
tertentu, sedangkan menurut Ramelan Subekti akta sejenis lazim ditafsirkan
sebagai suatu peringatan atau teguran yang boleh dilakukan secara lisan, asal
cukup tegas yang menyatakan desakan kreditur kepada debitur agar memenuhi
prestasinya seketika atau dalam waktu tertentu.
Berdasarkan hasil wawancara dengan
(Juwita, wawancara 20 Maret 2015) salah seorang pegawai Perum Pegadaian Cabang Sidrap
yang bertugas untuk mengeluarkan surat bukti jaminan kredit tentang perjanjian antara nasabah dengan
pihak perum pegadaian Cabang Sidrap yang mengatakan bahwa:
Perum
Pegadaian Cabang Sidrap senantiasa memberikan kesempatan kepada nasabah untuk
melakukan keberatan atas tindakan
pelelangan yang akan dilakukan oleh Perum Pegadaian, dengan cara mengajukan
keberatan melalui lembaga-lembaga hukum yang berkewenangan untuk itu. Dengan demikian maka hak-hak
nasabah dapat dijunjung tinggi oleh hukum untuk suatu keadilan.
Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa: “Si
berutang adalah, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta
sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini
menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan”. Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur
dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling).
Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah:
1. Surat perintah Surat perintah tersebut berasal dari
hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita
memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus
berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita”
2. Akta sejenis Akta ini dapat berupa akta
dibawah tangan maupun akta notaris. Tersimpul dalam perikatan itu sendiri
Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya
wanprestasi. Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur
yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk
mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan
maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.
Dalam keadaan tertentu somasi tidak
diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu
dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi
dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya
wanprestasi.
Berdasarkan bentuk perlindungan yang
diberikan oleh Perum Pegadaian tersebut di atas dapat peneliti jelaskan bahwa
perlindungan hukum dalam bidang kredit gadai merupakan faktor penting untuk
menciptakan kepastian hukum, manfaat, dan keadilan bagi para pihak dalam
perjanjian kredit gadai. Dalam tatanan perlindungan hukum debitur menghadapi
resiko yang lebih kecil dibandingkan dengan kreditur, namun sering terjadi
posisi hukum Debitur lebih lemah di dalam perjanjian kredit dan oleh karena itu.
Berdasarkan hasil wawancara dengan
Kepala Cabang Perum Pegadaian Sidrap (Defri Zamzani, wawancara 20 Maret 2015)
terkait dengan terjadi wanprestasi terhadap nasabah yang mengatakan bahwa:
Dalam
pemberian pelayanan kredit atau pinjaman terhadap nasabah yang bermohon dimana
pihak Perum Pegadaian Cabang Sidrap senantiasa memperhatikan hak dan kewajiban
setiap nasabah dengan menunjukkan beberapa aturan tertulis yang termuat dalam
lembaran surat perjajian kredit atau pinjaman yang dilengkapi dengan tanggal pembayaran
dan tanggal jatuh tempoh pembayaran kredit. Hal ini sangat menjadi perhatian
dari pihak Perum Pegadaian Cabang Sidrap untuk menghindari terjadinya wanprestasi
terhadap pemegang gadai.
Prestasi menurut hukum perdata
sebagaimana diatur dalam Pasal 1234 KUH Perdata adalah untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu. Wanprestasi
ini dalam hukum Perdata ada 3 jenis yaitu: 1) Tidak memenuhi prestasi sama
sekali, 2) terlambat memenuhi prestasi, 3) Memenuhi prestasi secara tidak baik. Dari ketiga poin tersebut diatas wanprestasi
yang sering terjadi terhadap pemegang gadai yaitu memenuhi prestasi secara
tidak baik. Dalam bab ini fokus pembahasan terhadap akibat hukum tindakan
wanprestasi yang dilakukan oleh Perum Pegadaian terhadap nasabah kaitannya
dengan perlindungan hukum bagi debitur karena akibat wanprestasi tersebut.
Dasar-dasar pikiran di atas
menggaris bawahi bahwa perlindungan hukum bagi debitur karena tindakan
wanprestasi yang dilakukan Perum Pegadaian, semestinya diperluas dan
dipertegas, dapat dilihat bahwa hampir semua point di atas sebagai kewajiban
pemegang gadai tidak pernah dilaksanakan.
Pengumuman
lelang di papan pengumuman pada Kantor Cabang Pegadaian, menurut penulis
bukanlah wujud tanggung jawab pemegang gadai
barangkali lebih merupakan penyempitan makna pemberitahuan, tindakan ini
sebenarnya dapat juga diklasifikasikan sebagai tindakan wanprestasi, namun
sangat sulit mengarahkan pada tindakan wanprestasi, karena memang perjanjian
kredit dengan jaminan barang bergerak telah dikondisikan demikian.
Tindakan
wanprestasi akan menyebabkan salah satu pihak mengalami kerugian, dalam
perjanjian gadai wanprestasi dapat dilakukan dilakukan oleh kreditur atau Perum
Pegadaian, tindakan wanprestasi ini dapat berupa rusaknya barang gadai,
pelaksanaan lelang tanpa memberitahukan debitur serta tidak adanya pengembalian
uang sisa hasil lelang setelah dikurangi pokok pinjaman beserta bunganya.
Menurut analisis penulis perjanjian
gadai itu sendiri merupakan perjanjian baku, yang intinya bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen khususnya Pasal
18 yaitu sebagai berikut: (1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau
jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan
klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. Menyatakan
pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. Menyatakan bahwa
pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang
dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. Menyatakan pemberian kuasa dari
konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk
melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
Berdasarkan hasil wawancara dengan (Wati
dan Lina, wawancara 20 Maret 2015) dua orang nasabah Perum Pegadaian Cabang Sidrap,
tentang wanprestasi terhadap nasabah sebagai penerima pinjaman atau kredit,
mengatakan bahwa:
Sebagai
nasabah yang mempunyai kepentingan dan kebutuhan yang sangat ,mendesak untuk
dipenuhi, maka secara praktis akan berhubungan dengan perum pegadaian untuk
memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga apapun bentuk perjanjian yang termuat
dalam lembaran surat pejanjian pinjaman atau kredit pasti nasabah akan mengikutinya
karena memang kehadiran perum pegadaian khususnya di Sidrap sangat berarti di
mata masyarakat yang secara cepat dapat memberikan harapan kepada nasabahnya.
Sejalan dengan penjelasan tersebut,.
maka tindakan wanprestasi terhadap benda jaminan gadai milik debitur dapat
berupa: 1) karena kelalaian karyawan Perum Pegadaian menyebabkan benda jaminan
tertukar, 2) karena kelalaian karyawan Perum Pegadaian menyebabkan benda
jaminan hilang, 3) karena kelalaian karyawan Perum Pegadaian menyebabkan benda
jaminan rusak.
Menyangkut ketiga aspek di atas, maka
perlu juga dikemukakan dasar dari kewajiban pemegang gadai yaitu : 1. Kewajiban
memberitahukan kepada pemberi gadai jika barang gadai dijual. 2. Kewajiban
memelihara benda gadai. 3. Kewajiban untuk memberitahukan perhitungan antara
hasil penjualan barang gadai dengan besarnya piutang kepada pemberi gadai. 4.
Kewajiban untuk mengembalikan barang gadai. Menurut Pasal 1159 Ayat (1) KUH
Perdata, kewajiban ini dilaksanakan karena: . Kreditur telah menyalahgunaan
barang gadai. Debitur telah melunasi
sepenuhnya, baik utang pokok, bunga dan biaya hutangnya serta biaya untuk
menyelamatkan barang gadai. 5. Kewajiban untuk memperhitungkan hasil penagihan
bunga piutang gadai dengan besarnya bunga piutang kepada debitur. 6. Kewajiban
untuk mengembalikan sisa hasil penagihan piutang gadai kepada pemberi gadai.
Dalam pembuktian atas hilangnya
kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
(1) Memberi hak
kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
(2) Menyatakan
tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan
dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
(3) Menyatakan
bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
C.
Upaya Hukum Yang Ditempuh Apabila Terjadi Wanprestasi
Berdasarkan hasil wawancara dengan (Defri Zamzani,
wawancara 20 Maret 2015), Kepala
Cabang Perum Pegadaian Sidrap, tentang upaya hukum yang ditempuh oleh nasabah
jika terjadi wanprestasi dari pemegang gadai, yang mengatakan bahwa:
Jika terjadi wanprestasi terhadap pemegang gadai, maka
ada beberapa jalan yang dapat ditempuh, adalah: (1) melalui musyawarah mufakat
adalah jalan paling awal yang ditawarkan dalam menyelesaian masalah; (2) melalui mediasi, seorang mediator berperan
sebagai penengah yang membantu para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang
dihadapinya; (3) melalui arbitrase atau
pengadilan, melalui arbitrase atau peradilan selama ini belum pernah terjadi,
hal tersebut dikarenakan penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase atau
peradilan tidak mudah dilaksanakan bagi nasabah kecil dan usaha mikro
dikarenakan memerlukan waktu dan biaya yang mahal.
1. Menyelesaikan Sengketa Melalui
Jalur Musyawarah Mufakat Penyelesaian sengketa melalui
jalur musyawarah mufakat ini merupakan jalur paling awal yang
dilalui oleh pihak yang bersengketa sebelum akhirnya masuk pada jalur
hukum atau pengadilan. Dengan adanya jalur ini, diharapkan para
pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan masalahnya dengan cara
yang baik-baik (musyawarah) sehingga sampai pada perdamaian (mufakat).
Berikut ini langkah-langkah dalam penyelesaian sengketa melalui
jalur musyawarah mufakat, yaitu:
a. Mengembalikan
pada butir-butir akad yang telah ada sebelumnya.
b. Para pihak yakni
nasabah dan Pegadaian kembali duduk bersama dan fokus kepada masalah yang
dipersengketakan.
c. Mengedepankan
musyawarah dan kekeluargaan, hal ini sangat dianjurkan untuk menyelesaikan
sengketa.
d. Tercapainya
perdamaian antara pihak yang bersengketa.
Berdasarkan langkah-langkah penyelesaian sengketa melalui jalur
musyawarah mufakat ini, maka sangat diharapkan terciptanya perdamaian antara
nasabah dan Pegadaian. Akan tetapi ketika melalui jalur ini persengketaan tidak
juga selesai, maka persengketaan ini dapat dilakukan melalui lembaga mediasi
untuk segera mendapatkan solusi yang baik. Bila jalur mediasi tidak juga
mendapatkan hasil, maka jalur paling akhir yang harus ditempuh adalah jalur Pengadilan.
2.
Melalui Mediasi Pengertian Mediasi secara
normatif tidak kita jumpai dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Oleh karena
itu pengertian mediasi di ambil dari pendapat ahli dan kamus.
Sementara dalam Black Law Dictionary mengenai mediasi ini
didefiniskan sebagai berikut: Mediation is privat, informal
dispute resolution process in which a neutral third person, the
mediator, helps disputing parties to reach an agreement.
The mediator has no power to impose a decission on the parties.
Jadi, mediasi adalah sebuah mekanisme penyelesaian sengketa yang
melibatkan pihak ketiga yang netral, dalam artian pihak ketiga dimaksud
(mediator) tidak memiliki kompetensi untuk membuat keputusan.
Mediator hanya diperkenankan memberikan tawaran
alternatif solusi dan para pihak sendiri
yang pada akhirnya memberikan putusannya. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa pada dasarnya seorang mediator berperan sebagai penengah yang membantu
para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapinya. Sebagai penengah di
sini di samping sebagai penyelenggara dan pemimpin diskusi, juga dapat membantu
para pihak untuk mendesain penyelesaian sengketanya, sehingga dapat
menghasilkan kesepakatan bersama. Untuk itu seorang mediator harus
memiliki kemampuan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang nantinya akan dipergunakan sebagai bahan untuk menyusun dan mengusulkan berbagai pilihan penyelesaian masalah yang
disengketakan.
3. Melalui Lembaga Arbitrase dan Atau Peradilan.
Berdasarkan
hasil penelitian yang peneliti lakukan upaya penyelesaian
sengketa antara nasabah dengan Perum Pegadaian melalui arbitrase dan atau peradilan selama ini belum pernah terjadi,
hal tersebut dikarenakan penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase atau
peradilan tidak mudah dilaksanakan bagi nasabah kecil dan usaha mikro
dikarenakan memerlukan waktu dan biaya yang mahal.
Sehingga
diupayakan penyelesaian yang sederhana, murah, dan cepat melalui lembaga
mediasi agar hak -hak nasabah dapat terpenuhi dengan baik. Berdasarkan hal
tersebut di atas, menunjukkan bahwa upaya hukum yang
dapat dilakukan oleh nasabah apabila terjadi wanprestasi dari pemegang gadai
adalah melalui musyawarah mufakat, melalui mediasi dan arbitrase dan atau peradilan.
Namun fakta yang terjadi di lapangan
menunjukkan bahwa nasabah yang barang jaminannya telah dilelang oleh Perum
Pegadaian tidak pernah melakukan upaya hukum. Hal tersebut dapat dilihat dari
hasil angket yang diisi oleh nasabah Perum Pegadaian Cabang Surakarta yang menyatakan bahwa para nasabah mempunyai
keinginan menggugat Perum Pegadaian melalui jalur hukum akibat barang
jaminannya di lelang.
Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi nasabah yang tidak mempunyai keinginan untuk menggugat Perum
Pegadaian melalui jalur hukum akibat
barang jaminannya di lelang adalah sebagai berikut:
1)
Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh nasabah.
2) Nasabah tidak mamahami prosedur hukum, sehingga
merasa takut untuk melakukan gugatan hukum terhadap Perum Pegadaian.
3) Nasabah beranggapan bahwa dalam berperkara di
Pengadilan memerlukan biaya yang besar dan memakan waktu yang lama.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarakan analisis
hasil penelitian dan pembahasan tersebut, maka dapat diungkapkan beberapa
kesimpulan sebagain berikut:
1. Perum
Pegadaian Cabang Sidrap dalam memberikan pelayanan kepada nasabah: (a) senantiasa
memperhatikan aturan-aturan tentang penggunaan kontrak baku antara Perum
Pegadaian dengan nasabah, sehingga jarang terjadi wanprestasi yang berujung
pada masalah hukum; (b) Perlindungan hukum yang diberikan pegadaian selama ini
terhadap debitur dalam hal terjadi pelelangan
barang jaminan gadai milik debitur cenderung berjalan secara legal rasional.
2. Upaya
hukum yang ditempuh oleh nasabah jika terjadi wanprestasi dari pemegang gadai
adalah menyelesaikan sengketa melalui jalur musyawarah mufakat antara Perum
Pegadaian dengan nasabah, melalui musyawarah mufakat sangat diharapkan
terciptanya perdamaian antara nasabah dan Pegadaian. Tetapi ketika melalui
jalur ini persengketaan tidak juga selesai, maka persengketaan ini dapat
dilakukan melalui lembaga mediasi untuk segera mendapatkan solusi yang baik.
Bila jalur mediasi tidak juga mendapatkan hasil, maka jalur paling akhir yang
harus ditempuh adalah jalur Pengadilan.
B. Saran
Adapun saran yang dapat penulis
berikan dalam penelitian ini adalah:
1. Direkomendasi kepada pihak Perum
Pegadaian Cabang Sidrap bahwa perlindungan debitur terhadap tindakan
wanprestasi yang dilakukan oleh Perum Pegadaian dapat lebih transparan sehingga
kualitas perlindungan hukum terhadap nasabah menjadi lebih efektif.
2.
Perlu dibacakannya isi perjanjian kredit gadai ketika dilaksanakannya akad kredit, serta
perlu adanya pemberian salinan isi perjanjian kredit gadai yang diberikan
kepada nasabah, sebab selama ini nasabah tidak menyimpan akta perjanjian kredit
gadai sehingga kurang memahami hak dan kewajibannya sebagai pemberi gadai.
DAFTAR PUSTAKA
Barkatullah, Abdul Halim, 2010, Hak-Hak Konsumen, Nusa
Media, Bandung.
Catur, N. R. Adi Purwono, 2007, Perlindungan Hukum
Nasabah Kredit Kecil di Perum Pegadaian. Tesis UNS Surakarta..
Dimyati, Khudzaifah, 2005, Teorisasi Hukum
: Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945 - 1990, Muhammadiyah
University Press, Surakarta.
Elsas, R. Dan Krahnen, 2000, Is Relationship Lending Special?
Evidence from Credit-File Data in Germany. Journal of Banking & Finance
22 (1998) 1283 -1316.
Hadikusuma, Hilman, 2001, Hukum Perekonomian Adat Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Hasanah, Hetty, 2004, Perlindungan Konsumen dalam Perjanjian
Pembiayaan Konsumen atas Kendaraan Bermotor dengan Fidusia, (http//jurnal.unikom.ac.id/vol3/perlindungan.html).
Hardjan
Rusli, 1996, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta.
HS. Salim, 2008, Perkembangan Hukum Jaminan di
Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Kojima,
Naoki, 2003, Imperfect Competition in Differentiated Credit Contract Markets,
University of Freiburg,
Muljadi,
Kartini dan Gunawan Widjaja, 2007, Hak Istimewa, Gadai dan Hipotik.
Kencana, Jakarta.
Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian
Hukum bagi Investor di Indonesia, Surakarta : Magister Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Muhammad, Abdulkadir, 2002, Hukum
Perikatan, Alumni, Bandung.
Oterio, Maria, 2005, Bringing
Development Back, into Micro-finance, Journal of Microfinance, Volume 1 No.
1. Patrik, Purwahid dan Kashadi, 2005, Hukum Jaminan Edisi revisi dengan
UUHT , Fakultas Hukum Undip, Semarang.
Pramono,
Nindyo, 2007, Lembaga Mediasi Perbankan Independen dan MediasiPerbankan Oleh
BI (Temporary), Makalah pada Diskusi Terbatas Pelaksanaan Mediasi
Perbankan Oleh Bank Indonesia & Pemben –tukan Lembaga Mediasi
Independen, Kerjasama Bank Indonesia dan Magister Hukum UGM,
Denpasar, 11 April 2007.
Rahardjo, Satjipto, 2003, Sisi sisi Lain
Dari Hukum Di Indonesia, Jakarta: Kompas.
Sidabolok, Janus, 2000, Hukum
Perlindungan Konsumen di Indonesia ,
Bandung
: Citra Aditya Bakti.
Shidarta, 2004, Pokok-pokok Filsafat Hukum,
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Soemitro, Rochmat, 2000, Dasar-dasar Hukum
Pajak dan Pajak Pendapatan, Eresoo, Jakarta.
Wirjono
Prodjodikoro, 1993, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung.