Wednesday, 20 January 2016

Contoh Skripsi Hukum Perdata


PERLINDUNGAN HUKUM NASABAH DALAM PENGGUNAAN KONTRAK BAKU PADA PERUM PEGADAIAN
DI KABUPATEN SIDRAP  


UIT
 








SKRIPSI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia Timur

Oleh :

NAMA                      :  HERWANDY BAHARUDDIN
STAMBUK               :  13.501.134



FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA TIMUR
2015 




 
PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI

Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Timur memberikan Persetujuan menempuh ujian kepada :
Nama                   :   HERWANDY BAHARUDDIN
Nomor Stambuk :   13.501.134
Fakultas              :   Hukum
Judul                    :   Perlindungan Hukum Nasabah Dalam Penggunaan Kontrak Baku Pada Perum Pegadaian Di Kabupaten Sidrap  
Telah diperiksa/diperbaiki dan dapat disetujui untuk dimajukan dalam ujian skripsi mahasiswa program strata satu (S1)

Makassar,     April 2015
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum


                                                 Prof.Dr.Hj.Muliyati Pawennei,SH,MH







 

PERSETUJUAN PEMBIMBING
Proposal penelitian ini telah disetujui untuk diajukan pada ujian seminar proposal penelitian Fakultas Hukum Universitas Indonesia Timur Makassar.
               Makassar,      April 2015

                    Pembimbing I                                                  Pembimbing II,


Hj.Masri Sunusi,SH.MH                                  Pattawari,SHi,MH

Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Hukum
Fakultas Hukum 
Universitas Indonesia Timur




H.Amiluddin Nur,SH.,MH
NIK.02010234




 
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat dan hidayah-Nya menyebabkan karya tulis yang sangat sederhana ini dapat penulis selesaikan dengan baik.
Dengan kesempatan yang tersedia dan penuh suka duka selama di Perguruan Tinggi, maka penulis berusaha memenuhi syarat akademis melalui tulisan ini sebagai tanda berakhirnya studi formal di Fakultas Hukum pada Universitas Indonesia Timur.
Atas selesainya skripsi ini, maka terbukalah kesempatan bagi penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih, terutama kepada :
1.    Bapak Prof. Dr. Baso Amang, SE. M.Si sebagai Rektor Universitas Indonesia Timur Makassar.
2.    Ibu Prof.Dr.Hj.Muliyati Pawennei,SH,MH Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Timur Makassar, Wakil Dekan, para dosen serta seluruh Staf Fakultas yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama mengikuti pendidikan.
3.    Ibu Hj.Masri Sunusi,SH.MH Sebagai Pembimbing I dan Bapak Pattawari,SHi,MH Sebagai Pembimbing II atas kesediaan beliau yang sejak awal hingga akhir penulisan skripsi ini selalu memberikan petunjuk dan bimbingan yang sangat besar manfaatnya bagi penulis.
4.    Bapak H.Amiluddin Nur,SH.,MH sebagai Ketua Program Studi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Timur.
5.    Seluruh keluarga penulis yang telah memberikan dorongan hingga selesainya studi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Timur.
Di dalam tulisan ini penulis menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kekurangan .
Semoga amal ibadah-Nya serta bantuan yang telah diberikan mendapat pahala dari Allah SWT, Amin.


Makassar, Februari 2015

Penulis




 

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN MENGIKUTI UJIAN SKRIPSI....................... iii
KATA PENGANTAR.......................................................................................... iv
DAFTAR ISI.......................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah...................................................................... 1
B.   Rumusan Masalah............................................................................... 4
C.   Tujuan dan Kegunaan Penelitian..................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.     Beberapa Pengertian ......................................................................... 6
B.     Perjanjian Baku dan Klausula Baku.............................................. 17
C.    Syarat-syarat Perjanjian.................................................................... 19
D.    Asas kebebasan Berkontrak ........................................................... 19
E.     Hak dan Kewajiban Para Pihak...................................................... 20
F.     Wanprestasi dan Fource Majeure................................................... 22
G.    Penyalagunaan Keadaan................................................................ 27
H.    Dasar Hukum Pegadaian................................................................. 29
BAB III METODE PENELITIAN
A.     Lokasi Penelitian............................................................................... 34
B.     Jenis dan Sumber  Data .................................................................. 34
C.    Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 34
D.    Analisis Data ..................................................................................... 35
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.     Sejarah Singkat Perum Pegadaian ............................................... 37
B.     Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Nasabah ...............    42
C.    Upaya Hukum Yang Ditempuh Apabila Terjadi  Wanprestasi.   51
BAB V PENUTUP
A.     Kesimpulan......................................................................................... 55
B.     Saran .................................................................................................. 56
DAFTAR PUSTAKA




 


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
 Perum Pegadaian merupakan lembaga perkreditan yang dikelola oleh pemerintah yang kegiatan utamanya melaksanakan penyaluran uang pinjaman atau kredit atas dasar hukum gadai. Penyaluran uang pinjaman tersebut dilakukan dengan cara yang mudah, cepat, aman dan hemat sehingga tidak memberatkan bagi masyarakat yang melakukan pinjaman dan tidak menimbulkan masalah yang baru bagi peminjam setelah melakukan pinjaman di pegadaian. Hal tersebut sesuai dengan motto yang digunakan pegadaian yaitu “Mengatasi Masalah Tanpa Masalah”. Kelebihan perusahaan umum pegadaian ini bagi masyarakat yang meminjam kredit adalah pihak yang berkepentingan tidak perlu menjual barang-barangnya, melainkan hanya dijadikan jaminan pengajuan kredit di perusahaan umum pegadaian.
Maria Oterio (2005:66) yang menyatakan bahwa keuangan mikro adalah penyaluran jasa keuangan kepada rakyat kecil, lemah atau miskin, dan para wirausaha. Sejak tahun 1970, microfinance telah mengalami peningkatan dalam perkembangannya, dan dalam prakteknya merupakan penggabungan konsep pengembangan sosial dan ekonomi, juga merupakan atau sebagai prinsip yang mendasari promosi dan keuangan pasar dan penjualan kombinasi ini telah membawa dampak jumlah pertumbuhan lembaga keuangan mikro yang berkelanjutan dalam pengembangan dunia.
Berdasarkan fenomena tersebut, peran pegadaian sebagai lembaga pembiayaan dalam era sekarang dan masa akan datang tetap penting untuk mewujudkan pemberdayaan ekonomi rakyat baik di Kabupaten maupun di pedesaan. Masyarakat kecil umumnya masih terbelakang dan dalam kondisi seperti ini peranan pegadaian sebagai jaring pengaman sosial bagi masyarakat kecil semakin penting untuk menyediakan kredit berskala kecil, cepat, bunga ringan dan tidak berbelit.
Sedangkan tujuan pegadaian adalah untuk memberikan jaminan bagi pemegang gadai bahwa di kemudian hari piutangnya pasti di bayar dari nilai jaminan. Pegadaian juga turut melaksanakan dan mendukung kebijakan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional yaitu dengan menyalurkan kredit kepada masyarakat dengan jaminan benda-benda bergerak. Benda bergerak tersebut harus memiliki nilai jual yang sama dengan uang yang dibutuhkan oleh yang berhutang tersebut.
Pada dasarnya gadai diberikan untuk menjamin suatu tagihan atau kredit, memang kredit diberikan terutama atas dasar integritas atau kepribadian debitur, kepribadian yang menimbulkan rasa percaya pada diri kreditur bahwa debitur akan memenuhi kewajiban pelunasannya dengan baik (Nindyo, Pramono, 2007:82) Adapun ketentuan mengenaii gadai itu sendiri diatur dalam KUH Perdata Buku II Bab XX, pasal 1150-1161.        
Pasal 1150 KUH Perdata memberikan pengertian gadai sebagai suatu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang berhutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang–orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang lelang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan (Shidarta, 2004:77)
Dalam pelaksanaan kredit gadai ini ada dua pihak yang terlibat yaitu pihak yang menerima gadai disebut “pemegang gadai” dan pihak yang menggadaikan barang disebut “pemberi gadai”. Setiap pemberian kredit harus diikuti dengan suatu penjaminan guna pengamanan kredit yang telah diberikan. Dalam hal terjadi perjanjian kredit, debitur menyerahkan benda gadai sebagai jaminan atas pelunasan hutang- hutangnya terhadap kreditur. Jaminan adalah penting demi menjaga keamanan dan memberikan kepastian hukum bagi kreditur untuk mendapatkan kembali atau mendapatkan kepastian mengenai pengembalian uang pinjaman yang telah diberikan oleh kreditur kepada debitur sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan disepakati bersama.
Barang yang menjadi objek gadai tersebut harus diserahkan oleh debitur (masyarakat) kepada kreditur (perum pegadaian). Jadi barang-barang yang digadaikan berada di bawah kekuasaan pemegang gadai. Asas ini disebut asas Inbezitstelling yang merupakan syarat mutlak dalam perjanjian gadai Satjipto, Rahardjo, (2003:95). Hal ini untuk memberi kepastian bahwa debitur akan melaksanakan kewajibannya sesuai dengan isi perjanjian kredit yang telah dibuat. Sedangkan barang-barang yang menjadi jaminan harus berada di perum pegadaian sebagai barang jaminan sampai debitur melunasi hutang-hutangnya kepada kreditur atau pemegang gadai.
Berdasarkan fenomena yang telah diungkapkan, maka penulis ingin meneliti tentang “Perlindungan Hukum Nasabah Dalam Penggunaan Kontrak Baku Pada Perum Pegadaian Cabang Sidrap Kabupaten Sidrap  
B.   Rumusan Masalah
1.    Bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak nasabah dalam penggunaan kontrak baku pada Perum Pegadaian Cabang Sidrap Kabupaten Sidrap  ?
2.    Bagaimana upaya hukum yang bisa ditempuh oleh nasabah jika terjadi wanprestasi dari pemegang gadai pada Perum Pegadaian Cabang Sidrap Kabupaten Sidrap  ?
C.   Tujuan dan Kegunaan Peneltian
1.    Tujuan penelitian:
a.    Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap hak-hak nasabah dalam penggunaan kontrak baku pada Perum Pegadaian Cabang Sidrap Kabupaten Sidrap  .
b.    Untuk mengetahui upaya hukum yang bisa ditempuh oleh nasabah jika terjadi wanprestasi dari pemegang gadai Perum Pegadaian Cabang Sidrap Kabupaten Sidrap  ..
2.    Kegunaan Penelitian:
a.    Teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi referensi baru dalam pengembangan ilmu hukum.
b.     Praktis, diharapkan hasil penelitian ini memberikan kontribusi kepada Perum Pegadaian Cabang Sidrap dalam memberikan: (1) Perlindungan hokum kepada nasabah; (2) meningkatkan kualitas pelayanan kepada nasabah; (3) informasi awal bagi peneliti lain yang ingin mengkaji lebih jauh tentang focus penelitian ini pada dimensi kajian yang berbeda.












BAB  II
TINJAUAN PUSTAKA

A.   Beberapa Pengertian
1.    Pengertian Perlindungan Hukum
          Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subjek-subjek hukum melalui peraturan perundang-Undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Ada beberapa pendapat dari para ahli yang dapat dikutip sebagai suatu pedoman mengenai perlindungan hukum.
Menurut Catur, N. R. And Purwono, (2007: 90) bahwa perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan sesorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Adapun menurut Muchsin (2003: 38) bahwa :
perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.

          Hukum Konsumen adalah hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara konsumen selaku individu dan pelaku usaha yang menjual barang dan jasa. Perlindungan konsumen meliputi masalah yang luas, yang tidak hanya terbatas pada tanggung jawab produk, hak-hak konsumer; praktik usaha tidak sehat, penipuan penafsiran yang keliru, hubungan lain konsumen/pelaku usaha. Hukum konsumen berhubungan dengan pelunasan kredit, pencairan pinjaman, keamanan produk, pelayanan dan perjanjian penjualan peraturan nota kolektil harga, pembatalan, konsolidasi, pinjaman seseorang yang mungkin menjadi bangkrut dan masih banyak lagi.
          Pada dimensi lain Hasanah Hetty (2004: 71) memberikan batasan pengertian bahwa:
perlindungan hukum  merupakan segala upaya yang dapat menjamin adanya kepastian hukum, sehingga dapat memberikan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang bersangkutan atau yang melakukan tindakan hukum. Hukum perlindungan ditujukan untuk memberikan perlindungan hukum kepada  konsumen atas hak-haknya.

Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri (Sidabolok Janus, 2000: 66). Perlindungan konsumen merupakan perlindungan dalam arti hukum yang diberikan kepada konsumen (mereka yang melakukan kontrak selain untuk tujuan bisnis untuk mendapatkan barang dan jasa dari mereka yang menyediakannya untuk tujuan bisnis).
Perlindungan konsumen merupakan suatu kebijakan hukum pada saat ini untuk melindungi konsumen terhadap ketentuan-ketentuan di dalam kontrak yang tidak adil. Secara khususnya, konsumen dilindungi dari ketentuan-ketentuan yang mengecualikan atau membatasi tanggung jawab penjual secara tidak langsung atau dimilikinya hak menjual barang–barang tersebut (oleh penjual), apakah barang-barang tersebut sesuai dengan gambaran atau contoh, dan memiliki kualitas yang layak untuk diperdagangkan sesuai dengan tujuan utamanya.
Pengertian Perlindungan Konsumen terdapat dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan: “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.
Perlindungan konsumen harus mendapat perhatian yang lebih, karena investasi asing telah menjadi bagian pembangunan ekonomii Indonesia, di mana ekonomi Indonesia juga telah berkait dengan ekonomi dunia. Persaingan perdagangan internasional dapat rnembawa implikasi negatif bagi perlindungan konsumen.
Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal atau sendiri maupun berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai kelemahan pada konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan yang "aman, oleh karena itu, secara mendasar konsumen juga membutuhkan perlindungan hukum yang sifatnya universal. Mengingat lemahnya kedudukan konsumen pada umumnya dibandingkan dengan kedudukan produsen yang relatif lebih kuat dalam banyak hal, maka pembahasan perlindungan konsumen akan selalu terasa aktual dan selalu penting untuk dikaji ulang.
Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara material maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. Dengan demikian, upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak untuk segera dicari solusinya, terutama di Indonesia, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen, lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas yang akan datang.
Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut" untuk itu semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak, termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang berawal dari iktikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi, antara lain menyangkut kualitas, atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan pemalsuan dan sebagainya.
Perlindungan konsumen dalam era pasar global menjadi sangat penting, karena pertama konsumen di samping mempunyai hak-hak yang bersifat universal juga mempunyai hak-hak yang bersifat sangat spesifik (baik situasi maupun kondisi). Era perdagangan bebas merupakan suatu era ke mana pemasaran merupakan suatu disiplin universal. Konsep-konsep pemasaran dipandang dari stategi pemasaran global telah berubah dari waktu ke waktu, sebagaimana tahapan berikut:
Pertama, konsep pemasaran pada awalnya adalah memfokuskan pada produk yang lebih baik yang berdasarkan pada standar dan nilai internal. Hal ini dilakukan dengan tujuan memperoleh laba, dengan menjual atau membujuk pelanggan potensial untuk menukar uangnya dengan produk perusahaan.
Kedua, pada dekade enam puluhan fokus pemasaran dialihkan dari produk kepada pelanggan. sasaran masih tetap pada laba, tetapi cara pencapaian menjadi luas, yaitu dengan pembaruan pemasaran marketing, promotion,  produk, harga, promotion saluran distribusi.
Ketiga, sebagai konsep baru pemasaran, dengan pembaruan dari konsep pemasaran menjadi konsep strategi. Konsep strategi pemasaran pada dasarnya mengubah fokus pemasaran dari pelanggan atau produk kepada pelanggan dalam konteks lingkungan ekstemar yang lebih luas. Di samping itu juga terjadi perubahan pada tujuan pemasaran, yaitu dari laba menjadi keuntungan pihak yang berkepentingan (yaitu orang perorangan atau kelompok yang mempunyai kepentingan dalam kegiatan perusahaan termasuk di dalamnya karyawan, manajemen, pelanggan, masyarakat dan negara). untuk itu harus memanfaatkan pelanggan yang ada termasuk pesaing, kebijakan yang berlaku, peraturan pemerintah serta kekuatan makro, ekonomi, sosial, politik secara luas.
Perlunya undang-undang perlindungan konsumen tidak lain karena lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi produsen. Proses sampai hasil produksi barang atau jasa dilakukan tanpa campur tangan konsumen sedikit pun. Tujuan hukum perlindungan konsumen secara langsung adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen. Secara tidak langsung, hukum ini juga akan mendorong produsen untuk melakukan usaha dengan penuh tanggung jawab" Namun, semua tujuan tersebut hanya dapat dicapai bila hukum perlindungan konsumen dapat diterapkan secara konsekuen.
Untuk mewujudkan harapan tersebut, perlu dipenuhi beberapa persyaratan minimal, antara lain:
(1)  hukum perlindungan konsumen harus adil bagi konsumen maupun produsen, jadi tidak hanya membebani produsen dengan tanggung jawab, tetapi juga melindungi hak-haknya untuk melakukan usaha dengan jujur.
(2) aparat pelaksana hukumnya harus dibekali dengan sarana yang memadai dan disertai dengan tanggung jawab.
(3) peningkatan kesadaran konsumen akan hak-haknya.  
(4) mengubah sistem nilai dalam masyarakat ke arah sikap tindak yang mendukung pelaksanaan perlindungan konsumen.

Dipenuhinya persyaratan di atas akan mengangkat harkat dan martabat konsumen, sehingga mereka juga dapat diakui sebagai salah satu subjek dalam sistem perekonomian nasional di samping BUMN, Koperasi, dan usaha swasta. Bertolak dari luas dan kompleksnya hubungan antara produsen dan konsumen serta banyaknya mata rantai penghubung keduanya, maka untuk melindungi konsumen sebagai pemakai akhir dari produk barang atau jasa, dibutuhkan berbagai aspek hukum agar konsumen dapat dilindungi dengan adil sejak awal produksi.
Kendala yang dihadapi dalam upaya perlindungan konsumen di Indonesia tidak terbatas pada rendahnya kesadaran konsumen akan hak, tetapi juga adanya persepsi yang salah di kalangan sebagian besar produsen bahwa perlindungan terhadap konsumen akan menimbulkan kerugian terhadap produsen.
Persepsi yang keliru di kalangan pengusaha ini akan dengan mudah diluruskan apabila disadari beberapa pertimbangan berikut ini:
(1) bahwa konsumen dan produsen adalah pasangan yang saling membutuhkan; usaha produsen tidak akan dapat berkembang dengan baik bila konsumen berada pada kondisi yang tidak sehat akibat banyaknya produk yang cacat.
(2)  bahwa ada produsen yang melakukan kecurangan dalam rnelakukan kegiatan usahanya. Kecurangan ini tidak hanya merugikan konsumen saja, tetapi juga akan merugikan produsen yang jujur dan bertanggung jawab.

(3)  kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan usaha bagi produsen yang bertanggung jawab dapat diwujudkan tidak dengan jalan merugikan kepentingan konsumen, tetapi dapat dicapai melalui penindakan terhadap produsen yang melakukan kecurangan dalam melakukan kegiatan usahanya.
(4)  bahwa beban kompensasi atas kerugian konsumen akibat pemakaian produk cacat telah diperhitungkan sebagai komponen produksi, tetapi ditanggung bersama oleh seluruh konsumen yang rnemakai produk yang tidak cacat.

Sejalan dengan hal tersebut, maka perlindungan hukum terhadap hak konsumen tidak dapat diberikan oleh satu aspek hukum saja, melainkan oleh sistem perangkat hukum yang mampu memberikan perlindungan yang simultan dan komprehensif sehingga terjadi persaingan yang jujur yang secara langsung atau tidak langsung akan menguntungkan konsumen.
         Abdul Halim, Barkatullah, (2010: 77) menyatakan In a sense there is no such creature os consumer law. Sekalipun demikian, secara umum sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen itu seperti yang dinyatakan oleh Lowe yakni  rules of law which recognize the bargaining weakness of the individual consumer and which ensure tbat weakness is not unfairty exploited. Oleh karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya.
           Hetty, Hasanah, (2004: 60)  berpendapat bahwa:
Hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.

Oleh Prodjodikoro Wirjono, (1993: 76) mengakui, asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah konsumen itu tersebar dalam berbagai bidang hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Ia menyebutkan, seperti hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum administrasi (negara) dan hukum internasional terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan konsumen. Adapun yang masih belum jelas dari pernyataan Prodjodikoro Wirjono, berkaitan dengan kaidah-kaidah hukum perlindungan konsumen yang senantiasa bersifat mengatur.
Untuk itu jelasnya dapat dilihat ketentuan Pasal 383 KUHP berikut ini: Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli:
(1)  karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli.
(2)  mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan dengan menggunakan tipu muslihat.

Seharusnya ketentuan memaksa dalam Pasal 383 KUHP juga memenuhi syarat untuk dimasukkan ke dalam wilayah hukum perlindungan konsumen. Artinya, inti persoalannya bukan terletak pada kaidah yang harus "mengatur" atau "memaksa". Dengan demikian, seyogianya dikatakan, hukum konsumen berskala lebih luas meliputi berbagai aspek hukum yang terdapat kepentingan pihak konsumen di dalamnya. Kata aspek hukum ini sangat bergantung pada kemauan kita mengartikan.
Selain itu juga digunakan teori penegakan hkum yang dikemukakan oleh Nindyo, Pramono, (2007:23), menyatakan bahwa:
Secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan sikap tindakan sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

Hukum Perlindungan konsumen dibuat untuk kegiatan perdagangan yang adil dengan memberikan informasi yang benar dan jujur di tempat umum. Hukum Perlindungan Konsumen dibuat juga untuk mencegah Pelaku Usaha yang mengarah ke penipuan atau praktik tertentu yang tidak adil dan memperoleh keuntungan atas persaingan dan juga memberikan perlindungan terhadap mereka yang memiliki kelemahan dan tidak dapat menjaga diri mereka.
Hukum Perlindungan Konsumen adalah salah satu peraturan pemerintah yang bertujuan melindungi keresahan konsumen. Sebagai contoh, pemerintah tetap saja mernbutuhkan pernyataan Pelaku Usaha yang rinci mengenai informasi tentang produk khususnya berkaitan dengan keamanan atau kesehatan masyarakat sebagai suatu isu, misalnya makanan. Perlindungan konsumen berkaitan dengan hak-hak konsumen (dimana konsumen memiliki beberapa hak sebagai konsumen), dan membuat organisasi konsumen yang dapat membantu konsumen dapat memilih yang terbaik di pasaran.
2.    Pengertian Nasabah
           Arti nasabah pada lembaga perbankan sangat penting. Nasabah itu ibarat nafas yang sangat berpengaruh terhadap kelanjutan suatu bank. Oleh karena itu bank harus dapat menarik nasabah sebanyak-banyaknya agar dana yang terkumpul dari nasabah tersebut dapat diputar oleh bank yang nantinya disalurkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan bank.
         Menurut Abdulkadir, Muhammad, (2002: 40) bahwa; ˝Nasabah adalah orang atau badan yang mempunyai rekening simpanan atau pinjaman pada bank˝. (Kartini, Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2007: 34) menyatakan bahwa: “Nasabah adalah seseorang atau suatu perusahaan yang mempunyai rekening koran atau deposito atau tabungan serupa lainnya pada sebuah bank˝. Rochmat, Soemitro (2000: 98).
3.    Pengertian Perjanjian
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata bahwa yang dimaksud perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Menurut Salim HS (2008: 161) perjanjian adalah : “Perjanjian adalah suatu hubungan antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. Pengertian perjanjian menimbulkan kewajiban antara kedua orang yang membuatnya dalam bentuk perjanjian itu merupakan rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau tertulis.
B.   Perjanjian Baku dan Klausula Baku
         Pengertian Perjanjian baku menurut Hilman, Hadikusuma (2001: 98) bahwa perjanjian baku mengandung sifat yang banyak menimbulkan kerugian terhadap konsumen. Perjanjian baku yang banyak terdapat di masyarakat dapat dibedakan dalam beberapa jenis, antara lain:
(1)  Perjanjian baku sepihak, adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini adalah pihak kreditur yang Iazimnya mempunyai posisi ekonomi kuat dibandingkan pihak debitur. Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
(2)  Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap  perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian yang mempunyai objek hak atas tanah.
(3)  Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat. Adalah perjanjian yang konsepnya sejak semula disediakan. Untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan. Dalam perpustakaan Belanda jenis ini disebutkan contract model.

Naoki Kojima, (2003: 88) berpendapat: "perjanjian baku itu memang melanggar Undang-Undang, tetapi dibutuhkan oleh masyarakat dalam praktek." Dalam hal ini, Hondius, (1995: 56) memberi toleransi dengan alasan merupakan "kebiasaan  dalam perdagangan". Kemudian memberi jalan tengah "tetap ada perjanjian karena fiksi adanya kemauan dan kepercayaan,  karena dengan menerimanya, konsumen telah setuju."
Menurut hukum, yang dimaksud klausula baku itu adalah "setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan diterapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen."
Secara sederhana, klausula baku mempunyi ciri berikut;
(1)  Klausula itu ada di dalam perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha, yang posisinya relatif lebih kuat dibandingkan konsumen.
(2)  Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi klausula tersebut.
(3)  Dibuat dalam bentuk tertulis dan missal.
(4)  Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong kebutuhan.

Pasal 18 Ayat (1) UU Perlindungan Konsumen menyebutkan mengenai klausula-klausula yang dilarang dicantumkan dalam perjanjian baku, yaitu menyatakan:
(1)  pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
(2)  bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.
(3) bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen.
(4)  pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(5). mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.
(6)  memberi hak kepada pelaku usaha unfuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
(7)  tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
(8)  menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

C.   Syarat-Syarat Perjanjian
Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:
(a)  Adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian (konsensus).
(b) Kecakapan para pihak.
(c)   Suatu hal atau objek tertentu.
(d) Adanya suatu sebab yang halal.
Adapun unsur-unsur dalam perjanjian adalah: (a). Esensiall (Essensialia) yaitu unsur utama, tanpa adanya unsur ini persetujuan tidak mungkin ada. (b). Natural (Naturalia) yaitu unsur yang oleh undang-undang ditentukan sebagai per-aturan yang bersifat mengatur. (c). Aksidental (Accidentalia) yaitu unsur yang oleh para pihak ditambahkan dalam persetujuan dimana undang-undang tidak mengatur Misalnya jual beli rumah diperjanjikan tidak termasuk alat-alat rumah tangga.
D.   Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang - undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: (1) Membuat atau tidak membuat perjanjian; (2) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun; (3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; dan (4) Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan (Salim HS, 200).
Asas kebebasan berkonrak sangat penting mengingat dalam perjajian harus terdapat adanya:  (1) Unsur esensialia, unsur yang mutlak ada dalam suatu perjanjian (karena ditetapkan melalui UU yang bersifat memaksa). Contoh: "Sebab yang halal."; (2) Unsur naturalia, unsur yang tidak mutlak ada (ditetapkan dalam UU yang bersifat mengatur; boleh disimpangi atas kesepakatan para pihak). Contoh: Menyimpang dari PasaI 1491. KUH Perdata, biaya pengiriman ditanggung oleh pembeli (bukan penjual); dan  (3) Unsur aksidentalia, unsur yang tidak ditetapkan oleh UU; boleh ditambahkan atas kesepakatan para pihak. Contoh: Jual beli rumah mencakup AC yang sudah terpasang.
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang merupakan tiangnya hukum perdata berkaitan dengan penjabaran dari asas kebebasan berkontrak, yaitu: bebas membuat jenis perjanjian apapun; bebas mengatur isinya; bebas mengatur bentuknya. Kesemuanya dengan persyaratan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Timbul pertanyaan apakah perjanjian baku memenuhi asas konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak seperti yang tertuang daiam Pasal 1320 dan 1338 ayat (1) KUH Perdata.
E.   Hak dan Kewajiban Para Pihak
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengemukakan, Hak konsumen adalah:
(a)  hak atas kenyamanan  keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
(b)  hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
(c)   hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
(d). hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan.
(e)  hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
(f)   hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
(g). hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
(h)  hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
(i)    Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Dalam penjelasan Pasal 4 Huruf g dikatakan, Hak untuk diperlukan atau diIayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikannya, miskin dan status sosial lainnya.
Pasal 5 uu Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengemukakan Kewajiban konsumen adalah:
(a)  membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
(b)  beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
(c)   membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
(d)  mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

           Adapun hak dan kewajiban pelaku usaha berdasarkan Pasal 6 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menentukan, Hak pelaku usaha adalah:  
(a)  hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
(b    hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
(c)   hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
(d) hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
(e)  Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan, Kewajiban pelaku usaha adalah:
(a)  beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
(b)  memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
(c)   memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
(d)  menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
(e)  memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan atau yang diperdagangkan.
(f) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat Penggunaan pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
(g) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

F.    Wanprestasi dan Fource Majeure
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Akan tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian. dan bukan dalam keadaan memaksa.
Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:
(1)  Tidak memenuhi prestasi sama sekali; Sehubungan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
(2)  Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya; Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggapmemenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
(3)  Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

         Adapun menurut Rusli Hardijan, (1996: 57) bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:
(1)   Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.
(2)  Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya.
(3)  Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
(4)  Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan.
Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu: (a) sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian; (b) Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang diperbolehkan dalam perjanjian; dan (c) memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.
Ada dua kriteria perbuatan melawan hukum yang merupakan akibat perbuatan manusia, yakni perbuatan manusia yang sesuai dengan hukum (rechtmagitg, lawfull) atau yang tidak sesuai dengan hukum (onrechtmatig, unlawfull). Dari 2 kriteria tersebut, kita akan mendapatkan apakah bentuk perbuatan melawan hukum tersebut berupa pelanggaran pidana (factum delictum), kesalahan perdata (law of tort) atau betindih sekaligus delik pidana dengan kesalahan perdata. Dalam hal terdapat kedua kesalahan (delik pidana sekaligus kesalahan perdata) maka sekaligus pula dapat dituntut hukuman pidana dan pertanggung jawaban perdata (civil liability).
a. Timbulnya hak menuntut
Pada wanprestasi diperlukan lebih dahulu suatu proses, seperti Pernyataan lalai (inmorastelling, negligent of expression, inter pellatio, ingeberkestelling). Hal ini sebagaimana dimaksud pasal 1243 KUH Perdata yang menyatakan “Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”atau jika ternyata dalam perjanjian tersebut terdapat klausul yang mengatakan debitur langsung dianggap lalai tanpa memerlukan somasi (summon) atau peringatan. Hal ini diperkuat yurisprudensi Mahkamah Agung No. 186 K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959 yang menyatakan: “apabila perjanjian secara tegas menentukan kapan pemenuhan perjanjian, menurut hukum, debitur belum dapat dikatakan alpa memenuhi kewajiban sebelum hal itu dinyatakan kepadanya secara tertulis oleh pihak kreditur”.
Dalam perbuatan melawan hukum, hak menuntut dapat dilakukan tanpa diperlukan somasi. Sekali timbul perbuatan melawan hukum, saat itu juga pihak yang dirugikan langsung dapat menuntutnya (action, claim, rechtvordering).
b. Tuntutan ganti rugi (compensation, indemnification)
Pada wanprestasi, perhitungan ganti rugi dihitung sejak saat terjadi kelalaian. Hal ini sebagaimana diatur Pasal 1237 KUH Perdata, “Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu, semenjak perikatan dilakukan, menjadi tanggungannya”.
Pasal 1246 KUH Perdata menyatakan, “biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya”. Berdasarkan pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dalam wanprestasi, penghitungan ganti rugi harus dapat diatur berdasarkan jenis dan jumlahnya secara rinci seperti kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian tesebut dipenuhi dan ganti rugi bunga (interst).
Dengan demikian kiranya dapat dipahami bahwa ganti rugi dalam wanprestasi (injury damage) yang dapat dituntut haruslah terinci dan jelas. Sementara, dalam perbuatan melawan hukum, tuntutan ganti rugi sesuai dengan ketentuan pasal 1265 KUH Perdata, tidak perlu menyebut ganti rugi bagaimana bentuknya, tidak perlu perincian. Dengan demikian, tuntutan ganti rugi didasarkan pada hitungan objektif dan konkrit yang meliputi materiil dan moril. Dapat juga diperhitungkan jumlah ganti rugi berupa pemulihan kepada keadaan semula (restoration to original condition, herstel in de oorpronkelijke toestand, herstel in de vorige toestand).
         Meskipun tuntutan ganti rugi tidak diperlukan secara terinci, beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung membatasi tuntutan besaran nilai dan jumlah ganti rugi, seperti: Putusan Mahkamah Agung No. 196
K/ Sip/ 1974 tanggal 7 Oktober 1976, menyatakan “besarnya jumlah ganti rugi perbuatan melawan hukum, diperpegangi prinsip Pasal 1372 KUHPerdata yakni didasarkan pada penilaian kedudukan sosial ekonomi kedua belah pihak”. Putusan Mahkamah Agung No. 1226 K/Sip/ 1977 tanggal 13 April 1978, menyatakan, “soal besarnya ganti rugi pada hakekatnya lebih merupakan soal kelayakan dan kepatutan yang tidak dapat didekati dengan suatu ukuran”.
G.   Penyalagunaan Keadaan
Penyalahgunaan keadaan adalah menguraikan penerapan lembaga ini dalam sengketa transaksi konsumen yang akan direkomendasikan untuk diterima menjadi salah satu prinsip penting dalam hukum positif Indonesia. Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan, yang dapat dikatakan sebagai sumber formal hukum yang utama dalam transaksi konsumen. Salah satu isu pokok dalam transaksi konsumen, misalnya terkait dengan keberadaan perjanjian standar (baku), yang oleh banyak pihak dinilai menggerogoti hak kebebasan berkontrak dari pihak konsumen.
Pasal 1321 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan tiga alasan untuk melakukan pembatalan perjanjian, yakni (1) kekhilafan atau kesesatan (dwaling), (2) paksaan (dwang), dan (3) penipuan (bedrog). Tiga alasan warisan hukum kolonial Belanda itu tetap berlaku sampai sekarang, sekalipun di Negeri Belanda terjadi satu perkembangan yang sangat berarti, khususnya dipandang dari sudut hukum perlindungan konsumen. Kemajuan dimaksud adalah dimasukkannya alasan keempat, yaitu penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden). Keempat alasan itu dicantumkan dalam Buku III Pasal 44 ayat (1) Kitab undang-undang Hukum Perdata Belanda yang baru.
Melengkapi pandangan Dunne, J. Satrio menambahkan lagi enam faktor yang dapat dianggap sebagai ciri dari penyalahgunaan keadaan, sebagai berikut:
(1)  pada waktu menutup perjanjian, salah satu pihak ada dalam keadaan terjepit.
(2)  karena keadaan ekonomis, kesulitan keuangan yang mendesak.
(3) karena hubungan atasan-bawahan; keunggulan ekonomis pada salah satu pihak; hubungan majikan-buruh; orang tua/wali-anak belum dewasa.
(4)  karena keadaan, seperti pasien membutuhkan pertolongan dokter ahli.
(5)  perjanjian itu mengandung hubungan yang timpang dalam kewajiban timbal balik antara para pihak (prestasi yang tak seimbang); pembebasan majikan dari risiko dan menggesernya menjadi tanggungan si buruh.
(6)  kerugian yang sangat besar dari salah satu pihak. Faktor kerugian di sini tidak harus berwujud kerugian materiil, tetapi dapat meliputi kerugian "subjektif' (immaterial), seperti segala sesuatu yang menyebabkan orang pada posisi tidak menguntungkan.

Jelas sekali, "penyalahgunaan keadaan" ini sangat relevan untuk disinggung dalam kaitannya dengan persengketaan transaksi konsumen. Keunggulan ekonomis dan psikologis dari si pelaku usaha sering sangat dominan sehingga mempengaruhi konsumen untuk memutuskan kehendaknya secara rasional. sebagai contoh, konsumen perumahan sering terdesak untuk menyetujui suatu perjanjian kredit dengan bank berdasarkan sistem bunga fluktuatif yang sangat tidak menguntungkan, karena ia sudah sangat membutuhkan rumah tinggal yang layak dan Pemerintah tidak menyediakan fasilitas perbankan yang lebih ringan daripada itu.
Pasal 15 UUPK bahkan secara tegas mengatakan, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen. Selanjutnya dalam hubungannya dengan perjanjian standar, Pasal 18 UUPK meletakkan hak-hak yang setara antara konsumen dan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. pelanggaran terhadap kedua pasal di atas merupakan tindak pidana menurut ketentuan pasal 62 UUPK, dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak dua miliar rupiah.
H.   Dasar Hukum Pegadaian
         Perusahaan Umum Pegadaian adalah satu-satunya badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai seperti dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1150 di atas.
Tugas Pokoknya adalah memberi pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai agar masyarakat tidak dirugikan oleh kegiatan lembaga keuangan informal yang cenderung memanfaatkan kebutuhan dana mendesak dari masyarakat.Hal ini didasari pada fakta yang terjadi di lapangan bahwa terdapat lembaga keuangan yang seperti lintah darat dan pengijon yang dengan melambungkan tingkat suku bunga setinggi-tingginya.
a. Pimpinan
        Kegiatan usaha Perum Pegadaian dipimpin sebuah dewan direksi yang terdiri dari seorang direktur  utama dan beberapa direktur. Masa jabatan dari masing-masing anggota dewan direksi adalah 5 (lima) tahun, dan setelah masa jabatan tersebut berakhir yang bersangkutan dapat diangkat kembali. Di samping dewan direksi yang bertugas menjalankan dan mengelola kegiatan usaha, Perum pegadaian juga mempunyai sebuah dewan pengawas yang fungsi utamanya adalah untuk mengawasi pelaksanaan kegiatan usaha Perum Pegadaian agar selalu sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan dapat merealisasikan misinya untuk membantu masyarakat dalam bidang pendanaan atas dasar hukum gadai. b. Kegiatan Usaha
Penggunaan Dana. Dana yang berhasil dihimpun kemudian digunakan untuk mendanai kegiatan usaha Perum Pegadaian. Dana tersebut antara lain digunakan untuk hal-hal berikut: (1) Uang  kas dan dana likuid lain. Perum pegadaian memerlukan dana likuid untuk berbagi kebutuhan seperti: kewajiban yang jatuh tempo, penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan atas dasar hokum gadai, biaya operasional yang harus segera dikeluarkan, pembayaran pajak, dan lain-lain; (2) Pembelian dan pengadaan berbagai bentuk aktiva tetap dan inventaris. Aktiva tetap berupa tanah dan bangunan serta inventaris ini tidak secara langsung dapat menghasilkan penerimaan bagi perum pegadaian namun sangat penting agar kegiatan usahanya dapat dijalankan dengan baik. Aktiva tetap dan peralatan ini antara lain adalah berupa tanah, kantor atau bangunan, computer, kendaraan, meubel, brankas, dan lain-lain; (3) Pendanaan kegiatan operasional. Kegiatan operasional Perum Pegadaian memerlukan dana yang tidak kecil. Proses pinjaman atas dasar hukum gadai.
c. Penaksiran
         Pinjaman atas dasar hukum gadai mensyaratkan penyerahan barang bergerak sebagai jaminan pada loket yang telah ditentukan pada kantor pegadaian setempat. Mengingat besarnya jumlah pinjaman sangat tergantung pada nilai barang yang akan digadaikan, maka barang yang diterima dari calon peminjam terlebih dahulu harus ditaksir nilainya oleh petugas penaksir. Petugas penaksir adalah orang-orang yang sudah mendapatkan pelatihan khusus dan berpengalaman dalam melakukan penaksiran barang-barang yang akan digadaikan. Pedoman dasar penaksiran telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian agar penaksiran atas suatu barang bergerak dapat sesuai dengan nilai sebenarnya. Petugas penaksir menentukan nilai taksir.
           Nilai taksiran terhadap suatu objek barang yang akan digadaikan tidak ditentukan sebesar harga pasar, melainkan setelah dikalikan dengan presentase tertentu. Sebagai contoh, emas yang menurut harga pasar adalah senilai Rp 100.000, nilai taksirannya tidak sebesar Rp 100.000. Nilai taksiran emas tersebut adalah sebesar Rp 88.000. angka pengali sebesar 88% ditentukan oleh Perum Pegadaian, dan angka ini bukanlah angka baku yang tetap sepanjang masa, dengan kata lain angka ini bisa mengalami perubahan. Perum pegadaian sudah menetapkan pengali untuk berlian adalah 45%, angka pengali untuk tekstil adalah 83%, dan seterusnya. Nilai taksiran inilah yang dijadikan acuan untuk menentukan besarnya pinjaman yang akan diberikan kepada nasabah.
d. Pemberian Pinjaman
         Nilai taksiran atas barang yang akan digadaikan tidak sama dengan besarnya pinjaman yang diberikan. Setelah itu ditentukan, maka petugas menentukan jumlah uang pinjaman yang dapat diberikan. Penentuan jumlah uang pinjaman ini juga berdasarkan persentase tertentu terhadap nilai taksiran, dan presentase ini juga telah ditentukan oleh Perum Pegadaian berdasarkan golongan yang besarnya berkisar antara 80-90%.
Istilah gadai berasal dari terjemahan dari kata pand (bahasa Belanda) atau pledhe atau pawn (bahasa Inggris). Gadai ini diatur dalam Buku III Titel 19 Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUH Perdata. Menurut Pasal 1150 KUH Perdata pengertian dari gadai adalah :
Suatu hak yang diperoleh seorang kreditor atas suatu barang bergerak yang bertubuh maupun tidak bertubuh yang diberikan kepadanya oleh debitor atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu hutang, dan yang memberikan kewenangan kepada kreditor untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu daripada kreditor-kreditor lainnya terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biaya - biaya mana harus didahulukan.
Menurut Janus, Sidabolok, (2000: 77) subjek gadai terdiri atas dua pihak, yaitu pemberi gadai (pandgever) dan penerima gadai (pandnemer). Pemberi gadai (pandgever) yaitu orang atau badan hukum yang memberikan jaminan dalam bentuk benda bergerak selaku gadai kepada penerima gadai untuk pinjaman uang yang diberikan kepadanya atau pihak ketiga. Unsur -unsur pemberi gadai yaitu: (a). Orang atau badan hukum; (b). Memberikan jaminan berupa benda bergerak; (c). Kepada penerima gadai; dan (d). Adanya pinjaman uang.
Objek gadai adalah benda bergerak. Benda bergerak ini dibagi atas dua jenis,  yaitu: (1) benda bergerak berwujud;  dan (2) benda tidak berwujud. Benda bergerak berwujud adalah benda yang dapat berpindah atau dipindahkan. Yang termasuk dalam benda berwujud, seperti emas, arloji, sepeda motor, dan lain-lain. Adapun benda bergerak yang tidak berwujud seperti, piutang atas bawah, piutang atas tunjuk, hak memungut hasil atas benda dan atas piutang (Salim HS, 2008: 37).





BAB   III
METODE PENELITIAN

A.   Lokasi Penelitian
       Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten  Sidrap dengan lokasii penelitian pada Perum Pegadaian Cabang Sidrap Kabupaten Sidrap   yang berlangsung selama kurang lebih satu bulan, yaitu bulan Marer 2015.
B.   Jenis dan Sumber Data 
        Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian yang bersifat Normatif
1. Data Primer.
            Data ini diperoleh dengan cara mengumpulkan sejumlah keterangan atau fakta melalui wawancara terarah dan sistematis dengan pihak yang dipandang mengetahui serta memahami tentang objek yang diteliti yaitu yang diperoleh dari lokasi penelitian di Kantor Perum Pegadaian Cabang Sidrap Kabupaten Sidrap  .
2. Data Sekunder. 
      Merupakan keterangan atau fakta yang diperoleh tidak secara langsung, tapi diperoleh melalui studi pustaka, literatur, peraturan perundang-undangan, karya ilmiah dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti oleh penulis.
C.   Teknik Pengumpulan Data
1.    Penelitian Kepustakaan (library research)
            Metode ini merupakan alat pengumpulan data yang dilakukan melalui tertulis melalui literatur dan peraturan perundang-undangan, serta buku-buku yang ada kaitannya secara langsung maupun tidak langsung dengan objek yang diteliti. Cara ini dimaksudkan untuk mencapai konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat atau temuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan.
2.    Penelitian Lapangan (field research)
            Penelitian lapangan dilakukan dengan cara wawancara (interview) yaitu merupakan kegiatan untuk mengumpulkan data dengan tujuan tertentu dengan melakukan percakapan atau wawancara langsung berupa tanya jawab antara peneliti dengan subjek peneliti untuk memperoleh berbagai keterangan atau jawaban yang akan dibenarkan dalam penelitian. Adapun subjek penelitian yang dimaksudkan yaitu: Kepala cabang 1 orang; staf perum pegadaian 2 orang; dan nasabah 2 orang.
D.   Analisa Data
          Data yang diperoleh baik dari studi lapangan maupun studi kepustakaan diteliti dengan metode analisis kualitatif yaitu data yang diperoleh akan didiskripsikan sesuai keadaan yang sebenarnya, apa yang dikatakan responden baik secara lisan maupun tulisan, yang akan diteliti dan dipelajari sebagai satu kesatuan yang utuh, untuk kemudian dilakukan analisis guna menjawab permasalahan yang diajukan dan mencari jalan keluar yang diharapkan hingga akhirnya akan di dapat suatu skripsi yang ilmiah.





BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.   Sejarah Singkat Perum Pegadaian           
    Sejarah Pegadaian di Indonesia berawal dari berdirinya Bank Van Leening di zaman VOC yang bertugas memberikan pinjaman uang tunai kepada masyarakat dengan harta gerak dengan jaminan sistem gadai sehingga bank ini pada hakikatnya telah memberikan jasa pegadaian. Pada saat Inggris mengambil alih pemerintah (1811-1816) Bank Van Leening milik pemerintah di bubarkan dan masyarakat di beri keleluasaaan untuk mendirikan usaha pegadaian dengan mendapat persetujuan dari pemerintah setempat.
Pada awal abad 20-an pemerintah Hindia-Belanda berusaha mengambil alih usaha pegadaian dan memonopolinya dengan cara mengeluarkan staatsblad No.131 tahun 1901. Maka pada tanggal 1 April1901 berdirilah Kantor Pegadaian yang berarti Lembaga Resmi Pemerintah. Di zaman kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia mengambil usaha Dinas Pegadaian dan mengubah status pegadaian menjadi Perusahaan Negara (PN) Pegadaian pada tahun 1961 No. 178. Dalam perkembangannya, pada tahun 1969 keluarlah Undang-Undang Republik Indonesia N0. 9 tahun 1969 yang mengatur bentuk-bentuk usaha Negara menjadi tiga bentuk perusahaan yaitu Perusahaan Jawatan (PERJAN), Perusahaan Umum (PERUM) dan Perusahaan Perseroan (PERSERO). 
            Pemerintah Nomor. 7 tanggal 11 Maret 1969 Perusahaan Negara (PN) Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Jawatan (PERJAN). Kemudian pemerintah meningkatkan status pegadaian dari Perusahaan Jawatan (PERJAN) menjadi Perusahaan Umum (PERUM) yang di tuangkan dalam Peraturan Pemerintah N0. 10 April 1990.
Visi Pegadaian
MODERN, dilihat dari kondisi fisik, sarana dan prasarana, serta sistem kerja sebagaimana halnya sebuah perkantoran modern. Modern juga dalam arti mampu menghasilkan produk atau jasa yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern atau mampu memberi solusi bagi masalah ekonomi masyarakat yang hidup di zaman modern ini.
DINAMIS, dicerminkan dari sikap dan perilaku seluruh pegawai dalam hal kecepatan pelayanan dan kemampuan menyesuaikan diri dengan perubahan yang tertumpu pada peningkatan keterampilan, sikap yang lebih komunikatif, efisien dan integritas tinggi. Dinamis juga berarti harus semakin mampu merespon dengan cepat kebutuhan konsumen baik internal maupun eksternal.
INOVATIF, tercermin dari kemampuan perusahaan dalam menyempurnakan produk-produk baru yang menguntungkan. Selain dari itu, sistem dari prosedur harus selalu di perbaiki dan di sempurnakan. Oleh karena itu di masa depan Pegadaian di harapkan mampu tumbuh dan berkembang menjadi perusahaan yang solid.
Misi Pegadaian
1. Membina perekonomian rakyat kecil dengan menyalurkan kredit atas dasar hukum gadai kepada :  a. Para petani, nelayan, pedagang kecil, industri kecil yang bersifat produktif ; b. Kaum buruh atau pegawai negeri yang ekonominya lemah yang bersifat konsumtif.
2. Ikut serta mencegah adanya pemberian pinjaman yang tidak wajar, ijon, pegadaian gelap dan praktek riba lainnya.
3.  Disamping menyalurkan kredit, maupun usaha-usaha lainnya yang bermanfaat terutama bagi pemerintahan dan masyarakat.
4. Membina pola perkreditan supaya benar-benar terarah dan bermanfaat terutama mengenai kredit yang sifatrnya produktif dan bila perlu memperluas daerah operasinya.
   Mengelola penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai dengan cara mudah, cepat, aman dan hemat; (1) Menciptakan dan mengembangkan usaha-usaha lain yang menguntungkan bagi pegadaian maupun masyarakat.; (2) Mengelola keuangan, perlengkapan, kepegawaian, pendidikan dan pelatihan; (3).  Mengelola organisasi, tata kerja dan tata laksana pegadaian; (4).  Melakukan penelitian dan pengembangan serta mengawasi pengelolaan pegadaian.
No
Tahun
Jumlah
Debitur ganda
Jumlah pinjaman
Keterangan
1
2012
54.812.805
1,119,088,300
4.473.135

2
2013
71.268.590
972,853,000
7.822.599

3
2014
92.452.700
729,687,700
11.401.620

Perjanjijan kredit dengan jaminan barang bergerak menurut Undang-undang Perlindungan konsumen, bahwa:
(1)      Pihak pertama adalah kuasa pemutus kredit yang bertindak untuk dan atas nama PERUM Pegadaian.
(2)      Pihak Kedua adalah nasabah yang namanya tercantum dalam surat bukti kredit (SBK).
(3)      Pihak Pertama memberikan pinjaman kepada pihak kedua dengan jaminan barang bergerak. Pihak kedua menerima dan mengakui penetapan nilai taksiran barang jaminan, uang pinjaman dan jangka waktu kredit sebagaimana dimaksud pada halaman depan Surat bukti Kredit ini.
(4)      Pihak kedua menyatakan bahwa barang jaminan yang diserahkan sebagai barang jaminan adalah milik sendiri atau milik orang lain yang dikuasakan kepada pihak kedua untuk digadaikan. Pihak kedua menyatakan kebenaran keterangan barang jaminan yang tercantum pada Surat Bukti Kredit ini.
(5)      Pihak kedua menyatakan bahwa barang jaminan yang diserahkan sebagi barang jaminan bukan dari hasil kejahatan dan atau tidak sedang dalam perkara dengan pihak lain.
(6)      pihak kedua menyatakan berhutang dan berkewajiban untuk membayar pelunasan uang pinjaman dan sewa modal sebesar tarif yang berlaku dipihak pertama.
(7)      Pihak kedua dapat melakukan perpanjangan kredit, mengansur uang pinjaman atau menambah uang pinjaman selama nilai taksiran masih memenuhi syarat dengan memperhitungkan sewa modal yang akan masih dibayar. Jika terdapat penurunan nilai taksiran barang jaminan pada saat perpanjangan kredit, maka pihak kedua wajib mengansur uang pinjaman sesuai dengan taksiran yang baru.
(8)      Apabila terdapat perubahan uang pinjaman karena transaksi mengansur atau menambah uang pinjaman akan dicatat pada nota transaksi dalam lembar tersendiri. Nota transaksi tersebut merupakan addendum yang menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan perjanjian ini. Apabila terdapat perbedaan data yang dijadikan acuan adalah yang tervalidasi dipihak pertama.
(9)      Pihak pertama akan memberikan ganti rugi apabila barang jaminan mengalami kerusakan atau hilang yang tidak disebabkan oleh suatu bencana alam yang ditetapkan pemerintah. Ganti rugi diberikan sebesar nilai barang pada saat terjadi hilang atau rusaknya barang jaminan setelah diperhitungkan dengan kewajiban pihak kedua, sesuai ketentuan yang berlaku dipihak pertama.
(10)   Jika sampai dengan jatuh tempo pihak kedua tidak melunasi atau memperpanjang kredit, maka  pihak pertama berhak melakukan penjualan barang jaminan secara lelang. Tanggal jatuh tempo dan tanggal lelang tercantum dalam nota transaksi.
(11)   Hasil penjualan lelang setelah dikurangi uang pinjaman, sewa modal dan biaya lelang merupakan uang kelebihan yang menjadi hak pihak kedua. Jangka waktu pengambilan uang kelebihan sampai dengan satu tahun sejak tanggal lelang.
(12)   Jika penjualan barang jaminan pada saat lelang tidak cukup untuk menutupi kewajiban untuk pihak kedua, maka pihak kedua wajib membayar kekurangan kewajiban tersebut.
(13)   Perpanjangan kredit dapat dilakukan sampai dengan jatuh tempo. Priode perhitungan sewa modal berikutnya dimulai sejak tanggal perpanjangan kredit. Jika terjadi perubahan uang pinjaman , maka perhitungan sewa modal berdasarkan pada nilai uang pinjaman yang baru.
(14)   Terhadap barang jaminan telah dilunasi harus segera diambil oleh pihak kedua paling lambat sepuluh hari sejak tanggal transaksi pelunasan. Pihak kedua menyetujui membayar jasa penitipan barang jaminan jika sampai dengan batas waktu tersebut barang jaminan belum diambil, besarnya tarif jasa penitipan sesuai ketentuan yang berlaku dipegadaian.
(15)   Pengambilan barang jaminan hanya dapat  dilakukan oleh pihak kedua dengan menyerahkan Surat Bukti kredit dan menunjukkan tanda identitas diri yang masih berlaku. Pihak kedua dapat mengalihkan hak untuk mengambil barang jaminan yang telah dilunasi kepada orang lain dengan mengisi dan membubuhkan tanda tangan pada kolom pengalihan hak yang tersedia, dengan melampirkan foto copy KTP pihak kedua yang menerima kuasa. Jika SBK hilang maka pihak kedua wajib melaporkan kepada pihak pertama disertai dengan keterangan dari kepolisian.
(16)   Pihak kedua menyatakan sepakat dan mengikuti segala peraturan dan ketentuan yang berlaku dipihak pertama.
(17)   Apabila terjadi perselisihan antara pihak pertama dan pihak kedua akan diselesikan secara musyawarah untuk mufakat dan apabila tidak dapat tercapai kesepakatan maka akan diselesaikan melalui pengadilan negeri setempat.
(18)   Perjanjian ini berlaku dan mengikat para pihak sejak SBK ini ditandatangani oleh kedua belah pihak pada kolom yang tersedia dihalaman depan.

B.   Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Nasabah
Perum Pegadaian merupakan salah satu lembaga pemerintah yang bergerak di bidang jasa penyaluran pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai, dengan jaminan barang bergerak. Pegadaian sebagai lembaga jasa keuangan (kredit) yang merupakan kegiatan perekonomian, hal ini tertuang dalam PP No. 10 tahun 1990, yang mengatur tentang perubahan bentuk perusahaan dari Perusahaan Jawatan (PERJAN), menjadi Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian. Dengan perubahan status hukum dan dengan motto “Mengatasi Masalah Tanpa Masalah”.
Peranan Perum Pegadaian turut melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijakan dan program pemerintah dibidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai. Kredit yang diberikan Perum Pegadaian relatif kecil, sehingga masyarakat tidak merasa keberatan untuk mengembalikan pinjaman tersebut apabila tiba hari jatuh tempo, dan ini merupakan bukti sosial bahwa Perum Pegadaian sebagai lembaga kredit yang dapat membantu kebutuhan masyarakat.
            Berdasarkan hasil wawancara dengan (Defri Zamzani, wawancara: tanggal 20 Maret 2015), Kepala Cabang Perum Pegadaian Cabang Sidrap, mengenai pemberitahuan kepada nasabah mengenai terjadinya lelang terhadap barang jaminan, mengatakan bahwa:
Pihak Perum Pegadaian Cabang Sidrap melakukan pemberitahuan kepada nasabah dengan cara: Nasabah kredit diberitahu melalui surat Pemberitahuan lelang dapat dilakukan oleh Pegadaian dengan cara melalui surat pemberitahuan pelaksanaan lelang terhadap barang jaminan milik nasabah yang kreditnya akan jatuh tempo. Surat pemberitahuan ini dilakukan oleh Perum Pegadaian terhadap semua nasabah yang kreditnya akan jatuh tempo, baik kredit golongan A, B, C, D, jadi tidak ada pembedaan perlakuan karena selama ini masih ada pembedaan.

          Untuk nasabah kredit golongan C, D biasanya diberitahu melalui surat, sedangkan untuk nasabah kredit golongan A, B nasabah kredit didatangi langsung oleh Petugas Pegadaian Untuk kredit dengan jumlah antara\ Rp. 5.000.000 s/d Rp. 50.000.000, pemberitahuan bisa dilakukan petugas Perum Pegadaian secara langsung mendatangi nasabah kredit tersebut.
          Biasanya kredit dengan jumlah yang besar jumlahnya tidak begitu banyak, sehingga sangat dimungkinkan didatangi petugas Pegadaian untuk menjelaskan akan adanya pelaksanaan lelang atas barang jaminan kredit nasabah. Diumumkan secara langsung dikantor Pegadaian Pemberitahuan akan adanya pelaksanaan lelang atas barang jaminan dilakukan dengan memberi informasi secara langsung kepada nasabah di kantor Pegadaian oleh petugas Pegadaian. Bagi nasabah diingatkan untuk melihat bukti kreditnya, kapan jatuh temponya, Dengan tujuan agar nasabah segera melunasi kreditnya.
           Pengumuman melalui papan pengumuman, Pemberitahuan akan adanya pelaksanaan lelang atas barang jaminan dilakukan dengan memberikan informasi kepada nasabah melalui papan pengumuman yang ada di kantor Pegadaian, informasi tersebut harus secara jelas, waktu  pelaksanaan lelang, tempat pelaksanaan lelang dan lelang barang jaminan untuk kredit yang jatuh tempo sampai dengan kapan (tanggal, bulan, tahun)
           Melalui computer klik Pegadaian Untuk lebih meningkatkan pelayanan terhadap nasabah, perlu juga ditingkatkan informasi mengenai pelelangan, jatuh tempo kredit nasabah dan layanan lain Pegadaian melalui seperangkat computer. Computer diletakkan di ruang tunggu nasabah, sehingga dapat digunakan oleh nasabah yang ingin mengetahui tentang lelang, tanggal jatuh tempo kredit, layanan pegadaian dan informasi lainnya.
           Berdasarkan hasil wawancara dengan (Fahrun, wawancara 20 Maret 2015) salah salah staf  Perum Pegadaian Cabang Sidrap terkait dengan proses pelayanan kebutuhan nasabah sebagai hak konsumen yang harus dilayani dengan baik yang mengatakan bahwa:
                        Dalam hal ini nasabah diberi kesempatan untuk mengajukan permohonan atau permintaan kredit atau pelelangan terhadap barang yang akan dilelang oleh Perum Pegadaian Cabang Pangkajene, dengan cara mengisi format  tentang permintaan kredit atau format tentang pelelangan barang. Selanjutnya diserahkan kepada petugas atau staf yang menangani hak tersebut untuk ditindak lanjuti. Dengan demikian nasabah dapat ikut terlibat dalam proses pelayanan tersebut.

           Nasabah dapat menggunakan sendiri ataupun dengan bantuan petugas yang khusus untuk itu Misalnya computer tersebut diberi nama Klik Pegadaian. Apabila informasi mengenai lelang tersebut sudah diketahui langsung oleh nasabah, diharapkan nasabah akan melunasi pinjamannya. Diumumkan melalui radio terdekat, Selama ini pengumuman lelang melalui radio terdekat, biasanya RRI merupakan radio pilihan untuk mengumumkan akan adanya lelang barang jaminan milik nasabah yang kreditnya akan jatuh tempo dan yang sudah tidak ditebus.
            Berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Perum Pegadaian Cabang Sidrap mengenai mekanisme pemberitahuan kepada nasabah apabila terjadi eksekusi lelang tersebut juga sesuai dengan ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata. Cara pemberian teguran terhadap debitur yang lalai tersebut telah diatur dalam dalam pasal 1238 KUH Perdata yang menentukan bahwa teguran itu harus dengan surat perintah atau dengan akta sejenis. Yang dimaksud dengan surat perintah dalam pasal tersebut adalah peringatan resmi dari juru sita pengadilan, sedangkan yang dimaksud dengan akta sejenis adalah suatu tulisan biasa (bukan resmi), surat maupun telegram yang tujuannya sama yakni untuk memberi peringatan-peringatan kepada debitur untuk memenuhi prestasi dalam waktu seketika atau dalam tempo tertentu, sedangkan menurut Ramelan Subekti akta sejenis lazim ditafsirkan sebagai suatu peringatan atau teguran yang boleh dilakukan secara lisan, asal cukup tegas yang menyatakan desakan kreditur kepada debitur agar memenuhi prestasinya seketika atau dalam waktu tertentu.
         Berdasarkan hasil wawancara dengan (Juwita, wawancara 20 Maret 2015) salah seorang pegawai Perum Pegadaian Cabang Sidrap yang bertugas untuk mengeluarkan surat bukti jaminan kredit  tentang perjanjian antara nasabah dengan pihak perum pegadaian Cabang Sidrap yang mengatakan bahwa:
          Perum Pegadaian Cabang Sidrap senantiasa memberikan kesempatan kepada nasabah untuk melakukan keberatan  atas tindakan pelelangan yang akan dilakukan oleh Perum Pegadaian, dengan cara mengajukan keberatan melalui lembaga-lembaga hukum yang berkewenangan  untuk itu. Dengan demikian maka hak-hak nasabah dapat dijunjung tinggi oleh hukum untuk suatu keadilan.

            Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyatakan bahwa:             “Si berutang adalah, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling). Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah:
1. Surat perintah Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita”
2. Akta sejenis Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris. Tersimpul dalam perikatan itu sendiri Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi. Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.
         Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.        
           Berdasarkan bentuk perlindungan yang diberikan oleh Perum Pegadaian tersebut di atas dapat peneliti jelaskan bahwa perlindungan hukum dalam bidang kredit gadai merupakan faktor penting untuk menciptakan kepastian hukum, manfaat, dan keadilan bagi para pihak dalam perjanjian kredit gadai. Dalam tatanan perlindungan hukum debitur menghadapi resiko yang lebih kecil dibandingkan dengan kreditur, namun sering terjadi posisi hukum Debitur lebih lemah di dalam perjanjian kredit dan oleh karena itu.
           Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Cabang Perum Pegadaian Sidrap (Defri Zamzani, wawancara 20 Maret 2015) terkait dengan terjadi wanprestasi terhadap nasabah yang mengatakan bahwa:
                      Dalam pemberian pelayanan kredit atau pinjaman terhadap nasabah yang bermohon dimana pihak Perum Pegadaian Cabang Sidrap senantiasa memperhatikan hak dan kewajiban setiap nasabah dengan menunjukkan beberapa aturan tertulis yang termuat dalam lembaran surat perjajian kredit atau pinjaman yang dilengkapi dengan tanggal pembayaran dan tanggal jatuh tempoh pembayaran kredit. Hal ini sangat menjadi perhatian dari pihak Perum Pegadaian Cabang Sidrap untuk menghindari terjadinya wanprestasi terhadap pemegang gadai.

            Prestasi menurut hukum perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1234 KUH Perdata adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu. Wanprestasi ini dalam hukum Perdata ada 3 jenis yaitu: 1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali, 2) terlambat memenuhi prestasi, 3) Memenuhi prestasi secara tidak baik.  Dari ketiga poin tersebut diatas wanprestasi yang sering terjadi terhadap pemegang gadai yaitu memenuhi prestasi secara tidak baik. Dalam bab ini fokus pembahasan terhadap akibat hukum tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh Perum Pegadaian terhadap nasabah kaitannya dengan perlindungan hukum bagi debitur karena akibat wanprestasi tersebut.
           Dasar-dasar pikiran di atas menggaris bawahi bahwa perlindungan hukum bagi debitur karena tindakan wanprestasi yang dilakukan Perum Pegadaian, semestinya diperluas dan dipertegas, dapat dilihat bahwa hampir semua point di atas sebagai kewajiban pemegang gadai tidak pernah dilaksanakan.
         Pengumuman lelang di papan pengumuman pada Kantor Cabang Pegadaian, menurut penulis bukanlah wujud tanggung jawab pemegang gadai  barangkali lebih merupakan penyempitan makna pemberitahuan, tindakan ini sebenarnya dapat juga diklasifikasikan sebagai tindakan wanprestasi, namun sangat sulit mengarahkan pada tindakan wanprestasi, karena memang perjanjian kredit dengan jaminan barang bergerak telah dikondisikan demikian.
          Tindakan wanprestasi akan menyebabkan salah satu pihak mengalami kerugian, dalam perjanjian gadai wanprestasi dapat dilakukan dilakukan oleh kreditur atau Perum Pegadaian, tindakan wanprestasi ini dapat berupa rusaknya barang gadai, pelaksanaan lelang tanpa memberitahukan debitur serta tidak adanya pengembalian uang sisa hasil lelang setelah dikurangi pokok pinjaman beserta bunganya.
          Menurut analisis penulis perjanjian gadai itu sendiri merupakan perjanjian baku, yang intinya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen khususnya Pasal 18 yaitu sebagai berikut: (1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
            Berdasarkan hasil wawancara dengan (Wati dan Lina, wawancara 20 Maret 2015) dua orang nasabah Perum Pegadaian Cabang Sidrap, tentang wanprestasi terhadap nasabah sebagai penerima pinjaman atau kredit, mengatakan bahwa:
Sebagai nasabah yang mempunyai kepentingan dan kebutuhan yang sangat ,mendesak untuk dipenuhi, maka secara praktis akan berhubungan dengan perum pegadaian untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga apapun bentuk perjanjian yang termuat dalam lembaran surat pejanjian pinjaman atau kredit pasti nasabah akan mengikutinya karena memang kehadiran perum pegadaian khususnya di Sidrap sangat berarti di mata masyarakat yang secara cepat dapat memberikan harapan kepada nasabahnya.

           Sejalan dengan penjelasan tersebut,. maka tindakan wanprestasi terhadap benda jaminan gadai milik debitur dapat berupa: 1) karena kelalaian karyawan Perum Pegadaian menyebabkan benda jaminan tertukar, 2) karena kelalaian karyawan Perum Pegadaian menyebabkan benda jaminan hilang, 3) karena kelalaian karyawan Perum Pegadaian menyebabkan benda jaminan rusak.
        Menyangkut ketiga aspek di atas, maka perlu juga dikemukakan dasar dari kewajiban pemegang gadai yaitu : 1. Kewajiban memberitahukan kepada pemberi gadai jika barang gadai dijual. 2. Kewajiban memelihara benda gadai. 3. Kewajiban untuk memberitahukan perhitungan antara hasil penjualan barang gadai dengan besarnya piutang kepada pemberi gadai. 4. Kewajiban untuk mengembalikan barang gadai. Menurut Pasal 1159 Ayat (1) KUH Perdata, kewajiban ini dilaksanakan karena: . Kreditur telah menyalahgunaan barang gadai.  Debitur telah melunasi sepenuhnya, baik utang pokok, bunga dan biaya hutangnya serta biaya untuk menyelamatkan barang gadai. 5. Kewajiban untuk memperhitungkan hasil penagihan bunga piutang gadai dengan besarnya bunga piutang kepada debitur. 6. Kewajiban untuk mengembalikan sisa hasil penagihan piutang gadai kepada pemberi gadai.
         Dalam pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
(1)  Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
(2)  Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
(3)  Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

C.   Upaya Hukum Yang Ditempuh Apabila Terjadi Wanprestasi
            Berdasarkan hasil wawancara dengan (Defri Zamzani, wawancara 20 Maret 2015), Kepala Cabang Perum Pegadaian Sidrap,  tentang upaya hukum yang ditempuh oleh nasabah jika terjadi wanprestasi dari pemegang gadai, yang mengatakan bahwa:
Jika terjadi wanprestasi terhadap pemegang gadai, maka ada beberapa jalan yang dapat ditempuh, adalah: (1) melalui musyawarah mufakat adalah jalan paling awal yang ditawarkan dalam menyelesaian masalah; (2)  melalui mediasi, seorang mediator berperan sebagai penengah yang membantu para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapinya; (3)  melalui arbitrase atau pengadilan, melalui arbitrase atau peradilan selama ini belum pernah terjadi, hal tersebut dikarenakan penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase atau peradilan tidak mudah dilaksanakan bagi nasabah kecil dan usaha mikro dikarenakan memerlukan waktu dan biaya yang mahal.
1.  Menyelesaikan Sengketa Melalui Jalur Musyawarah Mufakat Penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah mufakat ini merupakan jalur paling awal yang dilalui oleh pihak yang bersengketa sebelum akhirnya masuk pada jalur hukum atau pengadilan. Dengan adanya jalur ini, diharapkan para pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan masalahnya dengan cara yang baik-baik (musyawarah) sehingga sampai pada perdamaian (mufakat).
              Berikut ini langkah-langkah dalam penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah mufakat, yaitu:
a.  Mengembalikan pada butir-butir akad yang telah ada sebelumnya.
b.  Para pihak yakni nasabah dan Pegadaian kembali duduk bersama dan fokus kepada masalah yang dipersengketakan.
c.  Mengedepankan musyawarah dan kekeluargaan, hal ini sangat dianjurkan untuk menyelesaikan sengketa.
d.  Tercapainya perdamaian antara pihak yang bersengketa.

            Berdasarkan langkah-langkah penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah mufakat ini, maka sangat diharapkan terciptanya perdamaian antara nasabah dan Pegadaian. Akan tetapi ketika melalui jalur ini persengketaan tidak juga selesai, maka persengketaan ini dapat dilakukan melalui lembaga mediasi untuk segera mendapatkan solusi yang baik. Bila jalur mediasi tidak juga mendapatkan hasil, maka jalur paling akhir yang harus ditempuh adalah jalur Pengadilan.
2. Melalui Mediasi Pengertian Mediasi secara normatif tidak kita jumpai dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Oleh karena itu pengertian mediasi di ambil dari pendapat ahli dan kamus.
Sementara dalam Black Law Dictionary mengenai mediasi ini didefiniskan sebagai berikut: Mediation is privat, informal dispute resolution process in which a neutral third person, the mediator, helps disputing parties to reach an agreement. The mediator has no power to impose a decission on the parties. Jadi, mediasi adalah sebuah mekanisme penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga yang netral, dalam artian pihak ketiga dimaksud (mediator) tidak memiliki kompetensi untuk membuat keputusan.
            Mediator hanya diperkenankan memberikan tawaran alternatif solusi dan para pihak sendiri yang pada akhirnya memberikan putusannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya seorang mediator berperan sebagai penengah yang membantu para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapinya. Sebagai penengah di sini di samping sebagai penyelenggara dan pemimpin diskusi, juga dapat membantu para pihak untuk mendesain penyelesaian sengketanya, sehingga dapat menghasilkan kesepakatan bersama. Untuk itu seorang mediator harus memiliki kemampuan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang nantinya akan dipergunakan sebagai bahan untuk menyusun dan mengusulkan berbagai pilihan penyelesaian masalah yang disengketakan.
3.  Melalui Lembaga Arbitrase dan Atau Peradilan.
 Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan upaya penyelesaian sengketa antara nasabah dengan Perum Pegadaian melalui arbitrase dan atau peradilan selama ini belum pernah terjadi, hal tersebut dikarenakan penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase atau peradilan tidak mudah dilaksanakan bagi nasabah kecil dan usaha mikro dikarenakan memerlukan waktu dan biaya yang mahal.
             Sehingga diupayakan penyelesaian yang sederhana, murah, dan cepat melalui lembaga mediasi agar hak -hak nasabah dapat terpenuhi dengan baik. Berdasarkan hal tersebut di atas, menunjukkan bahwa upaya hukum yang dapat dilakukan oleh nasabah apabila terjadi wanprestasi dari pemegang gadai adalah melalui musyawarah mufakat, melalui mediasi dan arbitrase dan atau peradilan.
               Namun fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa nasabah yang barang jaminannya telah dilelang oleh Perum Pegadaian tidak pernah melakukan upaya hukum. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil angket yang diisi oleh nasabah Perum Pegadaian Cabang Surakarta yang menyatakan bahwa para nasabah mempunyai keinginan menggugat Perum Pegadaian melalui jalur hukum akibat barang jaminannya di lelang.
                Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi nasabah yang tidak mempunyai keinginan untuk menggugat Perum Pegadaian melalui jalur hukum akibat barang jaminannya di lelang adalah sebagai berikut:
1) Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh nasabah.
2) Nasabah tidak mamahami prosedur hukum, sehingga merasa takut untuk melakukan gugatan hukum terhadap Perum Pegadaian.
3) Nasabah beranggapan bahwa dalam berperkara di Pengadilan memerlukan biaya yang besar dan memakan waktu yang lama.



BAB  V
PENUTUP

A.   Kesimpulan
          Berdasarakan analisis hasil penelitian dan pembahasan tersebut, maka dapat diungkapkan beberapa kesimpulan sebagain berikut:
1.     Perum Pegadaian Cabang Sidrap dalam memberikan pelayanan kepada nasabah: (a)  senantiasa  memperhatikan aturan-aturan tentang penggunaan kontrak baku antara Perum Pegadaian dengan nasabah, sehingga jarang terjadi wanprestasi yang berujung pada masalah hukum; (b) Perlindungan hukum yang diberikan pegadaian selama ini terhadap debitur dalam hal terjadi pelelangan barang jaminan gadai milik debitur cenderung berjalan secara legal rasional.
2.     Upaya hukum yang ditempuh oleh nasabah jika terjadi wanprestasi dari pemegang gadai adalah menyelesaikan sengketa melalui jalur musyawarah mufakat antara Perum Pegadaian dengan nasabah, melalui musyawarah mufakat sangat diharapkan terciptanya perdamaian antara nasabah dan Pegadaian. Tetapi ketika melalui jalur ini persengketaan tidak juga selesai, maka persengketaan ini dapat dilakukan melalui lembaga mediasi untuk segera mendapatkan solusi yang baik. Bila jalur mediasi tidak juga mendapatkan hasil, maka jalur paling akhir yang harus ditempuh adalah jalur Pengadilan.
B.   Saran
           Adapun saran yang dapat penulis berikan dalam penelitian ini adalah:
1. Direkomendasi kepada pihak Perum Pegadaian Cabang Sidrap bahwa perlindungan debitur terhadap tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh Perum Pegadaian dapat lebih transparan sehingga kualitas perlindungan hukum terhadap nasabah menjadi lebih efektif.
 2. Perlu dibacakannya isi perjanjian kredit gadai ketika dilaksanakannya akad kredit, serta perlu adanya pemberian salinan isi perjanjian kredit gadai yang diberikan kepada nasabah, sebab selama ini nasabah tidak menyimpan akta perjanjian kredit gadai sehingga kurang memahami hak dan kewajibannya sebagai pemberi gadai.











DAFTAR PUSTAKA

Barkatullah, Abdul Halim, 2010, Hak-Hak Konsumen, Nusa Media, Bandung.

Catur, N. R. Adi Purwono, 2007, Perlindungan Hukum Nasabah Kredit Kecil di Perum Pegadaian. Tesis UNS Surakarta..
Dimyati, Khudzaifah, 2005, Teorisasi Hukum : Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945 - 1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta.
Elsas, R. Dan Krahnen, 2000, Is Relationship Lending Special? Evidence from Credit-File Data in Germany. Journal of Banking & Finance 22 (1998) 1283 -1316.

Hadikusuma, Hilman, 2001, Hukum Perekonomian Adat Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Hasanah, Hetty, 2004, Perlindungan Konsumen dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen atas Kendaraan Bermotor dengan Fidusia, (http//jurnal.unikom.ac.id/vol3/perlindungan.html).
Hardjan Rusli, 1996, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
HS. Salim, 2008, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Kojima, Naoki, 2003, Imperfect Competition in Differentiated Credit Contract Markets, University of Freiburg,

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, 2007, Hak Istimewa, Gadai dan Hipotik. Kencana, Jakarta.
Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Surakarta : Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret

Muhammad, Abdulkadir, 2002, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung.
Oterio, Maria, 2005, Bringing Development Back, into Micro-finance,                       Journal of Microfinance, Volume 1 No. 1. Patrik, Purwahid dan Kashadi, 2005, Hukum Jaminan Edisi revisi dengan UUHT , Fakultas Hukum Undip, Semarang.
Pramono, Nindyo, 2007, Lembaga Mediasi Perbankan Independen dan MediasiPerbankan Oleh BI (Temporary), Makalah pada Diskusi Terbatas Pelaksanaan Mediasi Perbankan Oleh Bank Indonesia & Pemben –tukan Lembaga Mediasi Independen, Kerjasama Bank Indonesia dan Magister Hukum UGM, Denpasar, 11 April 2007.
Rahardjo, Satjipto, 2003, Sisi sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, Jakarta: Kompas.

Sidabolok, Janus, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia ,
Bandung : Citra Aditya Bakti.
Shidarta, 2004, Pokok-pokok Filsafat Hukum, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Soemitro, Rochmat, 2000, Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, Eresoo, Jakarta.
Wirjono Prodjodikoro, 1993, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung.