Materi-Materi Hukum di Indonesia

law community

Saturday, 14 January 2017

UNDANG-UNDANG  REPUBLIK INDONESIA NOMOR   18   TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT

UNDANG-UNDANG  REPUBLIK INDONESIA NOMOR   18   TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT DENGAN  RAHMAT  TUHAN  YANG  MAHA ESA PRESIDEN  REPUBLIK  INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara  Republik Indonesia,  sebagai  negara  hukum berdasarkan Pancasila  dan UndangUndang  Dasar  Negara  Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan  mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera,  aman,  tenteram,  tertib,  dan  berkeadilan; b. bahwa  kekuasaan kehakiman  yang  bebas  dari  segala campur tangan dan pengaruh  dari luar,  memerlukan  profesi  Advokat yang bebas,  mandiri,  dan  bertanggung  jawab,  untuk terselenggaranya suatu peradilan yang  jujur, adil,  dan memiliki  kepastian  hukum bagi  semua pencari  keadilan dalam  menegakkan hukum,  kebenaran,  keadilan,  dan hak  asasi  manusia; c. bahwa Advokat  sebagai  profesi  yang bebas,  mandiri,  dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum,  perlu  dijamin dan dilindungi oleh undangundang demi  terselenggaranya  upaya penegakan  supremasi  hukum; d. bahwa  peraturan  perundangundangan  yang  mengatur  tentang Advokat yang berlaku saat ini  sudah tidak sesuai  lagi  dengan kebutuhan hukum  masyarakat; e. bahwa  berdasarkan  pertimbangan  sebagaimana  dimaksud dalam huruf  a,  huruf b, huruf c, dan huruf  d,  perlu  membentuk UndangUndang  tentang  Advokat. Mengingat: 1. Pasal 5  ayat  (1)  dan Pasal 20 UndangRepublik  Indonesia  Tahun  1945; 2. Undang  Dasar  Negara Undang-Undang  Nomor  1/Drt/1951  tentang  Tindakantindakan Sementara  Untuk  Menyelenggarakan  Kesatuan  Sus dan Acara Pengadilanunan,  Kekuasaan, pengadilan  Sipil  (Lembaran Negara  Tahun 1951 Nomor  9,  Tambahan Lembaran Negara Nomor  81); 3. Undang-Undang  Nomor  14  Tahun  1970  tentang  Ketentuanketentuan  Pokok  Kekuasaaan  Kehakiman (Lembaran  Negara  Republik Indonesia  T ahun 1970  Nomor  74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor  2951)  sebagaimana telah  diubah  dengan Undangundang Nomor 35  Tahun  1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang  Nomor  14  Tahun 1970 tentang  Ketentuanketentuan

Posted by Herwandy Baharuddin, S.H., M.H. at 10:48 No comments:
Email ThisBlogThis!Share to XShare to FacebookShare to Pinterest
Labels: UNDANG-UNDANG  REPUBLIK INDONESIA NOMOR   18   TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT

Wednesday, 30 November 2016

PERATURAN PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN MAGANG UNTUK CALON ADVOKAT

PERATURAN PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN MAGANG UNTUK CALON ADVOKAT

Menimbang:

a. Bahwa  salah  satu  persyaratan  yang  harus  dipenuhi  untuk  dapat diangkat  sebagai  advokat  adalah  mengikuti  magang  selama  2  (dua) tahun terus-menerus pada kantor advokat;  

b. Bahwa  untuk  lebih  menselaraskan  peraturan  Perhimpunan  Advokat Indonesia  (“PERADI”)  tentang  pelaksanaan  magang  dengan ketentuan  dalam  perundang-undangan  yang  berlaku  tentang advokat  maka  perlu  dilakukan  perubahan  dan  atau  penyesuaian peraturan pelaksanaan magang untuk calon advokat;

Mengingat:

1. Pasal  3  ayat  (1)  huruf  g,  Pasal  29  ayat  (5),  Pasal  29  ayat  (6)  UndangUndang  No.  18  Tahun  2003  tentang  Advokat  (Lembaran  Negara Republik  Indonesia  Tahun  2003  Nomor  49,  Tambahan  Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4282);

2. Anggaran  Dasar  Perhimpunan  Advokat  Indonesia  sebagaimana ternyata  dalam  Akta  Pernyataan  Pendirian  Perhimpunan  Advokat Indonesia  Nomor  30  tanggal  8  September  2005  yang  dibuat  di hadapan  Buntario  Tigris  Ng,  S.E.,  S.H.,  M.H.,  Notaris  di  Jakarta, yang  telah  mendapatkan  pengesahan  Menteri  Hukum  dan  Hak Asasi  Manusia  Republik  Indonesia  sesuai  Surat  Keputusan  nomor AHU-120.AH.01.06  Tahun  2009  tanggal  13  November  2009,  dan telah  diumumkan  dalam  Berita  Negara  Republik  Indonesia  tanggal 08  Desember  2009  nomor  98,  Tambahan  nomor  82,  sebagaimana telah  diubah  oleh  Akta  No.  85  tanggal  21  Januari  2015  yang  telah mendapat  pengesahan  Menteri  Hukum  dan  Hak  Asasi  Manusia Republik  Indonesia  sesuai  Surat  Keputusan  Nomor  AHU15.AH.01.08  Tahun  2015  tanggal  20  Maret  2015  tentang Persetujuan  Perubahan  Pengurus,  Akta  No.  8  tanggal  8  Juli  2015 Tentang  Perubahan  Pengurus,  Keputusan  DPN  Nomor:  KEP. 504/PERADI/DPN/VIII/2015  tanggal  21  Agustus  2015  Tentang Perubahan  Anggaran  Dasar  Perhimpunan  Advokat  Indonesia  dan Keputusan  DPN  Nomor:  KEP.  505/PERADI/DPN/VIII/2015  tanggal 28 Agustus 2015 Tentang Perubahan Pengurus;

Memperhatikan:     

Keputusan  Rapat  Dewan  Pimpinan  Nasional  Perhimpunan  Advokat Indonesia;

M E M U T U S K A N

Menetapkan:

PERATURAN  PERHIMPUNAN  ADVOKAT  INDONESIA  TENTANG  PELAKSANAAN MAGANG UNTUK CALON ADVOKAT

BAB I
KANTOR ADVOKAT YANG DAPAT MENERIMA MAGANG DAN ADVOKAT PENDAMPING

Pasal 1

Kantor  Advokat  yang  dapat  menerima  magang  adalah  Kantor  Advokat  yang  memenuhi syarat-syarat di bawah ini:

a.  Didirikan  oleh  seorang  atau  lebih  advokat  yang  terdaftar  dalam  buku  daftar  anggota PERADI.
b.  Tersedianya  advokat  yang  dapat  menjadi  Advokat  Pendamping  untuk  para  Calon Advokat yang  melaksanakan  magang.
c.  Bersedia  menerbitkan  surat  keterangan  magang  yang  isinya  menjelaskan  bahwa  Calon Advokat  telah  melaksanakan  magang  di  Kantor  Advokat  dan  menerangkan  jangka waktu magang  Calon  Advokat.
d.  Apabila  diminta,  bersedia  memberikan  bukti-bukti  bahwa  Calon  Advokat  telah melaksanakan magang di Kantor Advokat.

Pasal 2

Advokat  yang  dapat  menjadi  Advokat  Pendamping  harus  memenuhi  ketentuan  sebagai berikut:

a.  Terdaftar  dalam  buku daftar  anggota.
b.  Telah  menjadi  advokat  sekurang-kurangnya  selama  7  (tujuh)  tahun  ketika  akan  mulai menjadi  Advokat  Pendamping.
c.  Tidak sedang  cuti  sebagai  advokat.
d.  Tidak  sedang  menjalani  sanksi  pemberhentian  sementara  yang  diputus  oleh  Dewan Kehormatan  PERADI.
e. Tidak sedang menjalani hukuman pidana.

Pasal 3

Kantor-kantor  atau  lembaga-lembaga  yang  memberikan  bantuan  hukum  cuma-cuma, termasuk  yang  berada  di  lingkungan  perguruan  tinggi,  yang  memenuhi  persyaratan  yang dimaksud  dalam  Pasal  1  huruf  b,  c  dan  d  di  atas,  dapat  dipersamakan  sebagai  Kantor  Advokat yang dapat menerima Calon Advokat melaksanakan magang. 

Pasal 4

Kantor  Advokat  dan  Advokat  Pendamping  dalam  waktu  bersamaan  hanya  dapat  menerima sebanyak-banyaknya 10 (sepuluh) Calon Advokat untuk melaksanakan magang.

BAB II
SYARAT-SYARAT MAGANG UNTUK CALON ADVOKAT

Pasal 5

(1)  Calon  Advokat  yang  hendak  menjalani  magang  wajib  mengajukan  permohonan  magang kepada  Kantor  Advokat  yang  memenuhi  persyaratan  tersebut  dalam  Pasal  1  di  atas dengan tembusan surat disampaikan kepada Dewan Pimpinan Nasional PERADI.

(2)  Calon  Advokat  yang  hendak  menjalani  magang  harus  memenuhi  persyaratan  sebagai berikut:

a.  Warga Negara  Indonesia.
b.  Bertempat tinggal  di  Indonesia. c.  Tidak berstatus sebagai  pegawai  negeri  atau pejabat negara.
d.  Lulusan  pendidikan  tinggi  hukum  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  2  ayat  (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

BAB III
RUANG LINGKUP MAGANG

Pasal 6

Selama  masa  magang  2  (dua)  tahun  Kantor  Advokat  melalui  Advokat  Pendamping memberikan  bimbingan,  pelatihan  dan  kesempatan  praktik  kepada  Calon  Advokat  baik dibidang  litigasi  maupun  non-litigasi  agar  Calon  Advokat  tersebut  dapat  memiliki pengalaman  praktis  yang  mendukung  kemampuan,  ketrampilan  dan  etika  yang  baik  dalam menjalankan profesinya.

Pasal 7

Calon  Advokat  tidak  dibenarkan  memberikan  jasa  hukum  secara  langsung  kepada  klien, hanya  diperbolehkan  untuk  mendampingi  dan  atau  membantu  advokat  pendamping  dalam memberikan jasa hukum.

BAB IV
KARTU TANDA MAGANG

Pasal 8

(1)  Apabila  diperlukan  oleh  Calon  Advokat,  atas  permohonan  dari  Kantor  Advokat,  PERADI akan menerbitkan Kartu Tanda Magang untuk Calon Advokat.

(2) Syarat-syarat penerbitan Kartu Tanda Magang adalah sebagai berikut:

a.  Kantor  Advokat  dimana  Calon  Advokat  melaksanakan  magang  mengajukan permohonan  kepada  PERADI  dengan  melampirkan  fotokopi  surat  permohonan magang  dari  Calon  Advokat.

b.  Menyerahkan  fotokopi  Kartu  Tanda Penduduk.

c.  Menyerahkan  fotokopi  ijasah yang  telah dilegalisasi.

d.  Menyerahkan  pas  photo  berwarna  dengan  latar  belakang  biru  ukuran  2x3  sebanyak 1(satu) lembar  dan  ukuran  4x6 sebanyak 1 (satu) lembar.

e.  Menyerahkan  fotokopi  bukti  telah  membayar  biaya  administrasi  penerbitan  Kartu Tanda  Magang  sebesar  Rp.  100.000,-  (seratus  ribu  rupiah)  dibayarkan  melalui Rekening  PERADI.

BAB V
TUGAS ADVOKAT PENDAMPING DALAM PELAKSANAAN MAGANG

Pasal 9

Advokat Pendamping bertugas:

a.  Memberikan  bimbingan  dan  pembelajaran  dalam  berpraktik  hukum,  dengan  ruang lingkup  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 6.

b.  Melakukan  pengawasan  terhadap  kerja  dan  perilaku  Calon  Advokat  yang  menjalankan magang  agar  Calon  Advokat  tersebut  dapat  memiliki  pengalaman  praktis  yang mendukung  kemampuan,  ketrampilan  dan  etika  yang  baik  dalam  menjalankan profesinya.

BAB VI
LARANGAN PERMINTAAN IMBALAN

Pasal 10

Kantor  Advokat  dan  Advokat  Pendamping  dilarang  meminta  imbalan  dalam  bentuk  apapun dari Calon Advokat yang melakukan magang di Kantor Advokat.

BAB VII
SURAT KETERANGAN MAGANG

Pasal 11

(1)  Surat  Keterangan  Magang  adalah  alat  bukti  yang  menerangkan  bahwa  Calon  Advokat telah  melaksanakan  magang  sekurang-kurangnya  selama  2  (dua)  tahun  secara  terus menerus.

(2)  Surat  Keterangan  Magang  ditandatangani  oleh  pimpinan  Kantor  Advokat  dan  Advokat Pendamping  dengan  mencantumkan  Nomor  Induk  Advokat  (NIA)  dan  melampirkan fotokopi Kartu  Tanda Pengenal  Advokat.

(3)  Apabila  Pimpinan  Kantor  Advokat  merangkap  juga  sebagai  Advokat  Pendamping  maka Surat  Keterangan  Magang  ditandatangani  oleh  advokat  yang  sama  dengan  menerangkan kedudukannya sebagai  pimpinan  Kantor Advokat dan sebagai  Advokat Pendamping.

(4)  Magang  tidak  harus  dilakukan  pada  satu  Kantor  Advokat,  yang  menjadi  keharusan  adalah magang  tersebut  berlangsung  secara  terus  menerus  meskipun  dilaksanakan  pada  lebih  dari satu Kantor  Advokat.  

(5)  Apabila  Calon  Advokat  melaksanakan  magang  pada  lebih  dari  satu  Kantor  Advokat  maka masing-masing  Kantor  Advokat  menerbitkan  Surat  Keterangan  Magang  sesuai  lamanya melaksanakan  magang  di  Kantor Advokat dimaksud.

(6)  Surat  Keterangan  Magang  yang  berasal  dari  lebih  dari  satu  Kantor  Advokat,  akan  diterima sebagai  bukti  telah  melaksanakan  magang  terus  menerus  sekurang-kurangnya  selama  2 (dua)  tahun  apabila  masa  magang  yang  disebutkan  dalam  Surat  Keterangan  Magang menunjukan adanya keberlanjutan melaksanakan magang tanpa ada jeda.

BAB VIII
VERIFIKASI SURAT KETERANGAN MAGANG

Pasal 12

(1)  PERADI  berwenang  penuh  untuk  melakukan  verifikasi  terhadap  Surat  Keterangan Magang  terkait  kebenaran  dan  atau  kesesuaian  dengan  syarat-syarat  yang  telah ditentukan  dalam peraturan  ini.

(2)  Dalam  hal  diketahui  bahwa  Surat  Keterangan  Magang  tidak  sesuai  dengan  keadaan  yang sesungguhnya,  baik  Advokat  Pendamping  yang  menerbitkan  Surat  Keterangan  Magang maupun  Calon  Advokat  yang  menggunakannya  akan  dikenai  sanksi  berupa  diberhentikan dari  profesi  advokat  secara  tetap  dan  apabila  Calon  Advokat  dimaksud  belum  diangkat sebagai  advokat  maka  terhadap  yang  bersangkutan  tidak  akan  pernah  dapat  diangkat sebagai advokat.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 13

(1)  Bagi  para  Calon  Advokat  yang  telah  melaksanakan  magang  sebelum  diberlakukannya peraturan  ini,  sepanjang  memiliki  Surat  Keterangan  Magang  yang  sesuai  dengan persyaratan  sebagaimana  ditentukan  pada  Pasal  11,  dinyatakan  telah  melaksanakan magang  sekurang-kurangnya selama  2 (dua) tahun.

(2)  Izin  Sementara  Praktik  Advokat  yang  telah  diterbitkan  sebelum  diberlakukannya peraturan  ini  dinyatakan  tidak berlaku  lagi  terhitung  sejak tanggal  1 Januari 2017.

(3)  Bagi  para  Calon  Advokat  yang  telah  memiliki  Izin  Sementara  Praktik  Advokat,  dapat mengajukan  permohonan  penerbitan  Kartu  Tanda  Magang  dengan  memenuhi  persyaratan sesuai  Pasal  8  ayat  (2)  dan  mengembalikan  Kartu  Izin  Sementara  Praktik  Advokat,  tanpa dipungut biaya.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 14

Pada saat berlakunya peraturan ini maka:

a.  Peraturan  Perhimpunan  Advokat  Indonesia  Nomor  1  Tahun  2006  Tentang Pelaksanaan  Magang  Untuk Calon  Advokat;

b.  Peraturan  Perhimpunan  Advokat  Indonesia  Nomor  2  Tahun  2006  Tentang  Perubahan Atas  Peraturan  Perhimpunan  Advokat  Indonesia  Nomor  1  Tahun  2006  Tentang Pelaksanaan  Magang  Untuk Calon  Advokat;

c.  Peraturan  Perhimpunan  Advokat  Indonesia  Nomor  1  Tahun  2013  Tentang  Perubahan Kedua  Atas  Peraturan  Perhimpunan  Advokat  Indonesia  Nomor  1  Tahun  2006  Tentang Pelaksanaan Magang Untuk Calon Advokat; dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 15

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan  di    :  J  a  k  a  r  t  a

Pada tanggal    :  12 Oktober  2015

DEWAN PIMPINAN NASIONAL PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA

Dr.  Fauzie Yusuf Hasibuan,  S.H., M.H.   

Ketua Umum                            

Thomas E. Tampubolon, S.H., M.H.  

Sekretaris Jenderal

Posted by Herwandy Baharuddin, S.H., M.H. at 21:33 No comments:
Email ThisBlogThis!Share to XShare to FacebookShare to Pinterest
Labels: PERATURAN PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN MAGANG UNTUK CALON ADVOKAT

Sunday, 20 November 2016

PKPA PERADI KERJA SAMA UIT MAKASSAR ANGKATAN KE-2

PKPA PERADI KERJA SAMA UIT MAKASSAR ANGKATAN KE-2



Posted by Herwandy Baharuddin, S.H., M.H. at 16:41 No comments:
Email ThisBlogThis!Share to XShare to FacebookShare to Pinterest
Labels: PKPA PERADI KERJA SAMA UIT MAKASSAR ANGKATAN KE-2

Thursday, 25 August 2016

KELUARGA PERADI


  
Posted by Herwandy Baharuddin, S.H., M.H. at 09:21 No comments:
Email ThisBlogThis!Share to XShare to FacebookShare to Pinterest
Labels: KELUARGA PERADI

Wednesday, 10 August 2016

KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA

KOMITE KERJA ADVOKAT INDONESIA KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA IKATAN  ADVOKAT  INDONESIA  (IKADIN)  ASOSIASI  ADVOKAT  INDONESIA  (AAI)  IKATAN PENASEHAT  HUKUM INDONESIA (IPHI)  HIMPUNAN  ADVOKAT  &  PENGACARA INDONESIA  (HAPI)  SERIKAT  PENGACARA  INDONESIA  (SPI)  ASOSIASI  KONSULTAN HUKUM INDONESIA (AKHI) HIMPUNAN KONSULTAN HUKUM PASAR MODAL (HKHPM) DISAHKAN  PADA  TANGGAL: 23 MEI 2002 DI  SALIN  DAN  DIPERBANYAK  OLEH: PANITIA DAERAH UJIAN KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA DKI JAKARTA 2002

KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA PEMBUKAAN
Bahwa  semestinya  organisasi  profesi  memiliki  Kode  Etik  yang  membebankan  kewajiban  dan sekaligus  memberikan  perlindungan  hukum  kepada  setiap  anggotanya  dalam  menjalankan profesinya. Advokat  sebagai  profesi  terhormat  (officium  nobile)  yang  dalam  menjalankan  profesinya  berada dibawah  perlindungan  hukum,  undang-undang  dan  Kode  Etik,  memiliki  kebebasan  yang didasarkan  kepada  kehormatan  dan  kepribadian  Advokat  yang  berpegang  teguh  kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan Keterbukaan. Bahwa  profesi  Advokat  adalah  selaku  penegak  hukum  yang  sejajar  dengan  instansi  penegak hukum  lainnya,  oleh  karena  itu  satu  sama  lainnya  harus  saling  menghargai  antara  teman sejawat dan juga antara para penegak hukum lainnya. Oleh  karena  itu  juga,  setiap  Advokat  harus  menjaga  citra  dan  martabat  kehormatan  profesi, serta  setia  dan  menjunjung  tinggi  Kode  Etik  dan  Sumpah  Profesi,  yang  pelaksanaannya  diawasi oleh  Dewan  Kehormatan  sebagai  suatu  lembaga  yang  eksistensinya  telah  dan  harus  diakui setiap  Advokat  tanpa  melihat  dari  organisasi  profesi  yang  mana  ia  berasal  dan  menjadi anggota,  yang  pada  saat  mengucapkan  Sumpah  Profesi-nya  tersirat  pengakuan  dan kepatuhannya terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku. Dengan  demikian  Kode  Etik  Advokat  Indonesia  adalah  sebagai  hukum  tertinggi  dalam menjalankan  profesi,  yang  menjamin  dan  melindungi  namun  membebankan  kewajiban  kepada setiap  Advokat  untuk  jujur  dan  bertanggung  jawab  dalam  menjalankan  profesinya  baik  kepada klien, pengadilan, negara atau masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri.

BAB  I
KETENTUAN UMUM

Pasal  1
Yang  dimaksud  dengan:
a. Advokat  adalah  orang  yang  berpraktek  memberi  jasa  hukum,  baik  didalam  maupun  diluar pengadilan  yang  memenuhi  persyaratan  berdasarkan  undang-undang  yang  berlaku,  baik sebagai  Advokat,  Pengacara,  Penasehat  Hukum,  Pengacara  praktek  ataupun  sebagai konsultan  hukum.
b. Klien  adalah  orang,  badan  hukum  atau  lembaga  lain  yang  menerima  jasa  dan  atau bantuan  hukum  dari  Advokat.
c. Teman  sejawat  adalah  orang  atau  mereka  yang  menjalankan  praktek  hukum  sebagai Advokat  sesuai  dengan  ketentuan  perundang-undangan  yang  berlaku.
d. Teman  sejawat  asing  adalah  Advokat  yang  bukan  berkewarganegaraan  Indonesia  yang menjalankan  praktek  hukum  di  Indonesia  sesuai  dengan  ketentuan  perundang-undangan yang  berlaku.
e. Dewan  kehormatan  adalah  lembaga  atau  badan  yang  dibentuk  oleh  organisasi  profesi advokat  yang  berfungsi  dan  berkewenangan  mengawasi  pelaksanaan  kode  etik  Advokat sebagaimana  semestinya  oleh  Advokat  dan  berhak  menerima  dan  memeriksa pengaduan  terhadap  seorang  Advokat  yang  dianggap  melanggar  Kode  Etik  Advokat.
f. Honorarium  adalah  pembayaran  kepada  Advokat  sebagai  imbalan  jasa  Advokat berdasarkan kesepakatan dan atau perjanjian dengan kliennya.

BAB II
KEPRIBADIAN ADVOKAT

Pasal  2
Advokat  Indonesia  adalah  warga  negara  Indonesia  yang  bertakwa  kepada  Tuhan  Yang  Maha Esa,  bersikap  satria,  jujur  dalam  mempertahankan  keadilan  dan  kebenaran  dilandasi  moral yang  tinggi,  luhur  dan  mulia,  dan  yang  dalam  melaksanakan  tugasnya  menjunjung  tinggi hukum,  Undang-undang  Dasar  Republik  Indonesia,  Kode  Etik  Advokat  serta  sumpah jabatannya.

Pasal  3
a. Advokat  dapat  menolak  untuk  memberi  nasihat  dan  bantuan  hukum  kepada  setiap  orang yang  memerlukan  jasa  dan  atau  bantuan  hukum  dengan  pertimbangan  oleh  karena  tidak sesuai  dengan  keahliannya  dan  bertentangan  dengan  hati  nuraninya,  tetapi  tidak  dapat menolak  dengan  alasan  karena  perbedaan  agama,  kepercayaan,  suku,  keturunan,  jenis kelamin,  keyakinan  politik  dan  kedudukan  sosialnya.
b. Advokat  dalam  melakukan  tugasnya  tidak  bertujuan  semata-mata  untuk  memperoleh imbalan  materi  tetapi  lebih  mengutamakan  tegaknya  Hukum,  Kebenaran  dan  Keadilan.
c. Advokat  dalam  menjalankan  profesinya  adalah  bebas  dan  mandiri  serta  tidak  dipengaruhi oleh  siapapun  dan  wajib  memperjuangkan  hak-hak  azasi  manusia  dalam  Negara  Hukum Indonesia.
d. Advokat  wajib  memelihara  rasa  solidaritas  diantara  teman  sejawat.
e. Advokat  wajib  memberikan  bantuan  dan  pembelaan  hukum  kepada  teman  sejawat  yang diduga  atau  didakwa  dalam  suatu  perkara  pidana  atas  permintaannya  atau  karena penunjukan  organisasi  profesi. f. Advokat  tidak  dibenarkan  untuk  melakukan  pekerjaan  lain  yang  dapat  merugikan kebebasan,  derajat  dan  martabat  Advokat.
g. Advokat  harus  senantiasa  menjunjung  tinggi  profesi  Advokat  sebagai  profesi  terhormat (officium  nobile).
h. Advokat  dalam  menjalankan  profesinya  harus  bersikap  sopan  terhadap  semua  pihak namun  wajib  mempertahankan  hak  dan  martabat  advokat.
i. Seorang  Advokat  yang  kemudian  diangkat  untuk  menduduki  suatu  jabatan  Negara (Eksekutif,  Legislatif  dan  judikatif)  tidak  dibenarkan  untuk  berpraktek  sebagai  Advokat dan  tidak  diperkenankan  namanya  dicantumkan  atau  dipergunakan  oleh  siapapun  atau oleh  kantor  manapun  dalam  suatu  perkara  yang  sedang  diproses/berjalan  selama  ia menduduki jabatan tersebut.

BAB  III
HUBUNGAN DENGAN KLIEN

Pasal  4
a. Advokat  dalam  perkara-perkara  perdata  harus  mengutamakan  penyelesaian  dengan jalan  damai.
b. Advokat  tidak  dibenarkan  memberikan  keterangan  yang  dapat  menyesatkan  klien mengenai  perkara  yang  sedang  diurusnya.
c. Advokat  tidak  dibenarkan  menjamin  kepada  kliennya  bahwa  perkara  yang  ditanganinya akan  menang.
d. Dalam  menentukan  besarnya  honorarium  Advokat  wajib  mempertimbangkan kemampuan  klien.
e. Advokat  tidak  dibenarkan  membebani  klien  dengan  biaya-biaya  yang  tidak  perlu. f. Advokat  dalam  mengurus  perkara  cuma-cuma  harus  memberikan  perhatian  yang  sama seperti  terhadap  perkara  untuk  mana  ia  menerima  uang  jasa.
g. Advokat  harus  menolak  mengurus  perkara  yang  menurut  keyakinannya  tidak  ada  dasar hukumnya.
h. Advokat  wajib  memegang  rahasia  jabatan  tentang  hal-hal  yang  diberitahukan  oleh  klien secara  kepercayaan  dan  wajib  tetap  menjaga  rahasia  itu  setelah  berakhirnya  hubungan antara  Advokat  dan  klien  itu.
i. Advokat  tidak  dibenarkan  melepaskan  tugas  yang  dibebankan  kepadanya  pada  saat yang  tidak  menguntungkan  posisi  klien  atau  pada  saat  tugas  itu  akan  dapat  menimbulkan kerugian  yang  tidak  dapat  diperbaiki  lagi  bagi  klien  yang  bersangkutan,  dengan  tidak mengurangi  ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  pasal  3  huruf  a.
j. Advokat  yang  mengurus  kepentingan  bersama  dari  dua  pihak  atau  lebih  harus mengundurkan  diri  sepenuhnya  dari  pengurusan  kepentingan-kepentingan  tersebut, apabila  dikemudian  hari  timbul  pertentangan  kepentingan  antara  pihak-pihak  yang bersangkutan.
k. Hak  retensi  Advokat  terhadap  klien  diakui  sepanjang  tidak  akan  menimbulkan  kerugian kepentingan klien.

BAB IV
HUBUNGAN DENGAN TEMAN SEJAWAT

Pasal  5
a. Hubungan  antara  teman  sejawat  Advokat  harus  dilandasi  sikap  saling  menghormati, saling  menghargai  dan  saling  mempercayai.
b. Advokat  jika  membicarakan  teman  sejawat  atau  jika  berhadapan  satu  sama  lain  dalam sidang  pengadilan,  hendaknya  tidak  menggunakan  kata-kata  yang  tidak  sopan  baik secara  lisan  maupun  tertulis.
c. Keberatan-keberatan  terhadap  tindakan  teman  sejawat  yang  dianggap  bertentangan dengan  Kode  Etik  Advokat  harus  diajukan  kepada  Dewan  Kehormatan  untuk  diperiksa dan  tidak  dibenarkan  untuk  disiarkan  melalui  media  massa  atau  cara  lain.
d. Advokat  tidak  diperkenankan  menarik  atau  merebut  seorang  klien  dari  teman  sejawat.
e. Apabila  klien  hendak  mengganti  Advokat,  maka  Advokat  yang  baru  hanya  dapat menerima  perkara  itu  setelah  menerima  bukti  pencabutan  pemberian  kuasa  kepada Advokat  semula  dan  berkewajiban  mengingatkan  klien  untuk  memenuhi  kewajibannya apabila  masih  ada  terhadap  Advokat  semula.
f. Apabila  suatu  perkara  kemudian  diserahkan  oleh  klien  terhadap  Advokat  yang  baru, maka  Advokat  semula  wajib  memberikan  kepadanya  semua  surat  dan  keterangan  yang penting  untuk  mengurus  perkara  itu,  dengan  memperhatikan  hak  retensi  Advokat terhadap klien tersebut.

BAB  V TENTANG SEJAWAT ASING

Pasal  6
Advokat  asing  yang  berdasarkan  peraturan  perundang-undangan  yang  berlaku  menjalankan profesinya di Indonesia tunduk kepada serta wajib mentaati Kode Etik ini.

BAB VI
CARA BERTINDAK MENANGANI PERKARA

Pasal  7
a. Surat-surat  yang  dikirim  oleh  Advokat  kepada  teman  sejawatnya  dalam  suatu  perkara dapat  ditunjukkan  kepada  hakim  apabila  dianggap  perlu  kecuali  surat-surat  yang bersangkutan  dibuat  dengan  membubuhi  catatan  "Sans  Prejudice  ".
b. Isi  pembicaraan  atau  korespondensi  dalam  rangka  upaya  perdamaian  antar  Advokat akan  tetapi  tidak  berhasil,  tidak  dibenarkan  untuk  digunakan  sebagai  bukti  dimuka pengadilan.
c. Dalam  perkara  perdata  yang  sedang  berjalan,  Advokat  hanya  dapat  menghubungi  hakim apabila  bersama-sama  dengan  Advokat  pihak  lawan,  dan  apabila  ia  menyampaikan surat,  termasuk  surat  yang  bersifat  "ad  informandum"  maka  hendaknya  seketika  itu tembusan  dari  surat  tersebut  wajib  diserahkan  atau  dikirimkan  pula  kepada  Advokat pihak  lawan.
d. Dalam  perkara  pidana  yang  sedang  berjalan,  Advokat  hanya  dapat  menghubungi  hakim apabila  bersama-sama  dengan  jaksa  penuntut  umum.
e. Advokat  tidak  dibenarkan  mengajari  dan  atau  mempengaruhi  saksi-saksi  yang  diajukan oleh  pihak  lawan  dalam  perkara  perdata  atau  oleh  jaksa  penuntut  umum  dalam  perkara pidana.
f. Apabila  Advokat  mengetahui,  bahwa  seseorang  telah  menunjuk  Advokat  mengenai  suatu perkara  tertentu,  maka  hubungan  dengan  orang  itu  mengenai  perkara  tertentu  tersebut hanya  boleh  dilakukan  melalui  Advokat  tersebut.
g. Advokat  bebas  mengeluarkan  pernyataan-pernyataan  atau  pendapat  yang  dikemukakan dalam  sidang  pengadilan  dalam  rangka  pembelaan  dalam  suatu  perkara  yang  menjadi tanggung  jawabnya  baik  dalam  sidang  terbuka  maupun  dalam  sidang  tertutup  yang dikemukakan  secara  proporsional  dan  tidak  berkelebihan  dan  untuk  itu  memiliki  imunitas hukum  baik  perdata  maupun  pidana. h. Advokat  mempunyai  kewajiban  untuk  memberikan  bantuan  hukum  secara  cuma-cuma (pro  deo)  bagi  orang  yang  tidak  mampu.
i. Advokat  wajib  menyampaikan  pemberitahuan  tentang  putusan  pengadilan  mengenai perkara yang ia tangani kepada kliennya pada waktunya.

BAB  VII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN TENTANG KODE ETIK

Pasal  8
a. Profesi  Advokat  adalah  profesi  yang  mulia  dan  terhormat  (officium  nobile),  dan  karenanya dalam  menjalankan  profesi  selaku  penegak  hukum  di  pengadilan  sejajar  dengan  Jaksa dan  Hakim,  yang  dalam  melaksanakan  profesinya  berada  dibawah  perlindungan  hukum, undang-undang  dan  Kode  Etik  ini.
b. Pemasangan  iklan  semata-mata  untuk  menarik  perhatian  orang  adalah  dilarang  termasuk pemasangan  papan  nama  dengan  ukuran  dan!  atau  bentuk  yang  berlebih-lebihan.
c. Kantor  Advokat  atau  cabangnya  tidak  dibenarkan  diadakan  di  suatu  tempat  yang  dapat merugikan  kedudukan  dan  martabat  Advokat.
d. Advokat  tidak  dibenarkan  mengizinkan  orang  yang  bukan  Advokat  mencantumkan namanya  sebagai  Advokat  di  papan  nama  kantor  Advokat  atau  mengizinkan  orang  yang bukan  Advokat  tersebut  untuk  memperkenalkan  dirinya  sebagai  Advokat.
e. Advokat  tidak  dibenarkan  mengizinkan  karyawan-karyawannya  yang  tidak  berkualifikasi untuk  mengurus  perkara  atau  memberi  nasehat  hukum  kepada  klien  dengan  lisan  atau dengan  tulisan.
f. Advokat  tidak  dibenarkan  melalui  media  massa  mencari  publitas  bagi  dirinya  dan  atau untuk  menarik  perhatian  masyarakat  mengenai  tindakan-tindakannya  sebagai  Advokat mengenai  perkara  yang  sedang  atau  telah  ditanganinya,  kecuali  apabila  keterangan-keterangan  yang  ia  berikan  itu  bertujuan  untuk  menegakkan  prinsip-prinsip  hukum  yang wajib  diperjuangkan  oleh  setiap  Advokat.
g. Advokat  dapat  mengundurkan  diri  dari  perkara  yang  akan  dan  atau  diurusnya  apabila timbul  perbedaan  dan  tidak  dicapai  kesepakatan  tentang  cara  penanganan  perkara dengan  kliennya.
h. Advokat  yang  sebelumnya  pernah  menjabat  sebagai  Hakim  atau  Panitera  dari  suatu lembaga  peradilan,  tidak  dibenarkan  untuk  memegang  atau  menangani  perkara  yang diperiksa  pengadilan  tempatnya  terakhir  bekerja  selama  3  (tiga)  tahun  semenjak  ia berhenti dari pengadilan tersebut.

BAB  VIII
PELAKSANAAN KODE ETIK

Pasal  9
a. Setiap  Advokat  wajib  tunduk  dan  mematuhi  Kode  Etik  Advokat  ini.
b. Pengawasan  atas  pelaksanaan  Kode  Etik  Advokat  ini  dilakukan  oleh  Dewan Kehormatan.

BAB IX
DEWAN KEHORMATAN

Bagian  Pertama
KETENTUAN UMUM

Pasal  10
1. Dewan  Kehormatan  berwenang  memeriksa  dan  mengadili  perkara  pelanggaran  Kode Etik  yang  dilakukan  oleh  Advokat.
2. Pemeriksaan  suatu  pengaduan  dapat  dilakukan  melalui  dua  tingkat,  yaitu:
a. Tingkat  Dewan  Kehormatan  Cabang/Daerah.
b. Tingkat  Dewan  Kehormatan  Pusat.
3. Dewan  Kehormatan  Cabang/daerah  memeriksa  pengaduan  pada  tingkat  pertama  dan Dewan  Kehormatan  Pusat  pada  tingkat  terakhir.
4. Segala  biaya  yang  dikeluarkan  dibebankan  kepada:
a. Dewan  Pimpinan  Cabang/Daerah  dimana  teradu  sebagai  anggota  pada  tingkat Dewan  Kehormatan  Cabang/Daerah;
b. Dewan  Pimpinan  Pusat  pada  tingkat  Dewan  Kehormatan  Pusat  organisasi  dimana teradu  sebagai  anggota;
c. Pengadu/Teradu.

Bagian  Kedua
PENGADUAN

Pasal  11
1. Pengaduan  dapat  diajukan  oleh  pihak-pihak  yang  berkepentingan  dan  merasa  dirugikan, yaitu:
a. Klien.
b. Teman  sejawat  Advokat.
c. Pejabat  Pemerintah.
d. Anggota  Masyarakat.
e. Dewan  Pimpinan  Pusat/Cabang/Daerah  dari  organisasi  profesi  dimana  Teradu menjadi  anggota.
2. Selain  untuk  kepentingan  organisasi,  Dewan  Pimpinan  Pusat  atau  Dewan  Pimpinan Cabang/Daerah  dapat  juga  bertindak  sebagai  pengadu  dalam  hal  yang  menyangkut kepentingan  hukum  dan  kepentingan  umum  dan  yang  dipersamakan  untuk  itu.
3. Pengaduan  yang  dapat  diajukan  hanyalah  yang  mengenai  pelanggaran  terhadap  Kode Etik Advokat.

Bagian  Ketiga
TATA CARA PENGADUAN

Pasal  12
1. Pengaduan  terhadap  Advokat  sebagai  teradu  yang  dianggap  melanggar  Kode  Etik Advokat  harus  disampaikan  secara  tertulis  disertai  dengan  alasan-alasannya  kepada Dewan  Kehormatan  Cabang/Daerah  atau  kepada  dewan  Pimpinan  Cabang/Daerah  atau Dewan  Pimpinan  Pusat  dimana  teradu  menjadi  anggota.
2. Bilamana  di  suatu  tempat  tidak  ada  Cabang/Daerah  Organisasi,  pengaduan  disampaikan kepada  Dewan  Kehormatan  Cabang/Daerah  terdekat  atau  Dewan  Pimpinan  Pusat.
3. Bilamana  pengaduan  disampaikan  kepada  Dewan  Pimpinan  Cabang/Daerah,  maka Dewan  Pimpinan  Cabang/Daerah  meneruskannya  kepada  Dewan  Kehormatan Cabang/Daerah  yang  berwenang  untuk  memeriksa  pengaduan  itu.
4. Bilamana  pengaduan  disampaikan  kepada  Dewan  Pimpinan  Pusat/Dewan  Kehormatan Pusat,  maka  Dewan  Pimpinan  Pusat/Dewan  Kehormatan  Pusat  meneruskannya  kepada Dewan  Kehormatan  Cabang/Daerah  yang  berwenang  untuk  memeriksa  pengaduan  itu baik langsung atau melalui Dewan Dewan Pimpinan Cabang/Daerah.

Bagian  Keempat
PEMERIKSAAN TINGKAT PERTAMA OLEH DEWAN KEHORMATAN CABANG/DAERAH

Pasal  13
1. Dewan  Kehormatan  Cabang/Daerah  setelah  menerima  pengaduan  tertulis  yang  disertai surat-surat  bukti  yang  dianggap  perlu,  menyampaikan  surat  pemberitahuan  selambat lambatnya  dalam  waktu  14  (empat  belas)  hari  dengan  surat  kilat  khusus/tercatat  kepada teradu  tentang  adanya  pengaduan  dengan  menyampaikan  salinan/copy  surat  pengaduan tersebut.
2. Selambat-lambatnya  dalam  waktu  21  (dua  puluh  satu)  hari  pihak  teradu  harus memberikan  jawabannya  secara  tertulis  kepada  Dewan  Kehormatan  Cabang/Daerah yang  bersangkutan,  disertai  surat-surat  bukti  yang  dianggap  perlu.
3. Jika  dalam  waktu  21  (dua  puluh  satu)  hari  tersebut  teradu  tidak  memberikan  jawaban tertulis,  Dewan  Kehormatan  Cabang/Daerah  menyampaikan  pemberitahuan  kedua dengan  peringatan  bahwa  apabila  dalam  waktu  14  (empat  belas)  hari  sejak  tanggal  surat peringatan  tersebut  ia  tetap  tidak  memberikan  jawaban  tertulis,  maka  ia  dianggap  telah melepaskan  hak  jawabnya.
4. Dalam  hal  teradu  tidak  menyampaikan  jawaban  sebagaimana  diatur  di  atas  dan dianggap  telah  melepaskan  hak  jawabnya,  Dewan  Kehormatan  Cabang/Daerah  dapat segera  menjatuhkan  putusan  tanpa  kehadiran  pihak-pihak  yang  bersangkutan.
5. Dalam  hal  jawaban  yang  diadukan  telah  diterima,  maka  Dewan  Kehormatan  dalam  waktu selambat-lambatnya  14  (empat  belas)  hari  menetapkan  hari  sidang  dan  menyampaikan panggilan  secara  patut  kepada  pengadu  dan  kepada  teradu  untuk  hadir  dipersidangan yang  sudah  ditetapkan  tersebut.
6. Panggilan-panggilan  tersebut  harus  sudah  diterima  oleh  yang  bersangkutan  paling tambat  3  (tiga)  hari  sebelum  hari  sidang  yang  ditentukan.
7. Pengadu  dan  yang  teradu:
a. Harus  hadir  secara  pribadi  dan  tidak  dapat  menguasakan  kepada  orang  lain,  yang jika  dikehendaki  masing-masing  dapat  didampingi  oleh  penasehat.
b. Berhak  untuk  mengajukan  saksi-saksi  dan  bukti-bukti.
8. Pada  sidang  pertama  yang  dihadiri  kedua  belah  pihak:
a. Dewan  Kehormatan  akan  menjelaskan  tata  cara  pemeriksaan  yang  berlaku;
b. Perdamaian  hanya  dimungkinkan  bagi  pengaduan  yang  bersifat  perdata  atau hanya  untuk  kepentingan  pengadu  dan  teradu  dan  tidak  mempunyai  kaitan langsung  dengan  kepentingan  organisasi  atau  umum,  dimana  pengadu  akan mencabut  kembali  pengaduannya  atau  dibuatkan  akta  perdamaian  yang  dijadikan dasar  keputusan  oleh  Dewan  Kehormatan  Cabang/Daerah  yang  langsung mempunyai  kekuatan  hukum  yang  pasti.
c. Kedua  belah  pihak  diminta  mengemukakan  alasan-alasan  pengaduannya  atau pembelaannya  secara  bergiliran,  sedangkan  surat-surat  bukti  akan  diperiksa  dan saksi-saksi  akan  didengar  oleh  Dewan  Kehormatan  Cabang/Daerah.
9. Apabila  pada  sidang  yang  pertama  kalinya  salah  satu  pihak  tidak  hadir:
a. Sidang  ditunda  sampai  dengan  sidang  berikutnya  paling  lambat  14  (empat  belas) hari  dengan  memanggil  pihak  yang  tidak  hadir  secara  patut.
b. Apabila  pengadu  yang  telah  dipanggil  sampai  2  (dua)  kali  tidak  hadir  tanpa  alasan yang  sah,  pengaduan  dinyatakan  gugur  dan  ia  tidak  dapat  mengajukan  pengaduan lagi  atas  dasar  yang  sama  kecuali  Dewan  Kehormatan  Cabang/Daerah berpendapat  bahwa  materi  pengaduan  berkaitan  dengan  kepentingan  umum  atau kepentingan  organisasi.
c. Apabila  teradu  telah  dipanggil  sampai  2  (dua)  kali  tidak  datang  tanpa  alasan  yang sah,  pemeriksaan  diteruskan  tanpa  hadirnya  teradu.
d. Dewan  berwenang  untuk  memberikan  keputusan  di  luar  hadirnya  yang  teradu, yang mempunyai kekuatan yang sama seperti keputusan biasa.

Bagian  Kelima
SIDANG DEWAN KEHORMATAN CABANG/DAERAH

Pasal  14
1. Dewan  Kehormatan  Cabang/Daerah  bersidang  dengan  Majelis  yang  terdiri  sekurang kurangnya  atas  3  (tiga)  orang  anggota  yang  salah  satu  merangkap  sebagai  Ketua Majelis,  tetapi  harus  selalu  berjumlah  ganjil.
2. Majelis  dapat  terdiri  dari  Dewan  Kehormatan  atau  ditambah  dengan  Anggota  Majelis Kehormatan  Ad  Hoc  yaitu  orang  yang  menjalankan  profesi  dibidang  hukum  serta mempunyai  pengetahuan  dan  menjiwai  Kode  Etik  Advokat.
3. Majelis  dipilih  dalam  rapat  Dewan  Kehormatan  Cabang/Daerah  yang  khusus  dilakukan untuk  itu  yang  dipimpin  oleh  Ketua  Dewan  Kehormatan  Cabang/Daerah  atau  jika  ia berhalangan  oleh  anggota  Dewan  lainnya  yang  tertua,
4. Setiap  dilakukan  persidangan,  Majelis  Dewan  Kehormatan  diwajibkan  membuat  atau menyuruh  membuat  berita  acara  persidangan  yang  disahkan  dan  ditandatangani  oleh Ketua  Majelis  yang  menyidangkan  perkara  itu.
5. Sidang-sidang  dilakukan  secara  tertutup,  sedangkan  keputusan  diucapkan  dalam  sidang terbuka.

Bagian  Keenam
CARA PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Pasal  15
(1) Setelah  memeriksa  dan  mempertimbangkan  pengaduan,  pembelaan,  surat-surat  bukti dan  keterangan  saksi-saksi  maka  Majelis  Dewan  Kehormatan  mengambil  Keputusan yang  dapat  berupa:
a. Menyatakan  pengaduan  dari  pengadu  tidak  dapat  diterima;
b. Menerima  pengaduan  dari  pengadu  dan  mengadili  serta  menjatuhkan  sanksi sanksi  kepada  teradu;
c. Menolak  pengaduan  dari  pengadu.
(2) Keputusan  harus  memuat  pertimbangan-pertimbangan  yang  menjadi  dasarnya  dan menunjuk  pada  pasal-pasal  Kode  Etik  yang  dilanggar.
(3) Majelis  Dewan  Kehormatan  mengambil  keputusan  dengan  suara  terbanyak  dan mengucapkannya  dalam  sidang  terbuka  dengan  atau  tanpa  dihadiri  oleh  pihak-pihak yang  bersangkutan,  setelah  sebelumnya  memberitahukan  hari,  tanggal  dan  waktu persidangan  tersebut  kepada  pihak-pihak  yang  bersangkutan.
(4) Anggota  Majelis  yang  kalah  dalam  pengambilan  suara  berhak  membuat  catatan keberatan  yang  dilampirkan  didalam  berkas  perkara.
(5) Keputusan  ditandatangani  oleh  Ketua  dan  semua  Anggota  Majelis,  yang  apabila berhalangan  untuk  menandatangani  keputusan,  hal  mana  disebut  dalam  keputusan  yang bersangkutan.

Bagian  Ketujuh
SANKSI-SANKSI

Pasal  16
1. Hukuman  yang  diberikan  dalam  keputusan  dapat  berupa:
a. Peringatan  biasa.
b. Peringatan  keras.
c. Pemberhentian  sementara  untuk  waktu  tertentu.
d. Pemecatan  dari  keanggotaan  organisasi  profesi.
2. Dengan  pertimbangan  atas  berat  atau  ringannya  sifat  pelanggaran  Kode  Etik  Advokat dapat  dikenakan  sanksi:
a. Peringatan  biasa  bilamana  sifat  pelanggarannya  tidak  berat.
b. Peringatan  keras  bilamana  sifat  pelanggarannya  berat  atau  karena  mengulangi kembali  melanggar  kode  etik  dan  atau  tidak  mengindahkan  sanksi  peringatan  yang pernah  diberikan.
c. Pemberhentian  sementara  untuk  waktu  tertentu  bilamana  sifat  pelanggarannya berat,  tidak  mengindahkan  dan  tidak  menghormati  ketentuan  kode  etik  atau bilamana  setelah  mendapat  sanksi  berupa  peringatan  keras  masih  mengulangi melakukan  pelanggaran  kode  etik.
d. Pemecatan  dari  keanggotaan  organisasi  profesi  bilamana  dilakukan  pelanggaran kode  etik  dengan  maksud  dan  tujuan  merusak  citra  serta  martabat  kehormatan profesi  Advokat  yang  wajib  dijunjung  tinggi  sebagai  profesi  yang  mulia  dan terhormat.
3. Pemberian  sanksi  pemberhentian  sementara  untuk  waktu  tertentu  harus  diikuti  larangan untuk  menjalankan  profesi  advokat  diluar  maupun  dimuka  pengadilan.
4. Terhadap  mereka  yang  dijatuhi  sanksi  pemberhentian  sementara  untuk  waktu  tertentu dan  atau  pemecatan  dari  keanggotaan  organisasi  profesi  disampaikan  kepada Mahkamah Agung untuk diketahui dan dicatat dalam daftar Advokat.

Bagian  Kedelapan PENYAMPAIAN SALINAN KEPUTUSAN

Pasal  17
1. Dalam  waktu  selambat-lambatnya  14  (empat  belas)  hari  setelah  keputusan  diucapkan,  salinan keputusan  Dewan  kehormatan  Cabang/Daerah  harus  disampaikan  kepada:
a. Anggota  yang  diadukan/teradu;
b. Pengadu;
c. Dewan  Pimpinan  Cabang/Daerah  dari  semua  organisasi  profesi;
d. Dewan  Pimpinan  Pusat  dari  masing-masing  organisasi  profesi;
e. Dewan  Kehormatan  Pusat;
f. Instansi-instansi  yang  dianggap  perlu  apabila  keputusan  telah  mempunyai  kekuatan hukum yang pasti.

Bagian  Kesembilan PEMERIKSAAN TINGKAT BANDING DEWAN KEHORMATAN PUSAT

Pasal  18
1. Apabila  pengadu  atau  teradu  tidak  puas  dengan  keputusan  Dewan  Kehormatan Cabang/Daerah,  ia  berhak  mengajukan  permohonan  banding  atas  keputusan  tersebut kepada  Dewan  Kehormatan  Pusat.
2. Pengajuan  permohonan  banding  beserta  Memori  Banding  yang  sifatnya  wajib,  harus disampaikan  melalui  Dewan  Kehormatan  Cabang/Daerah  dalam  waktu  21  (dua  puluh satu)  hari  sejak  tanggal  yang  bersangkutan  menerima  salinan  keputusan. 3. Dewan  Kehormatan  Cabang/Daerah  setelah  menerima  Memori  Banding  yang bersangkutan  selaku  pembanding  selambat-lambatnya  dalam  waktu  14  (empat  belas) hari  sejak  penerimaannya,  mengirimkan  salinannya  melalui  surat  kilat  khusus/tercatat kepada  pihak  lainnya  selaku  terbanding.
4. Pihak  terbanding  dapat  mengajukan  Kontra  Memori  Banding  selambat-lambatnya  dalam waktu  21  (dua  puluh  satu)  hari  sejak  penerimaan  Memori  Banding.
5. Jika  jangka  waktu  yang  ditentukan  terbanding  tidak  menyampaikan  Kontra  Memori Banding  ia  dianggap  telah  melepaskan  haknya  untuk  itu. 6. Selambat-lambatnya  dalam  waktu  14  (empat  belas)  hari  sejak  berkas  perkara  dilengkapi dengan  bahan-bahan  yang  diperlukan,  berkas  perkara  tersebut  diteruskan  oleh  Dewan Kehormatan  Cabang/Daerah  kepada  dewan  Kehormatan  Pusat.
7. Pengajuan  permohonan  banding  menyebabkan  ditundanya  pelaksanaan  keputusan Dewan  Kehormatan  Cabang/Daerah.
8. Dewan  kehormatan  Pusat  memutus  dengan  susunan  Majelis  yang  terdiri  sekurangkurangnya  3  (tiga)  orang  anggota  atau  lebih  tetapi  harus  berjumlah  ganjil  yang  salah  satu merangkap  Ketua  Majelis.
9. Majelis  dapat  terdiri  dari  Dewan  Kehormatan  atau  ditambah  dengan  Anggota  Majelis Kehormatan  Ad  Hoc  yaitu  orang  yang  menjalankan  profesi  dibidang  hukum  serta mempunyai  pengetahuan  dan  menjiwai  Kode  Etik  Advokat.
10. Majelis  dipilih  dalam  rapat  Dewan  Kehormatan  Pusat  yang  khusus  diadakan  untuk  itu yang  dipimpin  oleh  Ketua  Dewan  Kehormatan  Pusat  atau  jika  ia  berhalangan  oleh anggota  Dewan  lainnya  yang  tertua. 11. Dewan  Kehormatan  Pusat  memutus  berdasar  bahan-bahan  yang  ada  dalam  berkas perkara,  tetapi  jika  dianggap  perlu  dapat  meminta  bahan  tambahan  dari  pihak-pihak  yang bersangkutan  atau  memanggil  mereka  langsung  atas  biaya  sendiri.
12. Dewan  Kehormatan  Pusat  secara  prorogasi  dapat  menerima  permohonan  pemeriksaan langsung  dari  suatu  perkara  yang  diteruskan  oleh  Dewan  Kehormatan  Cabang/Daerah asal  saja  permohonan  seperti  itu  dilampiri  surat  persetujuan  dari  kedua  belah  pihak  agar perkaranya  diperiksa  langsung  oleh  Dewan  Kehormatan  Pusat.
13. Semua  ketentuan  yang  berlaku  untuk  pemeriksaan  pada  tingkat  pertama  oleh  Dewan Kehormatan  Cabang/Daerah,  mutatis  mutandis  berlaku  untuk  pemeriksaan  pada  tingkat banding oleh Dewan Kehormatan Pusat.

Bagian  Kesepuluh
KEPUTUSAN DEWAN KEHORMATAN

Pasal  19
1. Dewan  Kehormatan  Pusat  dapat  menguatkan,  merubah  atau  membatalkan  keputusan Dewan  Kehormatan  Cabang/Daerah  dengan  memutus  sendiri.
2. Keputusan  Dewan  kehormatan  Pusat  mempunyai  kekuatan  tetap  sejak  diucapkan  dalam sidang  terbuka  dengan  atau  tanpa  dihadiri  para  pihak  dimana  hari,  tanggal  dan  waktunya telah  diberitahukan  sebelumnya  kepada  pihak-pihak  yang  bersangkutan.
3. Keputusan  Dewan  Kehormatan  Pusat  adalah  final  dan  mengikat  yang  tidak  dapat diganggu  gugat  dalam  forum  manapun,  termasuk  dalam  MUNAS.
4. Dalam  waktu  selambat-lambatnya  14  (empat  belas)  hari  setelah  keputusan  diucapkan, salinan  keputusan  Dewan  Kehormatan  Pusat  harus  disampaikan  kepada:
a. Anggota  yang  diadukan/teradu  baik  sebagai  pembanding  ataupun  terbanding;
b. Pengadu  baik  selaku  pembanding  ataupun  terbanding;
c. Dewan  Pimpinan  Cabang/Daerah  yang  bersangkutan;
d. Dewan  Kehormatan  Cabang/Daerah  yang  bersangkutan;
e. Dewan  Pimpinan  Pusat  dari  masing-masing  organisasi  profesi;
f. Instansi-instansi  yang  dianggap  perlu.
5. Apabila  seseorang  telah  dipecat,  maka  Dewan  Kehormatan  Pusat  atau  Dewan Kehormatan  Cabang/Daerah  meminta  kepada  Dewan  Pimpinan  Pusat/Organisasi  profesi untuk memecat orang yang bersangkutan dari keanggotaan organisasi profesi.

Bagian  Kesebelas
KETENTUAN LAIN TENTANG DEWAN KEHORMATAN

Pasal  20
Dewan  Kehormatan  berwenang  menyempurnakan  hal-hal  yang  telah  diatur  tentang  Dewan Kehormatan  dalam  Kode  Etik  ini  dan  atau  menentukan  hal-hal  yang  belum  diatur  didalamnya dengan  kewajiban  melaporkannya  kepada  Dewan  Pimpinan  Pusat/Organisasi  profesi  agar diumumkan dan diketahui oleh setiap anggota dari masing-masing organisasi.

BAB  X
KODE ETIK & DEWAN KEHORMATAN

Pasal  21
Kode  Etik  ini  adalah  peraturan  tentang  Kode  Etik  dan  Ketentuan  Tentang  Dewan  Kehormatan bagi  mereka  yang  menjalankan  profesi  Advokat,  sebagai  satu-satunya  Peraturan  Kode  Etik yang diberlakukan dan berlaku di Indonesia.

BAB XI
ATURAN PERALIHAN

Pasal  22
1. Kode  Etik  ini  dibuat  dan  diprakarsai  oleh  Komite  Kerja  Advokat  Indonesia,  yang  disahkan dan  ditetapkan  oleh  Ikatan  Advokat  Indonesia  (IKADIN),  Asosiasi  Advokat  Indonesia (AAI),  Ikatan  Penasehat  Hukum  Indonesia  (IPHI),  Himpunan  Advokat  &  Pengacara Indonesia  (HAPI),  Serikat  Pengacara  Indonesia  (SPI),  Asosiasi  Konsultan  Hukum Indonesia  (AKHI)  dan  Himpunan  Konsultan  Hukum  Pasar  Modal  (HKHPM)  yang dinyatakan  berlaku  bagi  setiap  orang  yang  menjalankan  profesi  Advokat  di  Indonesia tanpa  terkecuali. 2. Setiap  Advokat  wajib  menjadi  anggota  dari  salah  satu  organisasi  profesi  tersebut  dalam ayat  1  pasal  ini.
3. Komite  Kerja  Advokat  Indonesia  mewakili  organisasi-organisasi  profesi  tersebut  dalam ayat  1  pasal  ini  sesuai  dengan  Pernyataan  Bersama  tertanggal  11  Februari  2002  dalam hubungan  kepentingan  profesi  Advokat  dengan  lembaga-lembaga  Negara  dan pemerintah.
4. Organisasi-organisasi  profesi  tersebut  dalam  ayat  1  pasal  ini  akan  membentuk  Dewan kehormatan  sebagai  Dewan  Kehormatan  Bersama,  yang  struktur  akan  disesuaikan dengan Kode Etik Advokat ini.

Pasal  23
Perkara-perkara  pelanggaran  kode  etik  yang  belum  diperiksa  dan  belum  diputus  atau  belum berkekuatan  hukum  yang  tetap  atau  dalam  pemeriksaan  tingkat  banding  akan  diperiksa  dan diputus berdasarkan Kode Etik Advokat ini.

BAB  XXII
PENUTUP

Pasal  24
Kode Etik Advokat ini berlaku sejak tanggal berlakunya Undang-undang tentang Advokat

Ditetapkan  di : Jakarta
Pada  tanggal : 23  Mei  2002
Oleh :  

1. IKATAN ADVOKAT INDONESIA (IKADIN) Ttd. H.  Sudjono,  S.H. Ketua  Umum

2. ASOSIASI ADVOKAT INDONESIA (AAI) Ttd. Denny  Kailimang,  S.H. Ketua  Umum Ttd. Otto  Hasibuan,  S.H.  MM.
Sekretaris Jenderal Ttd. Teddy  Soemantry,  S.H. Sekretaris Jenderal

3. IKATAN PENASIHAT HUKUM INDONESIA (IPHI) Ttd. H.  Indra  Sahnun  Lubis,  S.H. Ketua  Umum Ttd. E.  Suherman  Kartadinata,  S.H. Sekretaris Jenderal

4. ASOSIASI KONSULTAN HUKUM INDONESIA (AKHI) Ttd. Fred  B.  G.  Tumbuan,  S.H.,  L.Ph. Sekretaris/Caretaker  Ketua Ttd. Hoesein  Wiriadinata,  S.H.,  LL.M. Bendahara/Caretaker Ketua

5. HIMPUNAN KONSULTAN HUKUM PASAR MODAL Ttd. Ttd.
Soemarjono  S.,  S.H. Ketua  Umum Hafzan  Taher,  S.H. Sekretaris Jenderal

6. SERIKAT PENGACARA INDONESIA (SPI)
Ttd. Trimedya  Panjaitan,  S.H. Ketua  Umum
Ttd.
Sugeng  T.  Santoso,  S.H. Sekretaris Jenderal

7. HIMPUNAN ADVOKAT & PENGACARA INDONESIA (HAPI) Ttd. H.  A.  Z.  Arifien  Syafe'i,  S.H. Ketua  Umum Ttd. Suhardi  Somomoeljono,  S.H. Sekretaris Jenderal

PERUBAHAN I
KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA Ketujuh  organisasi  profesi  advokat  yang  tergabung  dalam  Komite  Kerjasama  Advokat  Indonesia (KKAI,  yaitu 
Ikatan  Advokat  Indonesia  (IKADIN), 
Asosiasi  Advokat  Indonesia  (AAI), 
Ikatan Penasihat  Hukum  Indonesia  (IPHI),   
Asosiasi  Konsultan  Hukum  Indonesia  (AKHI), 
Himpunan Konsultan  Hukum  Pasar  Modal  (HKHPM),  Serikat  Pengacara  Indonesia  (SPI),  dan 
Himpunan Advokat  &  Pengacara  Indonesia  (HAPI),  dengan  ini  merubah  seluruh  ketentuan  Bab  XXII,  pasal 24  kode  etik  Advokat  Indonesia  yang  ditetapkan  pada  tanggal  23  Mei  2002  sehingga seluruhnya menjadi :
BAB  XXII PENUTUP Kode etik Advokat ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, yaitu sejak tanggal 23 Mei 2002. Ditanda-tangani  di:  Jakarta Pada  tanggal:  1  Oktober  2002 Oleh:

KOMITE KERJA ADVOKAT INDONESIA:
1. IKATAN ADVOKAT INDONESIA (IKADIN) Ttd. H.  Sudjono,  S.H. Ttd. Otto  Hasibuan,  S.H.  MM. Ketua  Umum Sekretaris Jenderal
2. ASOSIASI ADVOKAT INDONESIA (AAI) Ttd. Denny  Kailimang,  S.H. Ttd. Teddy  Soemantry,  S.H. Ketua  Umum Sekretaris Jenderal
3. IKATAN PENASIHAT HUKUM INDONESIA (IPHI)

Ttd. H.  Indra  Sahnun  Lubis,  S.H. Ketua  Umum Ttd. E.  Suherman  Kartadinata,  S.H. Sekretaris Jenderal
4. ASOSIASI KONSULTAN HUKUM INDONESIA (AKHI) Ttd. Fred  B.  G.  Tumbuan,  S.H.,  L.Ph. Sekretaris/Caretaker  Ketua Ttd. Hoesein  Wiriadinata,  S.H.,  LL.M. Bendahara/Caretaker Ketua
5. HIMPUNAN KONSULTAN HUKUM PASAR MODAL Ttd. Soemarjono  S.,  S.H. Ketua  Umum Ttd. Hafzan  Taher,  S.H. Sekretaris Jenderal
6. SERIKAT PENGACARA INDONESIA (SPI) Ttd. Trimedya  Panjaitan,  S.H. Ketua  Umum Ttd. Sugeng  T.  Santoso,  S.H. Sekretaris Jenderal
7. HIMPUNAN ADVOKAT & PENGACARA INDONESIA (HAPI) Ttd. H.  A.  Z.  Arifien  Syafe'i,  S.H. Ketua  Umum Ttd. Suhardi  Somomoeljono,  S.H. Sekretaris Jenderal

Posted by Herwandy Baharuddin, S.H., M.H. at 10:09 No comments:
Email ThisBlogThis!Share to XShare to FacebookShare to Pinterest

Monday, 15 February 2016

Tata cara permohonan isbat nikah

Isbat Nikah
Isbat Nikah adalah permohonan pengesahan nikah yang diajukan ke pengadilan untuk dinyatakan sah-nya pernikahan dan memiliki kekuatan hukum.Sesuai dengan ketentuan di atas, Itsbat Nikah hanya dapat diajukan melalui Pengadilan Agama, di wilayah tempat tinggal Setempat, bukan melalui Kantor Urusan Agama (KUA). Berdasarkan pengalaman praktik dan prosedur yang terdapat di Pengadilan Agama (di Pengadilan Agama daerah tempat tinggal masing-masing bisa saja berbeda), dapat kami sampaikan , bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk melakukan Itsbat Nikah adalah sebagai berikut: 
1.Menyerahkan Surat Permohonan Itsbat Nikah kepada Pengadilan Agama setempat; 
2.Surat keterangan dari Kantor Urusan Agama (KUA) setempat yang menyatakan bahwa pernikahan tersebut belum dicatatkan; 
3.Surat keterangan dari Kepala Desa / Lurah yang menerangkan bahwa Pemohon telah menikah; 4.Foto Copy KTP pemohon Itsbat Nikah; 
5.Membayar biaya perkara; 
6.Lain-lain yang akan ditentukan Hakim dalam persidangan. 
Namun, permohonan Itsbat Nikah tidak selalu dikabulkan oleh Hakim, jika permohonan tersebut dikabulkan, maka Pengadilan akan mengeluarkan putusan atau penetapan Itsbat Nikah. Seperti kami sampaikan di atas, dengan adanya putusan penetapan Itsbat Nikah, maka secara hukum perkawinan tersebut telah tercatat yang berarti adanya jaminan ataupun perlindungan hukum bagi hak-hak suami/istri maupun anak-anak dalam perkawinan tersebut. Dengan sahnya pernikahan Anda di depan agama dan hukum, sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, maka anda dapat mengurus Akta kelahiran anak Anda yang sah sesuai dengan prosedur yang berlaku di Kantor Pencatatan Sipil setempat dengan melampirkan Surat Putusan Itsbat Nikah yang menunjukkan adanya pernikahan yang sah antara anda dan suami. Sehingga anak anda nantinya dapat teercatat sebagai anak dari pasangan yang telah menikah secara sah dimata hukum.

*Tata cara proses pemeriksaan permohonan isbat nikah:*
1. Jika permohonan isbat nikah diajukan oleh suami istri, maka permohonan bersifat voluntair, produknya berupa penetapan, apabila isi penetapan tersebut menolak permohonan isbat nikah, maka suami dan istri bersama-sama atau suami, istri masing-masing dapat mengajukan upaya hukum kasasi;
2. Jika permohonan isbat nikah diajukan oleh salah seorang suami atau istri, maka permohonan bersifat kontensius dengan mendudukkan suami atau istri yang tidak mengajukan permohonan sebagai pihak Termohon, produknya berupa putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi;
3. Jika isbat nikah dalam angka 1 dan 2 tersebut di atas, diketahui suami masih terikat dalam perkawinan yang sah dengan perempuan lain, maka istri terdahulu tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara, apabila istri terdahulu tidak dimasukkan, maka permohonan harus dinyatakan tidak dapat diterima;
4. Jika permohonan isbat nikah diajukan oleh anak, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan harus bersifat kontensius dengan mendudukkan suami dan istri dan/atau ahli waris lain sebagai Termohon;
5. Jika suami atau istri yang telah meninggal dunia, maka suami atau istri dapat mengajukan isbat nikah dengan mendudukkan ahli waris lainnya sebagai pihak Termohon, produknya berupa putusan;
6. Jika suami atau istri tidak mengetahui ada ahli waris lain selain dirinya, maka permohonan isbat nikah diajukan secara voluntair, produknya berupa penetapan;
7. Jika ada orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan isbat nikah tersebut pada angka 1 dan 5, dapat melakukan perlawanan kepada Pengadilan Agama Stabat setelah mengetahui ada penetapan isbat nikah;
8. Jika ada orang lain yang mempunyai kepentingan  dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan isbat nikah tersebut dalam angka 2, 3, dan 4 dapat mengajukan intervensi kepada Pengadilan Agama Stabat selama perkara belum diputus;
9. Jika pihak lain yang mempunyai kepentingan hukum dan tidak menjadi pihak dalam perkara isbat nikah tersebut dalam angka 2, 3, dan 4, sedang permohonan tersebut telah diputus oleh Pengadilan Agama Stabat dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang telah disahkan oleh Pengadilan Agama Stabat;

*Proses Penyelesaian Perkara Pengesahan Perkawinan (Isbat Nikah):*
1. Mengajukan permohonan secara tertulis yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya yang sah ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama  (Pasal 142 ayat (1) R. Bg.);
2. Pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Agama , selanjutnya Ketua Pengadilan Agama atau Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama  mencatat permohonan tersebut (Pasal 144 R. Bg.);
3. Permohonan tersebut diajukan ke Pengadilan Agama , kemudian diberi nomor dan didaftarkan dalam buku register setelah Pemohon atau kuasanya membayar panjar biaya perkara ke BRI Cabang  dengan melampiri slip penyetoran bank yang besarnya telah ditentukan oleh Ketua Pengadilan Agama  (Pasal 145 ayat (4) R. Bg.)
4. Permohonan tersebut memuat:
a. Nama, umur, pekerjaan, agama, pendidikan, kewarganegaraan dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon;
b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
c. Alasan atau kepentingan yang jelas;
d. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita);
5. Pemohon dan Termohon atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan yang dilaksanakan oleh Jurusita/Jurusita Pengganti Pengadilan Agama  (Pasal 26 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975);

*Proses Penyelesaian Perkara Pengesahan Perkawinan (Isbat Nikah):*
1. #Permohonan isbat nikah yang bersifat voluntair, sebelum Majelis Hakim menetapkan hari sidang, terlebih dahulu mengumumkan adanya permohonan isbat nikah melalui media massa (Radio Kalamaira ) dalam waktu 14 (empat belas) hari;
#
Setelah berakhir masa pengumuman Majelis Hakim menetapkan hari sidang paling lambat 3 (tiga) hari setelah berakhirnya pengumuman;
Pemohon dan Termohon dipanggil oleh Jurusita/Jurusita Pengganti Pengadilan Agama  untuk menghadiri sidang pemeriksaan:
a. Pemohon dan Termohon yang berada di wilayah Pengadilan Agama , dipanggil langsung di tempat kediaman Pemohon dan Termohon, jarak pemanggilan dengan hari sidang sekurang-kurangnya tiga hari (Pasal 26 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975);
b. Pemohon atau Termohon yang berada di luar wilayah Pengadilan Agama  dipanggil melalui Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman Pemohon atau Termohon, jarak pemanggilan dengan hari sidang sekurang-kurangnya tiga hari (Pasal 26 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975);
c. Termohon yang tidak diketahui keberadaannya dipanggil melalui media massa (Radio Kalamaira ) sebanyak dua kali, jarak pemanggilan pertama dengan pemanggilan kedua satu bulan dan jarak pemanggilan kedua dengan hari sidang sekurang-kurangnya tiga bulan (Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975;
d. Termohon yang berada di luar negeri dipanggil melalui departemen luar negeri cq. Dirjen protokol dan konsuler departemen luar negeri dengan tembusan disampaikan kepada kedutaan besar Republik Indonesia dan jarak pemanggilan dengan hari sidang sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sejak surat permohonan pemanggilan dikirimkan;
2. Tahapan pemeriksaan:
a. Pada pemeriksaan sidang pertama;
1) Jika Pemohon dan Termohon hadir, maka tahap persidangan dimulai dengan memeriksa identitas para pihak, para pihak tidak diwajibkan melaksanakan proses mediasi karena perkara permohonan isbat nikah (Pasal 3 ayat (2) Perma. Nomor 1 Tahun 2008), selanjutnya Majelis Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009);
2) Jika Termohon tidak hadir, maka Termohon dipanggil sekali lagi (Pasal 150 R.Bg);
b. Selanjutnya tahapan pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, replik, dan duplik (Pasal 157 ayat (1) R. Bg., pembuktian dan kesimpulan);
c. Tahapan sidang berikutnya adalah musyawarah Majelis Hakim dan terakhir membacakan penetapan;
3. Ketentuan penetapan berkekuatan hukum tetap (BHT)
a. Jika kedua belah pihak hadir, maka penetapan akan berkekuatan hukum tetap setelah 14 (empat belas) hari penetapan dibacakan;
b. Jika salah satu pihak tidak hadir pada saat pembacaan penetapan, maka penetapan akan berkekuatan hukum tetap setelah 14 (empat belas) hari penetapan tersebut diberitahukan kepada pihak yang tidak hadir;
*Setelah penetapan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka Panitera Pengadilan Agama  berkewajiban:*
* Menyerahkan atau mengirimkan salinan putusan kepada para pihak selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah putusan dibacakan tanpa dipungut biaya


Dasar hukum: 
1.Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 
2.Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam













Posted by Herwandy Baharuddin, S.H., M.H. at 23:12 No comments:
Email ThisBlogThis!Share to XShare to FacebookShare to Pinterest
Labels: tata cara permohonan isbat nikah

Monday, 25 January 2016

Isi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya.
2. Lalu Lintas adalah gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan.
3. Angkutan adalah perpindahan orang dan/ atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan.
4. Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah serangkaian Simpul dan/ atau ruang kegiatan yang saling terhubungkan untuk penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 
5. Simpul adalah tempat yang diperuntukkan bagi pergantian antarmoda dan intermoda yang berupa Terminal, stasiun kereta api, pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan danau, dan/ atau bandar udara.
6. Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah Ruang Lalu Lintas, Terminal, dan Perlengkapan Jalan yang meliputi marka, rambu, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan, alat pengawasan dan pengamanan Jalan, serta fasilitas pendukung.
7. Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.
8. Kendaraan Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel.
9. Kendaraan Tidak Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/ atau hewan.
10. Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/ atau orang dengan dipungut bayaran.
11 . Ruang Lalu Lintas Jalan adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah Kendaraan, orang, dan/ atau barang yang berupa Jalan dan fasilitas pendukung. 12. Jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/ atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel.
13. Terminal adalah pangkalan Kendaraan Bermotor Umum yang digunakan untuk mengatur kedatangan dan keberangkatan, menaikkan dan menurunkan orang dan/ atau barang, serta perpindahan moda angkutan.
14. Halte adalah tempat pemberhentian Kendaraan Bermotor Umum untuk menaikkan dan menurunkan penumpang.
15. Parkir adalah keadaan Kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya.
16. Berhenti adalah keadaan Kendaraan tidak bergerak untuk sementara dan tidak ditinggalkan pengemudinya.
17. Rambu Lalu Lintas adalah bagian perlengkapan Jalan yang berupa lambang, huruf, angka, kalimat, dan/ atau perpaduan yang berfungsi sebagai peringatan, larangan, perintah, atau petunjuk bagi Pengguna Jalan.
18. Marka Jalan adalah suatu tanda yang berada di permukaan Jalan atau di atas permukaan Jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang membentuk garis membujur, garis melintang, garis serong, serta lambang yang berfungsi untuk mengarahkan arus Lalu Lintas dan membatasi daerah kepentingan Lalu Lintas.
19. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas adalah perangkat elektronik yang menggunakan isyarat lampu yang dapat dilengkapi dengan isyarat bunyi untuk mengatur Lalu Lintas orang dan /atau Kendaraan di persimpangan atau pada ruas Jalan.
20. Sepeda Motor adalah Kendaraan Bermotor beroda dua dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau Kendaraan Bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah.
21 . Perusahaan Angkutan Umum adalah badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/ atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum.
22. Pengguna Jasa adalah perseorangan atau badan hukum yang menggunakan jasa Perusahaan Angkutan Umum. 23. Pengemudi adalah orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi. 24. Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/ atau kerugian harta benda.
25. Penumpang adalah orang yang berada di Kendaraan selain Pengemudi dan awak Kendaraan.
26. Pejalan Kaki adalah setiap orang yang berjalan di Ruang Lalu Lintas Jalan.
27. Pengguna Jalan adalah orang yang menggunakan Jalan untuk berlalu lintas.
28. Dana Preservasi Jalan adalah dana yang khusus digunakan untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan secara berkelanjutan sesuai dengan standar yang ditetapkan.
29. Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas adalah serangkaian usaha dan kegiatan yang meliputi perencanaan, pengadaan, pemasangan, pengaturan, dan pemeliharaan fasilitas perlengkapan Jalan dalam rangka mewujudkan, mendukung dan memelihara keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran Lalu Lintas.
30. Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan terbebasnya setiap orang, barang, dan/ atau Kendaraan dari gangguan perbuatan melawan hukum, dan/ atau rasa takut dalam berlalu lintas.
31 . Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan terhindarnya setiap orang dari risiko kecelakaan selama berlalu lintas yang disebabkan oleh manusia, Kendaraan, Jalan, dan/ atau lingkungan.
32. Ketertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan berlalu lintas yang berlangsung secara teratur sesuai dengan hak dan kewajiban setiap Pengguna Jalan.
33. Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan berlalu lintas dan penggunaan angkutan yang bebas dari hambatan dan kemacetan di Jalan.
34. Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah sekumpulan subsistem yang saling berhubungan dengan melalui penggabungan, pemrosesan, penyimpanan, dan pendistribusian data yang terkait dengan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
35. Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
36. Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
37. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
38. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati/ walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
39. Menteri adalah pembantu Presiden yang memimpin kementerian negara dan bertanggung jawab atas urusan pemerintahan di bidang Jalan, bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bidang industri, bidang pengembangan teknologi, atau bidang pendidikan dan pelatihan.
40. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pemimpin Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penanggung jawab penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi bidang keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan memperhatikan:
a. asas transparan;
b. asas akuntabel;
c. asas berkelanjutan;
d. asas . . . - 7 - d. asas partisipatif; e. asas bermanfaat; f. asas efisien dan efektif; g. asas seimbang; h. asas terpadu; dan i. asas mandiri.

Pasal 3 Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan tujuan:
a. terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa;
b. terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan c. terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.

BAB III
RUANG LINGKUP KEBERLAKUAN UNDANG-UNDANG

Pasal 4
Undang-Undang ini berlaku untuk membina dan menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar melalui: a. kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/ atau barang di Jalan; b. kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan c. kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, pendidikan berlalu lintas, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta penegakan hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

BAB IV
PEMBINAAN

Pasal 5 (1) Negara bertanggung jawab atas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan pembinaannya dilaksanakan oleh Pemerintah. (2) Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. perencanaan; b. pengaturan; c. pengendalian; dan d. pengawasan. (3) Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh instansi pembina sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya yang meliputi: a. urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan; b. urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; c. urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang industri; d. urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan e. urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 6 - 9 - Pasal 6 (1) Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dilakukan oleh instansi pembina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) meliputi: a. penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nasional; b. penetapan norma, standar, pedoman, kriteria, dan prosedur penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berlaku secara nasional; c. penetapan kompetensi pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan secara nasional; d. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, pemberian izin, dan bantuan teknis kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota; dan e. pengawasan terhadap pelaksanaan norma, standar, pedoman, kriteria, dan prosedur yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. (2) Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusannya kepada pemerintah provinsi dan/ atau pemerintah kabupaten/ kota. (3) Urusan pemerintah provinsi dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi: a. penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dan kabupaten/ kota yang jaringannya melampaui batas wilayah kabupaten/ kota; b. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di provinsi; dan c. pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi. (4) Urusan pemerintah kabupaten/ kota dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi: a. penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/ kota yang jaringannya berada di wilayah kabupaten/ kota; b. pemberian . . . - 10 - pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di kabupaten/ kota; dan pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/ kota. BAB V PENYELENGGARAAN Pasal 7 (1) Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam kegiatan pelayanan langsung kepada masyarakat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan hukum, dan/ atau masyarakat. (2) Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi masing-masing meliputi: a. urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan; b. urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; c. urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang industri; d. urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan e. urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 8 - 11 - Pasal 8 Penyelenggaraan di bidang Jalan meliputi kegiatan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan prasarana Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a, yaitu: a. inventarisasi tingkat pelayanan Jalan dan permasalahannya; b. penyusunan rencana dan program pelaksanaannya serta penetapan tingkat pelayanan Jalan yang diinginkan; c. perencanaan, pembangunan, dan optimalisasi pemanfaatan ruas Jalan; d. perbaikan geometrik ruas Jalan dan /atau persimpangan Jalan; e. penetapan kelas Jalan pada setiap ruas Jalan; f. uji kelaikan fungsi Jalan sesuai dengan standar keamanan dan keselamatan berlalu lintas; dan g. pengembangan sistem informasi dan komunikasi di bidang prasarana Jalan. Pasal 9 Penyelenggaraan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b meliputi: a. penetapan rencana umum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; b. Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas; c. persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor; d. perizinan angkutan umum; e. pengembangan sistem informasi dan komunikasi di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; f. pembinaan sumber daya manusia penyelenggara sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan g. penyidikan terhadap pelanggaran perizinan angkutan umum, persyaratan teknis dan kelaikan Jalan Kendaraan Bermotor yang memerlukan keahlian dan/ atau peralatan khusus yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Pasal 10 - 12 - Pasal 10 Penyelenggaraan di bidang industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c meliputi: a. penyusunan rencana dan program pelaksanaan pengembangan industri Kendaraan Bermotor; b. pengembangan industri perlengkapan Kendaraan Bermotor yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan c. pengembangan industri perlengkapan Jalan yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 1 1 Penyelenggaraan di bidang pengembangan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d meliputi: a. penyusunan rencana dan program pelaksanaan pengembangan teknologi Kendaraan Bermotor; b. pengembangan teknologi perlengkapan Kendaraan Bermotor yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan c. pengembangan teknologi perlengkapan Jalan yang menjamin Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 12 Penyelenggaraan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e meliputi: a. pengujian dan penerbitan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor; b. pelaksanaan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor; c. pengumpulan, pemantauan, pengolahan, dan penyajian data Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; d. pengelolaan pusat pengendalian Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; e. pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli Lalu Lintas; f. penegakan . . . - 13 - f. penegakan hukum yang meliputi penindakan pelanggaran dan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas; g. pendidikan berlalu lintas; h. pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas; dan i. pelaksanaan manajemen operasional Lalu Lintas. Pasal 13 (1) Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi. (2) Koordinasi Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (3) Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertugas melakukan koordinasi antarinstansi penyelenggara yang memerlukan keterpaduan dalam merencanakan dan menyelesaikan masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (4) Keanggotaan forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas unsur pembina, penyelenggara, akademisi, dan masyarakat. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah. BAB VI JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN Bagian Kesatu Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 14 (1) Untuk mewujudkan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang terpadu dilakukan pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk menghubungkan semua wilayah di daratan. (2) Pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan kebutuhan. (3) Rencana . . . - 14 - (3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional; b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/ Kota. Pasal 15 (1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf a disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan transportasi dan ruang kegiatan berskala nasional. (2) Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. (3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional memuat: a. prakiraan perpindahan orang dan/ atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup nasional; b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nasional dalam keseluruhan moda transportasi; c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul nasional; dan d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas nasional. Pasal 16 (1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf b disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan ruang kegiatan berskala provinsi. (2) Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan: a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan c. Rencana . . . - 15 - c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional. (3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi memuat: a. prakiraan perpindahan orang dan/ atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup provinsi; b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dalam keseluruhan moda transportasi; c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul provinsi; dan d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas provinsi. Pasal 17 (1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/ Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf c disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta ruang kegiatan berskala kabupaten/ kota. (2) Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/ Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan: a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional; c. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; d. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan e. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/ Kota. (3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/ Kota memuat: a. prakiraan perpindahan orang dan/ atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup kabupaten/ kota; b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/ kota dalam keseluruhan moda transportasi; c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul kabupaten/ kota; dan d. rencana . . . - 16 - d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas kabupaten/ kota. Pasal 18 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah. Bagian Kedua Ruang Lalu Lintas Paragraf 1 Kelas Jalan Pasal 19 (1) Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan: a. fungsi dan intensitas Lalu Lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan Jalan dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan b. daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi Kendaraan Bermotor. (2) Pengelompokan Jalan menurut kelas Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 (sepuluh) ton; b. jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; c. jalan . . . - 17 - c. jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua ribu seratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; dan d. jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 (sepuluh) ton. (3) Dalam keadaan tertentu daya dukung jalan kelas III sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat ditetapkan muatan sumbu terberat kurang dari 8 (delapan) ton. (4) Kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Jalan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan kelas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 20 (1) Penetapan kelas jalan pada setiap ruas jalan dilakukan oleh: a. Pemerintah, untuk jalan nasional; b. pemerintah provinsi, untuk jalan provinsi; c. pemerintah kabupaten, untuk jalan kabupaten; atau d. pemerintah kota, untuk jalan kota. (2) Kelas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelompokan kelas jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan tata cara penetapan kelas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah. Paragraf 2 - 18 - Paragraf 2 Penggunaan dan Perlengkapan Jalan Pasal 2 1 (1) Setiap Jalan memiliki batas kecepatan paling tinggi yang ditetapkan secara nasional. (2) Batas kecepatan paling tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan kawasan permukiman, kawasan perkotaan, jalan antarkota, dan jalan bebas hambatan. (3) Atas pertimbangan keselamatan atau pertimbangan khusus lainnya, Pemerintah Daerah dapat menetapkan batas kecepatan paling tinggi setempat yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas. (4) Batas kecepatan paling rendah pada jalan bebas hambatan ditetapkan dengan batas absolut 60 (enam puluh) kilometer per jam dalam kondisi arus bebas. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas kecepatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 22 (1) Jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan laik fungsi Jalan secara teknis dan administratif. (2) Penyelenggara Jalan wajib melaksanakan uji kelaikan fungsi Jalan sebelum pengoperasian Jalan. (3) Penyelenggara Jalan wajib melakukan uji kelaikan fungsi Jalan pada Jalan yang sudah beroperasi secara berkala dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/ atau sesuai dengan kebutuhan. (4) Uji kelaikan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh tim uji laik fungsi Jalan yang dibentuk oleh penyelenggara Jalan. (5) Tim uji laik fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas unsur penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia. (6) Hasil . . . - 19 - (6) Hasil uji kelaikan fungsi Jalan wajib dipublikasikan dan ditindaklanjuti oleh penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan/ atau Kepolisian Negara Republik Indonesia. (7) Uji kelaikan fungsi Jalan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 23 (1) Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan preservasi Jalan dan/ atau peningkatan kapasitas Jalan wajib menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 24 (1) Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas. (2) Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan Jalan yang rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara Jalan wajib memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas. Pasal 25 (1) Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa: a. Rambu Lalu Lintas; b. Marka Jalan; c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas; d. alat penerangan Jalan; e. alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan; f. alat . . . - 20 - f. alat pengawasan dan pengamanan Jalan; g. fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat; dan h. fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berada di Jalan dan di luar badan Jalan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 26 (1) Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) diselenggarakan oleh: a. Pemerintah untuk jalan nasional; b. pemerintah provinsi untuk jalan provinsi; c. pemerintah kabupaten/ kota untuk jalan kabupaten/ kota dan jalan desa; atau d. badan usaha jalan tol untuk jalan tol. (2) Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 27 (1) Perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu disesuaikan dengan kapasitas, intensitas, dan volume Lalu Lintas. (2) Ketentuan mengenai pemasangan perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu diatur dengan peraturan daerah. Pasal 28 (1) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/ atau gangguan fungsi Jalan. (2) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1). Bagian Ketiga . . . - 21 - Bagian Ketiga Dana Preservasi Jalan Pasal 29 (1) Untuk mendukung pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar, kondisi Jalan harus dipertahankan. (2) Untuk mempertahankan kondisi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperlukan Dana Preservasi Jalan. (3) Dana Preservasi Jalan digunakan khusus untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan. (4) Dana Preservasi Jalan dapat bersumber dari Pengguna Jalan dan pengelolaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 30 Pengelolaan Dana Preservasi Jalan harus dilaksanakan berdasarkan prinsip berkelanjutan, akuntabilitas, transparansi, keseimbangan, dan kesesuaian. Pasal 3 1 Dana Preservasi Jalan dikelola oleh unit pengelola Dana Preservasi Jalan yang bertanggung jawab kepada Menteri di bidang Jalan. Pasal 32 Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja unit pengelola Dana Preservasi Jalan diatur dengan peraturan Presiden. Bagian Keempat Terminal Paragraf 1 Fungsi, Klasifikasi, dan Tipe Terminal Pasal 33 (1) Untuk menunjang kelancaran perpindahan orang dan/ atau barang serta keterpaduan intramoda dan antarmoda di tempat tertentu, dapat dibangun dan diselenggarakan Terminal. (2) Terminal . . . - 22 - (2) Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Terminal penumpang dan/ atau Terminal barang. Pasal 34 (1) Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menurut pelayanannya dikelompokkan dalam tipe A, tipe B, dan tipe C. (2) Setiap tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dalam beberapa kelas berdasarkan intensitas Kendaraan yang dilayani. Pasal 35 Untuk kepentingan sendiri, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan swasta dapat membangun Terminal barang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 36 Setiap Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib singgah di Terminal yang sudah ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam izin trayek. Paragraf 2 Penetapan Lokasi Terminal Pasal 37 (1) Penentuan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan rencana kebutuhan Terminal yang merupakan bagian dari Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Penetapan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan: a. tingkat aksesibilitas Pengguna Jasa angkutan; b. kesesuaian lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/ Kota; c. kesesuaian . . . - 23 - c. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/ atau kinerja jaringan Jalan, jaringan trayek, dan jaringan lintas; d. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/ atau pusat kegiatan; e. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain; f. permintaan angkutan; g. kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi; h. Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/ atau i. kelestarian lingkungan hidup. Paragraf 3 Fasilitas Terminal Pasal 38 (1) Setiap penyelenggara Terminal wajib menyediakan fasilitas Terminal yang memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan. (2) Fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas utama dan fasilitas penunjang. (3) Untuk menjaga kondisi fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggara Terminal wajib melakukan pemeliharaan. Paragraf 4 Lingkungan Kerja Terminal Pasal 39 (1) Lingkungan kerja Terminal merupakan daerah yang diperuntukkan bagi fasilitas Terminal. (2) Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh penyelenggara Terminal dan digunakan untuk pelaksanaan pembangunan, pengembangan, dan pengoperasian fasilitas Terminal. (3) Lingkungan . . . - 24- (3) Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/ kota, khusus Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi. Paragraf 5 Pembangunan dan Pengoperasian Terminal Pasal 40 (1) Pembangunan Terminal harus dilengkapi dengan: a. rancang bangun; b. buku kerja rancang bangun; c. rencana induk Terminal; d. analisis dampak Lalu Lintas; dan e. analisis mengenai dampak lingkungan. (2) Pengoperasian Terminal meliputi kegiatan: a. perencanaan; b. pelaksanaan; dan c. pengawasan operasional Terminal. Pasal 41 (1) Setiap penyelenggara Terminal wajib memberikan pelayanan jasa Terminal sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan. (2) Pelayanan jasa Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan retribusi yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 6 Pengaturan Lebih Lanjut Pasal 42 Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, klasifikasi, tipe, penetapan lokasi, fasilitas, lingkungan kerja, pembangunan, dan pengoperasian Terminal diatur dengan peraturan pemerintah. Bagian Kelima . . . - 25 - Bagian Kelima Fasilitas Parkir Pasal 43 (1) Penyediaan fasilitas Parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di luar Ruang Milik Jalan sesuai dengan izin yang diberikan. (2) Penyelenggaraan fasilitas Parkir di luar Ruang Milik Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia berupa: a. usaha khusus perparkiran; atau b. penunjang usaha pokok. (3) Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, dan/ atau Marka Jalan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengguna Jasa fasilitas Parkir, perizinan, persyaratan, dan tata cara penyelenggaraan fasilitas dan Parkir untuk umum diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 44 Penetapan lokasi dan pembangunan fasilitas Parkir untuk umum dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan : a. rencana umum tata ruang; b. analisis dampak lalu lintas; dan c. kemudahan bagi Pengguna Jasa. Bagian Keenam Fasilitas Pendukung Pasal 45 (1) Fasilitas pendukung penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi: a. trotoar; b. lajur . . . - 26 - b. lajur sepeda; c. tempat penyeberangan Pejalan Kaki; d. Halte; dan/ atau e. fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut. (2) Penyediaan fasilitas pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh: a. Pemerintah untuk jalan nasional; b. pemerintah provinsi untuk jalan provinsi; c. pemerintah kabupaten untuk jalan kabupaten dan jalan desa; d. pemerintah kota untuk jalan kota; dan e. badan usaha jalan tol untuk jalan tol. Pasal 46 (1) Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan, pengelolaan, dan pemeliharaan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dapat bekerja sama dengan pihak swasta. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, serta spesifikasi teknis fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah. BAB VII KENDARAAN Bagian Kesatu Jenis dan Fungsi Kendaraan Pasal 47 (1) Kendaraan terdiri atas: a. Kendaraan Bermotor; dan b. Kendaraan Tidak Bermotor. (2) Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelompokkan berdasarkan jenis: a. sepeda motor; b. mobil . . . - 27 - b. mobil penumpang; c. mobil bus; d. mobil barang; dan e. kendaraan khusus. (3) Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d dikelompokkan berdasarkan fungsi: a. Kendaraan Bermotor perseorangan; dan b. Kendaraan Bermotor Umum. (4) Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikelompokkan dalam: a. Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga orang; dan b. Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga hewan. Bagian Kedua Persyaratan Teknis dan Laik Jalan Kendaraan Bermotor Pasal 48 (1) Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan harus memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan. (2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. susunan; b. perlengkapan; c. ukuran; d. karoseri; e. rancangan teknis kendaraan sesuai dengan peruntukannya; f. pemuatan; g. penggunaan; h. penggandengan Kendaraan Bermotor; dan/ atau i. penempelan Kendaraan Bermotor. (3) Persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh kinerja minimal Kendaraan Bermotor yang diukur sekurang-kurangnya terdiri atas: a. emisi gas buang; b. kebisingan . . . - 28 - b. kebisingan suara; c. efisiensi sistem rem utama; d. efisiensi sistem rem parkir; e. kincup roda depan; f. suara klakson; g. daya pancar dan arah sinar lampu utama; h. radius putar; i. akurasi alat penunjuk kecepatan; j. kesesuaian kinerja roda dan kondisi ban; dan k. kesesuaian daya mesin penggerak terhadap berat Kendaraan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah. Bagian Ketiga Pengujian Kendaraan Bermotor Pasal 49 (1) Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang diimpor, dibuat dan/ atau dirakit di dalam negeri yang akan dioperasikan di Jalan wajib dilakukan pengujian. (2) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. uji tipe; dan uji tipe; dan b. uji berkala. Pasal 50 (1) Uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a wajib dilakukan bagi setiap Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan, yang diimpor, dibuat dan/ atau dirakit di dalam negeri, serta modifikasi Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe. (2) Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. pengujian fisik untuk pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan yang dilakukan terhadap landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap; dan b. penelitian . . . - 29 - b. penelitian rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor yang dilakukan terhadap rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan, dan Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi tipenya. (3) Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh unit pelaksana uji tipe Pemerintah. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai uji tipe dan unit pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 5 1 (1) Landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap yang telah lulus uji tipe diberi sertifikat lulus uji tipe. (2) Rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan, dan modifikasi tipe Kendaraan Bermotor yang telah lulus uji tipe diterbitkan surat keputusan pengesahan rancang bangun dan rekayasa. (3) Penanggung jawab pembuatan, perakitan, pengimporan landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap, rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan dan kereta tempelan, serta Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi harus meregistrasikan tipe produksinya. (4) Sebagai bukti telah dilakukan registrasi tipe produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diberikan tanda bukti sertifikat registrasi uji tipe. (5) Sebagai jaminan kesesuaian spesifikasi teknik seri produksinya terhadap sertifikat uji tipe, dilakukan uji sampel oleh unit pelaksana uji tipe Pemerintah. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai modifikasi dan uji tipe diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 52 - 30 - Pasal 52 (1) Modifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dapat berupa modifikasi dimensi, mesin, dan kemampuan daya angkut. (2) Modifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh membahayakan keselamatan berlalu lintas, mengganggu arus lalu lintas, serta merusak lapis perkerasan /daya dukung jalan yang dilalui. (3) Setiap Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi sehingga mengubah persyaratan konstruksi dan material wajib dilakukan uji tipe ulang. (4) Bagi Kendaraan Bermotor yang telah diuji tipe ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus dilakukan registrasi dan identifikasi ulang. Pasal 53 (1) Uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b diwajibkan untuk mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang dioperasikan di Jalan. (2) Pengujian berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan: a. pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan Bermotor; dan b. pengesahan hasil uji. (3) Kegiatan pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan oleh: a. unit pelaksana pengujian pemerintah kabupaten/ kota; b. unit pelaksana agen tunggal pemegang merek yang mendapat izin dari Pemerintah; atau c. unit pelaksana pengujian swasta yang mendapatkan izin dari Pemerintah. Pasal 54 - 31 - Pasal 54 (1) Pemeriksaan dan pengujian fisik mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kendaraan khusus, kereta gandengan, dan kereta tempelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a meliputi pengujian terhadap persyaratan teknis dan laik jalan. (2) Pengujian terhadap persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. susunan; b. perlengkapan; c. ukuran; d. karoseri; dan e. rancangan teknis Kendaraan Bermotor sesuai dengan peruntukannya. (3) Pengujian terhadap persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi: a. emisi gas buang Kendaraan Bermotor; b. tingkat kebisingan; c. kemampuan rem utama; d. kemampuan rem parkir; e. kincup roda depan; f. kemampuan pancar dan arah sinar lampu utama; g. akurasi alat penunjuk kecepatan; dan h. kedalaman alur ban. (4) Pengujian terhadap persyaratan laik jalan kereta gandengan dan kereta tempelan meliputi uji kemampuan rem, kedalaman alur ban, dan uji sistem lampu. (5) Bukti lulus uji berkala hasil pemeriksaan dan pengujian fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemberian kartu uji dan tanda uji. (6) Kartu uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat keterangan tentang identifikasi Kendaraan Bermotor dan identitas pemilik, spesifikasi teknis, hasil uji, dan masa berlaku hasil uji. (7) Tanda uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat keterangan tentang identifikasi Kendaraan Bermotor dan masa berlaku hasil uji. Pasal 55 . . . - 32 - Pasal 55 (1) Pengesahan hasil uji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b diberikan oleh: a. petugas yang memiliki kompetensi yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan atas usul gubernur untuk pengujian yang dilakukan oleh unit pelaksana pengujian pemerintah kabupaten/ kota; dan b. petugas swasta yang memiliki kompetensi yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk pengujian yang dilakukan oleh unit pelaksana pengujian agen tunggal pemegang merek dan unit pelaksana pengujian swasta. (2) Kompetensi petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat tanda lulus pendidikan dan pelatihan. Pasal 56 Ketentuan lebih lanjut mengenai uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55 diatur dengan peraturan pemerintah. Bagian Keempat Perlengkapan Kendaraan Bermotor Pasal 57 (1) Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi dengan perlengkapan Kendaraan Bermotor. (2) Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Sepeda Motor berupa helm standar nasional Indonesia. (3) Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih sekurang- kurangnya terdiri atas: a. sabuk keselamatan; b. ban cadangan; c. segitiga . . . - 33 - c. segitiga pengaman; d. dongkrak; e. pembuka roda; f. helm dan rompi pemantul cahaya bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang tidak memiliki rumah-rumah; dan g. peralatan pertolongan pertama pada Kecelakaan Lalu Lintas. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 58 Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan dilarang memasang perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas. Pasal 59 (1) Untuk kepentingan tertentu, Kendaraan Bermotor dapat dilengkapi dengan lampu isyarat dan/ atau sirene. (2) Lampu isyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas warna: a. merah; b. biru; dan c. kuning. (3) Lampu isyarat warna merah atau biru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b serta sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai tanda Kendaraan Bermotor yang memiliki hak utama. (4) Lampu isyarat warna kuning sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berfungsi sebagai tanda peringatan kepada Pengguna Jalan lain. (5) Penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sebagai berikut: a. lampu isyarat warna biru dan sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia; b. lampu . . . - 34- b. lampu isyarat warna merah dan sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor tahanan, pengawalan Tentara Nasional Indonesia, pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, rescue, dan jenazah; dan c. lampu isyarat warna kuning tanpa sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor patroli jalan tol, pengawasan sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perawatan dan pembersihan fasilitas umum, menderek Kendaraan, dan angkutan barang khusus. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, prosedur, dan tata cara pemasangan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bagian Kelima Bengkel Umum Kendaraan Bermotor Pasal 60 (1) Bengkel umum Kendaraan Bermotor berfungsi untuk memperbaiki dan merawat Kendaraan Bermotor, wajib memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan. (2) Bengkel umum yang mempunyai akreditasi dan kualitas tertentu dapat melakukan pengujian berkala Kendaraan Bermotor. (3) Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang industri. (4) Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan izin dari pemerintah kabupaten/ kota berdasarkan rekomendasi dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. (5) Pengawasan . . . - 35 - (5) Pengawasan terhadap bengkel umum Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/ kota. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum diatur dengan peraturan pemerintah. Bagian Keenam Kendaraan Tidak Bermotor Pasal 6 1 (1) Setiap Kendaraan Tidak Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib memenuhi persyaratan keselamatan, meliputi: a. persyaratan teknis; dan b. persyaratan tata cara memuat barang. (2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sekurang-kurangnya meliputi: a. konstruksi; b. sistem kemudi; c. sistem roda; d. sistem rem; e. lampu dan pemantul cahaya; dan f. alat peringatan dengan bunyi. (3) Persyaratan tata cara memuat barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sekurang-kurangnya meliputi dimensi dan berat. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 62 (1) Pemerintah harus memberikan kemudahan berlalu lintas bagi pesepeda. (2) Pesepeda - 36 - (2) Pesepeda berhak atas fasilitas pendukung keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran dalam berlalu lintas. Pasal 63 (1) Pemerintah Daerah dapat menentukan jenis dan penggunaan Kendaraan Tidak Bermotor di daerahnya sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan daerah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan penggunaan Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan daerah kabupaten/ kota. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan penggunaan Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersifat lintas kabupaten/ kota diatur dengan peraturan daerah provinsi. Bagian Ketujuh Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor Pasal 64 (1) Setiap Kendaraan Bermotor wajib diregistrasikan. (2) Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. registrasi Kendaraan Bermotor baru; b. registrasi perubahan identitas Kendaraan Bermotor dan pemilik; c. registrasi perpanjangan Kendaraan Bermotor; dan/ atau d. registrasi pengesahan Kendaraan Bermotor. (3) Registrasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: a. tertib administrasi; b. pengendalian dan pengawasan Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Indonesia; c. mempermudah penyidikan pelanggaran dan/ atau kejahatan; d. perencanaan . . . - 37 - d. perencanaan, operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan e. perencanaan pembangunan nasional. (4) Registrasi Kendaraan Bermotor dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui sistem manajemen registrasi Kendaraan Bermotor. (5) Data registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor merupakan bagian dari Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan digunakan untuk forensik kepolisian. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 65 (1) Registrasi Kendaraan Bermotor baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf a meliputi kegiatan: a. registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan pemiliknya; b. penerbitan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor; dan c. penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor. (2) Sebagai bukti bahwa Kendaraan Bermotor telah diregistrasi, pemilik diberi Buku Pemilik Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor. Pasal 66 Registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor untuk pertama kali harus memenuhi persyaratan: a. memiliki sertifikat registrasi uji tipe; b. memiliki bukti kepemilikan Kendaraan Bermotor yang sah; dan c. memiliki hasil pemeriksaan cek fisik Kendaraan Bermotor.
Pasal 67

- 38 - Pasal 67 (1) Registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor, pembayaran pajak Kendaraan Bermotor, dan pembayaran Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan secara terintegrasi dan terkoordinasi dalam Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap. (2) Sarana dan prasarana penyelenggaraan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan oleh Pemerintah Daerah. (3) Mekanisme penyelenggaraan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap dikoordinasikan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan prosedur serta pelaksanaan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Presiden. Pasal 68 (1) Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor. (2) Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat data Kendaraan Bermotor, identitas pemilik, nomor registrasi Kendaraan Bermotor, dan masa berlaku. (3) Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kode wilayah, nomor registrasi, dan masa berlaku. (4) Tanda Nomor Kendaraan Bermotor harus memenuhi syarat bentuk, ukuran, bahan, warna, dan cara pemasangan. (5) Selain Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikeluarkan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor khusus dan/ atau Tanda Nomor Kendaraan Bermotor rahasia. (6) Ketentuan . . . - 39 - (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 69 (1) Setiap Kendaraan Bermotor yang belum diregistrasi dapat dioperasikan di Jalan untuk kepentingan tertentu dengan dilengkapi Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Nomor Kendaraan Bermotor. (2) Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia kepada badan usaha di bidang penjualan, pembuatan, perakitan, atau impor Kendaraan Bermotor. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemberian dan penggunaan Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Nomor Kendaraan Bermotor diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 70 (1) Buku Pemilik Kendaraan Bermotor berlaku selama kepemilikannya tidak dipindahtangankan. (2) Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor berlaku selama 5 (lima) tahun, yang harus dimintakan pengesahan setiap tahun. (3) Sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor wajib diajukan permohonan perpanjangan. Pasal 7 1 (1) Pemilik Kendaraan Bermotor wajib melaporkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia jika: a. bukti registrasi hilang atau rusak; b. spesifikasi teknis dan/ atau fungsi Kendaraan Bermotor diubah; c. kepemilikan . . . - 40 - c. kepemilikan Kendaraan Bermotor beralih; atau d. Kendaraan Bermotor digunakan secara terus- menerus lebih dari 3 (tiga) bulan di luar wilayah Kendaraan diregistrasi. (2) Pelaporan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c disampaikan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia di tempat Kendaraan Bermotor tersebut terakhir diregistrasi. (3) Pelaporan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disampaikan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia di tempat Kendaraan Bermotor tersebut dioperasikan. Pasal 72 (1) Registrasi Kendaraan Bermotor Tentara Nasional Indonesia diatur dengan peraturan Panglima Tentara Nasional Indonesia dan dilaporkan untuk pendataan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. (2) Registrasi Kendaraan Bermotor Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. (3) Registrasi Kendaraan Bermotor perwakilan negara asing dan lembaga internasional diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 73 (1) Kendaraan Bermotor Umum yang telah diregistrasi dapat dihapus dari daftar registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor Umum atas dasar: a. permintaan pemilik Kendaraan Bermotor Umum; atau b. usulan pejabat yang berwenang memberi izin angkutan umum. (2) Setiap Kendaraan Bermotor Umum yang tidak lagi digunakan sebagai angkutan umum wajib dihapuskan dari daftar registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor Umum. Pasal 74 - 41 - Pasal 74 (1) Kendaraan Bermotor yang telah diregistrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dapat dihapus dari daftar registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor atas dasar: a. permintaan pemilik Kendaraan Bermotor; atau b. pertimbangan pejabat yang berwenang melaksanakan registrasi Kendaraan Bermotor. (2) Penghapusan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan jika: a. Kendaraan Bermotor rusak berat sehingga tidak dapat dioperasikan; atau b. pemilik Kendaraan Bermotor tidak melakukan registrasi ulang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun setelah habis masa berlaku Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor. (3) Kendaraan Bermotor yang telah dihapus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diregistrasi kembali. Pasal 75 Ketentuan lebih lanjut mengenai Buku Pemilik Kendaraan Bermotor, penghapusan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bagian Kedelapan Sanksi Administratif Pasal 76 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 53 ayat (1), Pasal 54 ayat (2) atau ayat (3), atau Pasal 60 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembayaran denda; c. pembekuan izin; dan/ atau d. pencabutan izin. (2) Setiap . . . - 42 - (2) Setiap orang yang menyelenggarakan bengkel umum yang melanggar ketentuan Pasal 60 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembayaran denda; dan/ atau c. penutupan bengkel umum. (3) Setiap petugas pengesah swasta yang melanggar ketentuan Pasal 54 ayat (2) atau ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembayaran denda; c. pembekuan sertifikat pengesah; dan/ atau d. pencabutan sertifikat pengesah. (4) Setiap petugas penguji atau pengesah uji berkala yang melanggar ketentuan Pasal 54 ayat (2) atau ayat (3) dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah. BAB VIII PENGEMUDI Bagian Kesatu Surat Izin Mengemudi Paragraf 1 Persyaratan Pengemudi Pasal 77 (1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan. (2) Surat . . . - 43 - (2) Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 2 (dua) jenis: a. Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor perseorangan; dan b. Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum. (3) Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi, calon Pengemudi harus memiliki kompetensi mengemudi yang dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan atau belajar sendiri. (4) Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum, calon Pengemudi wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan Pengemudi angkutan umum. (5) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya diikuti oleh orang yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor perseorangan. Paragraf 2 Pendidikan dan Pelatihan Pengemudi Pasal 78 (1) Pendidikan dan pelatihan mengemudi diselenggarakan oleh lembaga yang mendapat izin dan terakreditasi dari Pemerintah. (2) Izin penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan mengemudi yang diberikan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. (3) Izin penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan mengemudi yang diberikan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. (4) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 79 . . . - 44 - Pasal 79 (1) Setiap calon Pengemudi pada saat belajar mengemudi atau mengikuti ujian praktik mengemudi di Jalan wajib didampingi instruktur atau penguji. (2) Instruktur atau penguji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas pelanggaran dan/ atau Kecelakaan Lalu Lintas yang terjadi saat calon Pengemudi belajar atau menjalani ujian. Paragraf 3 Bentuk dan Penggolongan Surat Izin Mengemudi Pasal 80 Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) huruf a digolongkan menjadi: a. Surat Izin Mengemudi A berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; b. Surat Izin Mengemudi B I berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; c. Surat Izin Mengemudi B II berlaku untuk mengemudikan Kendaraan alat berat, Kendaraan penarik, atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan perseorangan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 (seribu) kilogram; d. Surat Izin Mengemudi C berlaku untuk mengemudikan Sepeda Motor; dan e. Surat Izin Mengemudi D berlaku untuk mengemudikan kendaraan khusus bagi penyandang cacat. Pasal 8 1 (1) Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, setiap orang harus memenuhi persyaratan usia, administratif, kesehatan, dan lulus ujian. (2) Syarat . . . - 45 - (2) Syarat usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut: a. usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D; b. usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I; dan c. usia 2 1 (dua puluh satu) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II. (3) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. identitas diri berupa Kartu Tanda Penduduk; b. pengisian formulir permohonan; dan c. rumusan sidik jari. (4) Syarat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. sehat jasmani dengan surat keterangan dari dokter; dan b. sehat rohani dengan surat lulus tes psikologis. (5) Syarat lulus ujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. ujian teori; b. ujian praktik; dan/ atau c. ujian keterampilan melalui simulator. (6) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor yang akan mengajukan permohonan: a. Surat Izin Mengemudi B I harus memiliki Surat Izin Mengemudi A sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan; dan b. Surat Izin Mengemudi B II harus memiliki Surat Izin Mengemudi B I sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan. Pasal 82 - 46 - Pasal 82 Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) huruf b digolongkan menjadi: a. Surat Izin Mengemudi A Umum berlaku untuk mengemudikan kendaraan bermotor umum dan barang dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; b. Surat Izin Mengemudi B I Umum berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang umum dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; dan c. Surat Izin Mengemudi B II Umum berlaku untuk mengemudikan Kendaraan penarik atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 (seribu) kilogram. Pasal 83 (1) Setiap orang yang mengajukan permohonan untuk dapat memiliki Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor Umum harus memenuhi persyaratan usia dan persyaratan khusus. (2) Syarat usia untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut: a. usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A Umum; b. usia 22 (dua puluh dua) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I Umum; dan c. usia 23 (dua puluh tiga) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II Umum. (3) Persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut: a. lulus ujian teori yang meliputi pengetahuan mengenai: 1. pelayanan angkutan umum; 2. fasilitas umum dan fasilitas sosial; 3. pengujian Kendaraan Bermotor; 4. tata cara mengangkut orang dan/ atau barang; 5. tempat . . . - 47 - 5. tempat penting di wilayah domisili; 6. jenis barang berbahaya; dan 7. pengoperasian peralatan keamanan. b. lulus ujian praktik, yang meliputi: 1. menaikkan dan menurunkan penumpang dan/ atau barang di Terminal dan di tempat tertentu lainnya; 2. tata cara mengangkut orang dan/ atau barang; 3. mengisi surat muatan; 4. etika Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum; dan 5. pengoperasian peralatan keamanan. (4) Dengan memperhatikan syarat usia, setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor yang akan mengajukan permohonan: a. Surat Izin Mengemudi A Umum harus memiliki Surat Izin Mengemudi A sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan; b. untuk Surat Izin Mengemudi B I Umum harus memiliki Surat Izin Mengemudi B I atau Surat Izin Mengemudi A Umum sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan; dan c. untuk Surat Izin Mengemudi B II Umum harus memiliki Surat Izin Mengemudi B II atau Surat Izin Mengemudi B I Umum sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan. (5) Selain harus memenuhi persyaratan usia dan persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), setiap orang yang mengajukan permohonan untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (3) dan ayat (4). Pasal 84 Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor dapat digunakan sebagai Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor yang jumlah beratnya sama atau lebih rendah, sebagai berikut: a. Surat Izin Mengemudi A Umum dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A; b. Surat . . . - 48 - b. Surat Izin Mengemudi B I dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A; c. Surat Izin Mengemudi B I Umum dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi A Umum, dan Surat Izin Mengemudi B I; d. Surat Izin Mengemudi B II dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A dan Surat Izin Mengemudi B I; atau e. Surat Izin Mengemudi B II Umum dapat berlaku untuk mengemudikan Kendaraan Bermotor yang seharusnya menggunakan Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi A Umum, Surat Izin Mengemudi B I, Surat Izin Mengemudi B I Umum, dan Surat Izin Mengemudi B II. Pasal 85 (1) Surat Izin Mengemudi berbentuk kartu elektronik atau bentuk lain. (2) Surat Izin Mengemudi berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. (3) Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (4) Dalam hal terdapat perjanjian bilateral atau multilateral antara Negara Kesatuan Republik Indonesia dan negara lain, Surat Izin Mengemudi yang diterbitkan di Indonesia dapat pula berlaku di negara lain dan Surat Izin Mengemudi yang diterbitkan oleh negara lain berlaku di Indonesia. (5) Pemegang Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat memperoleh Surat Izin Mengemudi internasional yang diterbitkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Paragraf 4 - 49 - Paragraf 4 Fungsi Surat Izin Mengemudi Pasal 86 (1) Surat Izin Mengemudi berfungsi sebagai bukti kompetensi mengemudi. (2) Surat Izin Mengemudi berfungsi sebagai registrasi Pengemudi Kendaraan Bermotor yang memuat keterangan identitas lengkap Pengemudi. (3) Data pada registrasi Pengemudi dapat digunakan untuk mendukung kegiatan penyelidikan, penyidikan, dan identifikasi forensik kepolisian. Bagian Kedua Penerbitan dan Penandaan Surat Izin Mengemudi Paragraf 1 Penerbitan Surat Izin Mengemudi Pasal 87 (1) Surat Izin Mengemudi diberikan kepada setiap calon Pengemudi yang lulus ujian mengemudi. (2) Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. (3) Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib menyelenggarakan sistem informasi penerbitan Surat Izin Mengemudi. (4) Setiap petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang penerbitan Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menaati prosedur penerbitan Surat Izin Mengemudi. Pasal 88 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, persyaratan, pengujian, dan penerbitan Surat Izin Mengemudi diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Paragraf 2 . . . - 50 - Paragraf 2 Pemberian Tanda Pelanggaran pada Surat Izin Mengemudi Pasal 89 (1) Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang memberikan tanda atau data pelanggaran terhadap Surat Izin Mengemudi milik Pengemudi yang melakukan pelanggaran tindak pidana Lalu Lintas. (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk menahan sementara atau mencabut Surat Izin Mengemudi sementara sebelum diputus oleh pengadilan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian tanda atau data pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bagian Ketiga Waktu Kerja Pengemudi Pasal 90 (1) Setiap Perusahaan Angkutan Umum wajib mematuhi dan memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (2) Waktu kerja bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 8 (delapan) jam sehari. (3) Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum setelah mengemudikan Kendaraan selama 4 (empat) jam berturut-turut wajib beristirahat paling singkat setengah jam. (4) Dalam hal tertentu Pengemudi dapat dipekerjakan paling lama 12 (dua belas) jam sehari termasuk waktu istirahat selama 1 (satu) jam. Bagian Keempat . . . - 51 - Bagian Keempat Sanksi Administratif Pasal 9 1 (1) Setiap petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang penerbitan Surat Izin Mengemudi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa sanksi disiplin dan/ atau etika profesi kepolisian. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 92 (1) Setiap Perusahaan Angkutan Umum yang tidak mematuhi dan memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian Pengemudi Kendaraan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. pemberian denda administratif; c. pembekuan izin; dan/ atau d. pencabutan izin. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah. BAB IX - 52 - BAB IX LALU LINTAS Bagian Kesatu Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas Paragraf 1 Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas Pasal 93 (1) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dilaksanakan untuk mengoptimalkan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas dalam rangka menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. penetapan prioritas angkutan massal melalui penyediaan lajur atau jalur atau jalan khusus; b. pemberian prioritas keselamatan dan kenyamanan Pejalan Kaki; c. pemberian kemudahan bagi penyandang cacat; d. pemisahan atau pemilahan pergerakan arus Lalu Lintas berdasarkan peruntukan lahan, mobilitas, dan aksesibilitas; e. pemaduan berbagai moda angkutan; f. pengendalian Lalu Lintas pada persimpangan; g. pengendalian Lalu Lintas pada ruas Jalan; dan/ atau h. perlindungan terhadap lingkungan. (3) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas meliputi kegiatan: a. perencanaan; b. pengaturan; c. perekayasaan; d. pemberdayaan; dan e. pengawasan. Pasal 94 - 53 - Pasal 94 (1) Kegiatan perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf a meliputi: a. identifikasi masalah Lalu Lintas; b. inventarisasi dan analisis situasi arus Lalu Lintas; c. inventarisasi dan analisis kebutuhan angkutan orang dan barang; d. inventarisasi dan analisis ketersediaan atau daya tampung jalan; e. inventarisasi dan analisis ketersediaan atau daya tampung Kendaraan; f. inventarisasi dan analisis angka pelanggaran dan Kecelakaan Lalu Lintas; g. inventarisasi dan analisis dampak Lalu Lintas; h. penetapan tingkat pelayanan; dan i. penetapan rencana kebijakan pengaturan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas. (2) Kegiatan pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf b meliputi: a. penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas pada jaringan Jalan tertentu; dan b. pemberian informasi kepada masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan. (3) Kegiatan perekayasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf c meliputi: a. perbaikan geometrik ruas Jalan dan/ atau persimpangan serta perlengkapan Jalan yang tidak berkaitan langsung dengan Pengguna Jalan; b. pengadaan, pemasangan, perbaikan, dan pemeliharaan perlengkapan Jalan yang berkaitan langsung dengan Pengguna Jalan; dan c. optimalisasi operasional rekayasa Lalu Lintas dalam rangka meningkatkan ketertiban, kelancaran, dan efektivitas penegakan hukum. (4) Kegiatan pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf d meliputi pemberian: a. arahan; b. bimbingan; c. penyuluhan; d. pelatihan . . . - 54- d. pelatihan; dan e. bantuan teknis. (5) Kegiatan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) huruf e meliputi: a. penilaian terhadap pelaksanaan kebijakan; b. tindakan korektif terhadap kebijakan; dan c. tindakan penegakan hukum. Pasal 95 (1) Penetapan kebijakan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (2) huruf a yang berupa perintah, larangan, peringatan, atau petunjuk diatur dengan: a. peraturan Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk jalan nasional; b. peraturan daerah provinsi untuk jalan provinsi; c. peraturan daerah kabupaten untuk jalan kabupaten dan jalan desa; atau d. peraturan daerah kota untuk jalan kota. (2) Perintah, larangan, peringatan, atau petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, dan/ atau Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas. Paragraf 2 Tanggung Jawab Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas Pasal 96 (1) Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, huruf g, huruf h, dan huruf i, Pasal 94 ayat (2), Pasal 94 ayat (3) huruf b, Pasal 94 ayat (4), serta Pasal 94 ayat (5) huruf a dan huruf b untuk jaringan jalan nasional. (2) Menteri - 55 - (2) Menteri yang membidangi Jalan bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, huruf g, huruf h, dan huruf i, serta Pasal 94 ayat (3) huruf a untuk jalan nasional. (3) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf f, huruf g, dan huruf i, Pasal 94 ayat (3) huruf c, dan Pasal 94 ayat (5). (4) Gubernur bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan provinsi setelah mendapat rekomendasi dari instansi terkait. (5) Bupati bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan kabupaten dan/ atau jalan desa setelah mendapat rekomendasi dari instansi terkait. (6) Walikota bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan kota setelah mendapat rekomendasi dari instansi terkait. Pasal 97 (1) Dalam hal terjadi perubahan arus Lalu Lintas secara tiba-tiba atau situasional, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melaksanakan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepolisian. (2) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan Rambu Lalu Lintas, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, serta alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan yang bersifat sementara. (3) Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat memberikan rekomendasi pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepada instansi terkait. Pasal 98 - 56 - Pasal 98 (1) Penanggung jawab pelaksana Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas wajib berkoordinasi dan membuat analisis, evaluasi, dan laporan pelaksanaan berdasarkan data dan kinerjanya. (2) Laporan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Bagian Kedua Analisis Dampak Lalu Lintas Pasal 99 (1) Setiap rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib dilakukan analisis dampak Lalu Lintas. (2) Analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat: a. analisis bangkitan dan tarikan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; b. simulasi kinerja Lalu Lintas tanpa dan dengan adanya pengembangan; c. rekomendasi dan rencana implementasi penanganan dampak; d. tanggung jawab Pemerintah dan pengembang atau pembangun dalam penanganan dampak; dan e. rencana pemantauan dan evaluasi. (3) Hasil analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu syarat bagi pengembang untuk mendapatkan izin Pemerintah dan/ atau Pemerintah Daerah menurut peraturan perundang-undangan. Pasal 100 (1) Analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1) dilakukan oleh lembaga konsultan yang memiliki tenaga ahli bersertifikat. (2) Hasil . . . - 57 - (2) Hasil analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3) harus mendapatkan persetujuan dari instansi yang terkait di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Posted by Herwandy Baharuddin, S.H., M.H. at 20:43 No comments:
Email ThisBlogThis!Share to XShare to FacebookShare to Pinterest
Labels: Isi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Older Posts Home
Subscribe to: Posts (Atom)

Klik Disini Untuk Beli Buku...

Klik Disini Untuk Beli Buku...
CP. 0852-4418-8449 Melayani Pengiriman Jasa JNE, TIKI, PT. POS

Blog Archive

  • ▼  2017 (1)
    • ▼  January (1)
      • UNDANG-UNDANG  REPUBLIK INDONESIA NOMOR   18   TAH...
  • ►  2016 (9)
    • ►  November (2)
    • ►  August (2)
    • ►  February (1)
    • ►  January (4)
  • ►  2015 (7)
    • ►  July (1)
    • ►  May (4)
    • ►  April (2)
  • ►  2014 (7)
    • ►  May (7)

IKLAN

IKLAN2

IKLAN3

About Me

Herwandy Baharuddin, S.H., M.H.
View my complete profile

Total Pageviews

Travel theme. Theme images by Deejpilot. Powered by Blogger.